Omnibus Law Cipta Kerja: Melanggar Aturan dan Sistem Perundangan serta Berkiblat ke Komunis Tiongkok

 

Ilustrasi. Rapat Paripurna DPR RI pada Senin sore, 5 Oktober 2020, telah mengesahkan omnibus law Cipta Kerja menjadi undang-undang.

ISWAHYUDI

Omnibus Law Cipta kerja ditolak dari masyarakat bawah sampai akademi. Tak transparan dalam pembahasan, ketidakpastian naskah, dan dituduh penuh agenda tersembunyi yang menguntungkan oligarki. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) akhirnya menyampaikan pandangan kritisnya pada (14/10/2020) di laman resminya¹ . Dikatakan bahwa ini bagian proses legislasi yang ugal-ugalan. Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), terdapat 5 tahapan proses legislasi. Yakni, tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan Sejak mulai dari proses perencanaan, Presiden Jokowi telah menyampaikan akan menerbitkan omnibus law pada saat pidato presiden di hadapan MPR saat pelantikan untuk periode kedua. Sejak saat itu, presiden dengan bangganya mempromosikan metode ini di hadapan beberapa tamu negara sahabat.

Kemudian, memasuki tahap penyusunan yang juga diawali dengan terbitnya Surpres (Surat Presiden) per tanggal 7 Februari 2020. Pembahasan pun nyaris luput perhatian publik lantaran rapat-rapat lebih sering diselenggarakan di hotel. Sementara warga sedang fokus dengan pandemi, dan kebalikannya anggota Dewan juga seakan tak peduli dengan Covid-19. Lalu tiba-tiba Dewan merasa sudah cukup dengan proses pembahasan dan beranjak pada proses selanjutnya yakni tahap pengesahan di sidang paripurna.

Sidang yang awalnya dijadwalkan pada 8 Oktober itu pun dimajukan menjadi pada 5 Oktober 2020 tanpa alasan yang jelas sekali untuk diungkapkan ke publik. Bahkan proses pengesahan pun diwarnai dengan adanya aksi walk out oleh sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrat, lantaran pimpinan sidang yang tidak akomodatif terhadap interupsi koleganya sendiri. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa tidak ada satu pun anggota DPR, termasuk anggota Badan Legislasi (Baleg), yang merasa memegang versi mutakhir dari RUU yang mengulas perubahan dari 79 UU ini. Kini, rakyat kembali disuguhi dengan fakta bahwa setidaknya ada 5 versi RUU yang bertebaran di media sosial, sebagai sarana yang saat ini paling dipercaya oleh masyarakat. 
Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani

PSHTN FHUI menilai bahwa proses pembentukan undang-undang saat ini tidak hanya sembrono, namun sudah sangat sangat melenceng. Adapun hal ini disebabkan karena:

Pertama, perumusan UU dengan metode omnibus, tidak dikenal dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Padahal pada 2019, pembentuk UU sempat melakukan amandemen UU P3 dimaksud. Namun sayangnya momentum tersebut tidak digunakan untuk merancang metode omnibus, agar terbentuk payung hukum bagi metode yang sama sekali baru dalam sejarah perundang-undangan di negeri ini.

Kedua, Adanya Satgas Omnibus Law yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019. Satgas ini bertugas untuk melakukan konsultasi publik Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja dan Perpajakan serta melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan regulasi hasil konsultasi publik. Problemnya, satgas ini dipimpin oleh Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan melibatkan sejumlah pengusaha. Maka tak heran jika kemudian publik mencurigai adanya konflik kepentingan dari para pengusaha tersebut untuk terlibat mempengaruhi substansi dalam materi pengaturan RUU dimaksud.

Ketiga, dalam proses pembahasan anggota Dewan yang terhormat ini juga terkesan bermain petak umpet sepanjang proses pembahasan pada pembicaraan tingkat-1. Rajinnya anggota dewan yang menggelar 64 kali rapat yang dilakukan nonstop Senin-Minggu, pagi hingga malam dan bahkan juga di masa reses, ini juga patut dicurigai. Karena terkesan tidak ingin diketahui publik, sehingga partisipasi masyarakat yang dikehendaki oleh UU P3 pun tercederai. Padahal, resesnya anggota Dewan adalah masa yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan fungsi representasi dengan mengadakan pertemuan dengan konstituen masing-masing. Dan lagi-lagi akibatnya, aspirasi masyarakat yang seharusnya bisa terakomodasi dengan baik melalui kegiatan anggota Dewan di masa reses ini pun kembali menjadi korbannya.

