Diplomasi Vaksin Tiongkok Terpukul oleh Ekspor Vaksinnya yang Bermutu Buruk Anjlok 97%

Dibandingkan dengan produk AS dan Eropa, vaksin buatan Tiongkok memiliki tingkat perlindungan yang lebih lemah terhadap varian Omicron yang sangat mudah menular. Gambar menunjukkan warga Nanjing menerima vaksin Sinovac pada 21 Agustus 2021. (STR/AFP)


XIA YU

Akibat epidemi virus komunis Tiongkok (COVID-19) terus menyebar di daratan Tiongkok. Ditambah lagi dengan volume ekspor vaksin buatan Tiongkok yang efektivitasnya buruk mengalami penurunan signifikan, hal-hal tersebut telah menyebabkan diplomasi vaksin yang dilancarkan pemerintah Tiongkok menjadi terpukul.

Dibandingkan dengan produk AS dan Eropa, vaksin buatan Tiongkok memiliki tingkat perlindungan yang jauh lebih lemah terhadap varian Omicron yang sangat mudah menular.

Menurut data UNICEF, Sinopharm, Sinovac, dan CanSino Bio mengekspor total 6,78 juta dosis vaksin COVID-19 pada April tahun ini, turun 97% dari puncaknya pada September 2021. Penjualan tersebut mencakup beberapa proses produksi vaksin (seperti pembotolan, dan lain-lain) yang dilakukan di luar negeri.

Pada saat yang sama, vaksin yang dikembangkan bersama oleh Pfizer dan BioNTech Jerman mengekspor 55,69 juta dosis pada April tahun ini, turun 71% dari September 2021, tetapi angka ekspor ini masih lebih tinggi sebesar 8 kali lipat dari vaksin yang diekspor Tiongkok. Ekspor vaksin Moderna AS turun 57% menjadi 16,49 juta dosis, juga jauh lebih tinggi daripada vaksin buatan Tiongkok.

Menurut perusahaan riset Inggris, ‘Airfinity’, bahwa meskipun ketika vaksin buatan Tiongkok digunakan untuk suntikan pertama atau kedua, bahkan untuk penggunaan suntikan ketiga sebagai booster, tingkat perlindungan dari vaksin mengalami penurunan yang tajam. Dibandingkan dengan dosis pertama, frekuensi penggunaan vaksin Tiongkok sebagai booster turun sebesar 98% di Pakistan, 93% di Indonesia, 92% di Bangladesh, dan 74% di Brasil.

Bridge Consulting yang berbasis di Beijing mencatat bahwa Brasil dan Indonesia tidak memperbarui kontrak pembelian vaksin buatan Tiongkok yang telah berakhir pada tahun lalu.

Kemanjuran vaksin buatan Tiongkok rendah

Varian Omicron telah menyebar dengan cepat di daratan Tiongkok sejak musim gugur tahun lalu, bahkan pejabat kesehatan Tiongkok sendiri mengakui bahwa vaksin buatan dalam negeri tidak efektif dalam melawan Omicron. Dalam artikel penelitian terhadap sekitar 4.300 orang Hongkong yang terinfeksi COVID-19 setelah 2 suntikan vaksin buatan Tiongkok yang dilakukan oleh Universitas Hongkong di Maret tahun ini menunjukkan, bahwa jumlah orang yang mengalami gejala parah setelah menerima suntikan vaksin Sinovac adalah tiga kali lebih banyak daripada mereka yang menerima suntikan vaksin Pfizer.

Pada April tahun ini, sebuah studi yang dilakukan oleh National Centre for Infectious Diseases (NCID) Singapura menemukan bahwa orang yang menerima 2 suntikan vaksin buatan Tiongkok, masih 5 kali lebih besar kemungkinannya untuk terinfeksi dan mengalami sakit parah daripada mereka yang menerima vaksin buatan Pfizer. Infeksi terobosan bahkan mencapai 6 kali lebih tinggi daripada mereka yang menerima suntikan vaksin buatan Moderna.

Studi tersebut yang dirilis pada 12 April tahun ini, menemukan bahwa mereka yang menerima suntikan vaksin Sinovac, memiliki kemungkinan 2,37 kali lebih tinggi untuk terinfeksi COVID-19 daripada mereka yang menerima vaksin Pfizer.

Adapun kemungkinan infeksi di antara mereka yang menerima vaksin pengobatan Tiongkok, sekitar 1,62 kali lebih tinggi daripada mereka yang menerima vaksin Pfizer. Dibandingkan dengan penerima vaksin Pfizer, kemungkinan infeksi parah di antara mereka yang divaksinasi dengan Sinovac dan Sinopharm masing-masing sekitar 5 kali dan 1,58 kali lebih tinggi.