Keempat, Rapat paripurna untuk mengesahkan RUU yang sangat kontroversial ini, juga terkesan terburu-buru. Karena awalnya rapat paripurna terjadwal pada 8 Oktober 2020. Namun tanpa ada penjelasan, tiba-tiba pada detik terakhir rapat dimajukan pada 5 Oktober 2020. Yang paling menyedihkan, tak satu pun anggota Dewan yang pegang naskah final RUU Cipta Kerja. Kabarnya alasan mereka karena naskahnya masih dalam perbaikan. Lalu apa yang telah diketuk untuk disahkan saat sidang paripurna itu? Sepanjang sejarah Republik ini berdiri, rasanya baru kali ini terjadi praktik dimana anggota Dewan celingukan pada saat Sidang Paripurna pengesahan RUU menjadi UU, lantaran tidak memegang naskah final dari suatu RUU.

Kelima, Puncak dari segala kontroversi ini adalah adanya beberapa versi naskah yang justru mencuat setelah RUU tersebut katanya dinyatakan telah disahkan dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020. Setidaknya ada beberapa versi, yakni 1.028, 905, 1.052, 1.035 dan 812 halaman. Dalam hal ini, maka sangat tidak berdasar manakala Polri menjadikan beberapa aktivis sebagai tersangka penyebaran hoaks. Karena tak ada satu pun warga yang mengetahui secara pasti versi yang mana yang dianggap sebagai the final version dari RUU dimaksud. Karena itu, sangat beralasan apabila ada yang terpikir bahwa penangkapan sejumlah aktivis itu tak lain adalah semacam presidential prank (bahan lelucon).

Keenam, berdasarkan penuturan Aziz Syamsudin (Wakil Ketua DPR RI), draft final yang akan dikirim ke Presiden adalah yang versi 812 halaman, termasuk penjelasan batang tubuhnya. Berdasarkan hasil penelusuran PSHTN FHUI, jika dibandingkan antara naskah RUU versi 812 halaman (filenya berjudul “ruu-cipta-kerja-12-oktober2020-final”) dengan versi 1035 halaman (filenya berjudul “RUU Cipta Kerja – KIRIM KE PRESIDEN”), terdapat beberapa penambahan substansi baru yakni di antara Bab VIA, Bab VI, dan Bab VII. Bab ini mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Jika benar ini yang terjadi, maka ini sudah luar biasa pelanggarannya. Bahkan terdapat perubahan titik-koma saja sudah bisa mengubah makna dari suatu norma pengaturan, apalagi penambahan beberapa norma baru setelah sidang paripurna pengesahan.

Menanggapi hal tersebut diatas, PSHTN FHUI menyatakan sikap sebagai berikut:
  1. Mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perpu yang mencabut UU Cipta Kerja, segera setelah RUU tersebut resmi menjadi UU. Seraya memastikan agar partai koalisi pendukung pemerintah yang ada di DPR RI untuk tidak lagi melakukan proses legislasi yang tidak mengikuti sistem seperti ini, di masa yang akan datang.
  2. Mendukung penuh setiap penyampaian aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dalam bentuk apapun sebagai perwujudan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, dengan tetap memperhatikan koridor hukum.
  3. Manakala Presiden enggan untuk menerbitkan Perppu pencabutan UU Cipta Kerja, maka PSHTN FHUI menyerukan kepada warga masyarakat untuk bersiap-siap untuk menempuh jalur konstitusional dengan menjadi pemohon dalam pengujian formil maupun materiil terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi, serta tetap menjaga akal sehat untuk senantiasa bersikap kritis terhadap setiap kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR RI.
  4. Mengecam segala bentuk aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum anggota masyarakat maupun tindakan represif yang dilakukan oleh oknum anggota POLRI dengan menggunakan kekerasan yang di luar kewajaran, baik terhadap para demonstran, maupun terhadap para jurnalis yang sedang menjalankan amanah sesuai profesinya. Kepolisian seharusnya bisa memberi keteladanan dan menahan diri untuk tidak bertindak represif dan menghindari jatuhnya korban.
  5. Mendesak KAPOLRI sebagai pimpinan tertinggi di bawah Presiden yang bertanggung jawab pada sektor keamanan negara, untuk melepas semua aktivis yang dituding menyebarkan hoax karena pikiran tidak bisa dikriminalkan. Apalagi dasar tudingan penyebaran kebohongannya itu pun ada banyak versi. Seiring dengan itu, juga mendesak agar pimpinan POLRI untuk memproses hukum semua oknum POLRI yang menggunakan kekerasan terhadap aksi warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi republik ini. Keadilan harus ditegakkan terutama kepada mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negara dan melakukan tindak kekerasan terhadap mahasiswa, pelajar, tim medis serta para jurnalis.
  6. Meminta KAPOLRI untuk menggunakan golden momentum ini untuk mereformasi institusinya dengan tata kelola yang jauh lebih profesional. Dukungan Anggaran yang meningkat tajam selama satu periode ini, akan memberi kesempatan yang luar biasa kepada KAPOLRI untuk melakukan banyak hal demi terwujudnya kepolisian yang profesional dan imparsial.
Demikian rilis ini kami sampaikan sebagai bentuk sumbangsih intelektual yang didasari pada kecintaan kami kepada negeri ini, demi terwujudnya the rule of law yang lebih baik lagi di negeri ini. Semoga kita semua senantiasa berada dalam lindunganNya.

Dugaan kuat Omnibus Law berkiblat ke komunis Tiongkok²


Sehari sesudahnya, Mantan Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah mengatakan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) diadopsi oleh pemerintah dan DPR RI dari RRT. Dia berpendapat bahwa pemerintah dan DPR melihat kapitalisme baru ala RRT lebih menjanjikan dibandingkan kapitalisme konservatif model Amerika Serikat dan di benua Eropa.

"Sekarang ada kapitalisme baru yang lebih menjanjikan, kapitalisme komunis Tiongkok. Dari situ diambil kesimpulan, kita harus mengambil jalan mengikuti pola perkembangan ekonomi kapitalisme RRT yang sebenarnya tidak cocok dengan kita," kata Fahri.

Fahri menerangkan, indikasi pemerintah mengadopsi sistem RRT itu terlihat dari sikap para investor dari Amerika Serikat dan Eropa yang ramai-ramai mengirimkan surat ke pemerintah Indonesia. Mereka menolak UU Ciptaker karena dianggap tidak bersahabat dengan investor.

Menurutnya, sikap para investor Amerika Serikat dan Eropa itu memperlihatkan pihak yang berkepentingan di balik UU Ciptaker.

"Sekarang investor Amerika dan Eropa ramai-ramai menulis surat, ini kekeliruan dan mereka menolak UU ini. Kalau investor Amerika dan Eropa menolak, undang-undang ini untuk investor yang mana?" tanya Fahri.

Menurutnya sistem pembentukan regulasi Omnibus Law tidak cocok dengan Indonesia yang menjalankan sistem demokrasi.

"Tradisi demokrasi yang demokratis selama ini, falsafahnya akan diganti dengan nilai-nilai kapitalisme baru yang merampas hak-hak individual dan berserikat atau berkumpul. Mereka juga diberikan kewenangan untuk memobilisasi dana, tanpa dikenai peradilan," katanya.

Fahri menegaskan Pemerintah dan DPR tidak menyadari akan potensi yang sangat berbahaya tersebut dan tidak mampu memahami mazhab atau falsafah di belakang UU Ciptaker secara utuh.

Bahkan, lanjutnya, ketidakpahaman terhadap mazhab kapitalisme baru ala PKT ini dialami oleh seluruh partai politik, termasuk yang akhirnya menolak pengesahan UU Ciptaker.

Berangkat dari itu, Fahri mempertanyakan pihak yang berkepentingan hingga UU Ciptaker dipaksakan untuk disahkan secara cepat. Dia menilai, UU Ciptaker akan menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah dalam menarik investasi asing agar menanamkan modal di Indonesia.

"Ini akan menjadi problem tersendiri, karena mazhab UU Ciptaker ini tidak berasal dari pemikiran negara demokrasi seperti Perancis, yang menghargai demokrasi dan tidak merusak lingkungan, serta tidak merampas hak individu dan berserikat. UU ini mazhabnya dari kapitalisme RRT," ujarnya.

Catatan:
¹. https://tatanegara.ui.ac.id/rilis-media-ruu-cipta-kerja-proses-legislasi-yang-ugalugalan/
². https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201015201748-32-558968/fahri-hamzahduga-omnibus-law-diadopsi-dari-china

0 comments