Vaksin Sinopharm dan vaksin Sinovac buatan Tiongkok adalah Inactivated vaccine, sedangkan vaksin seperti Pfizer dan Moderna yang biasa digunakan di negara-negara Eropa dan Amerika adalah vaksin mRNA (messenger ribonucleic acid).

Para ahli menunjukkan bahwa vaksin yang tidak aktif (Inactivated vaccine), yang merupakan sebagian besar vaksin yang diproduksi di Tiongkok, kurang efektif daripada vaksin berdasarkan teknologi mRNA yang lebih baru.

Sekarang, epidemi COVID-19 di Asia sedang menurun, tetapi tidak begitu di daratan Tiongkok, kasus infeksi barunya justru terus meningkat dari hari ke hari. Lockdown ketat di Kota Shanghai sudah berlangsung selama 6 pekan, dan kasus infeksi di Kota Beijing juga tidak tampak mereda.

“Salah satu alasannya adalah bahwa di daratan Tiongkok, hanya vaksin buatan domestik yang sesungguhnya rendah tingkat perlindungannya yang mendapat izin penggunaan”, kata seorang pria berusia 30-an di Kota Dalian kepada reporter ‘Nihon Keizai Shimbun’.

Ekspor vaksin Tiongkok bertujuan politik

Perkembangan tersebut merupakan pukulan bagi diplomasi vaksin yang dilakukan pemerintah Tiongkok. Beijing telah secara aktif mengekspor vaksin produksi dalam negerinya ke negara-negara di Asia Tenggara, Timur Tengah dan Amerika Selatan. 3 perusahaan Tiongkok pernah mengekspor lebih banyak jumlah dosis vaksin daripada perusahaan AS Pfizer. Sebagian alasannya adalah bahwa vaksin Tiongkok adalah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk negara-negara berkembang, karena AS dan Eropa mempertimbangkan untuk menyediakan vaksin bagi rakyatnya terlebih dahulu ketimbang diekspor untuk mencari keuntungan.

Namun, ekspor vaksin pemerintah Tiongkok memiliki tujuan politik. Beijing telah menekan negara-negara berkembang untuk mendukung posisinya dalam isu-isu seperti Taiwan dengan imbalan vaksin. Pada Februari 2021, negara Amerika Selatan Guyana membatalkan perjanjian untuk mendirikan kantor perwakilan Taiwan di Guyana setelah mengumumkan akan menerima vaksin yang disumbangkan oleh pemerintah Tiongkok.

Ketika negara Amerika Latin Nikaragua mengalihkan hubungan diplomatik dari Taiwan ke Beijing pada Desember 2021, negara itu menerima 200.000 dosis vaksin buatan Tiongkok dalam waktu kurang dari seminggu. Pemerintah Tiongkok juga menekan negara sekutu Taiwan, seperti Honduras, Belize dan Guatemala yang sedang menunggu bantuan dari Barat dan Amerika Serikat.

Dalam laporan tahunan yang dirilis pada Februari tahun ini, badan intelijen Estonia menuduh Beijing menggunakan diplomasi vaksin garis keras, sesat, dan dipolitisasi sebagai alat tekanan untuk mencapai kepentingan kebijakan luar negeri dan keamanan mereka. Laporan itu menyebutkan bahwa, vaksin Tiongkok digunakan sebagai hadiah yang diberikan kepada negara-negara yang sesuai dengan keinginan pemerintah komunis Tiongkok untuk bersedia mengabaikan isu Xinjiang dalam organisasi internasional.

Kevin Sheives, Wakil Direktur Forum Internasional untuk Studi Demokrat di National Endowment for Democracy, dan Ryan Arick, asisten program dalam tulisan mereka yang diterbitkan dalam Nikkei Asian Review pada Mei 2021 dengan judul ‘Negara otoriter menggunakan vaksin COVID untuk menumbangkan demokrasi’.

Artikel tersebut menyebutkan bahwa bagi pemerintah komunis Tiongkok, vaksin adalah alat tawar-menawar yang penting dalam bertransaksi. Pemerintah komunis Tiongkok akan menjual atau menyumbangkan vaksin ke negara lain dengan imbalan keuntungan politik. Sekali lagi, tujuan kesehatan masyarakat ditempatkan di urutan kedua dalam kebijakan luar negeri rezim komunis Tiongkok.

Paraguay tahun lalu mengecam produsen vaksin Tiongkok yang berusaha untuk memaksa Paraguay memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan untuk mendapatkan vaksin buatan Tiongkok.

Presiden Paraguay Mario Abdo Benítez mengatakan bahwa Paraguay bersedia untuk bernegosiasi langsung dengan produsen vaksin Tiongkok tentang pengadaan vaksin, tetapi menolak segala bentuk “pemerasan” sebagai imbalan atas vaksin untuk hubungan diplomatik. (ET/sin/sun)

0 comments