Saatnya Indonesia Menggugat Rezim Komunis Tiongkok dan Mengatakan “Tidak” pada PKT

Say No to CCP (Katakan “Tidak” kepada PKT)

Iswahyudi

Menjadi biang kerok mewabahnya pandemi virus PKT (Covid-19/pneumonia wuhan), rezim komunis Tiongkok digugat 40 negara di pengadilan Amerika Serikat. Gelombang penuntutan terus bergulir. Berbagai negara di dunia menggugat Tiongkok ke pengadilan dengan tuntutan triliunan dolar AS karena menganggap negara komunis itu sebagai biang kerok wabah virus PKT (Covid-19) yang kini menyebar menjadi pandemi global. Rezim komunis ini juga dituding menimbun peralatan medis.

Elite komunis Tiongkok dituduh lalai dengan membiarkan wabah menyebar di seluruh dunia dan menutupi fakta dalam negeri. Seperti dilansir Daily Mail, ribuan penggugat dari 40 negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Israel, Australia, India, dan lainnya di Florida bulan lalu mengajukan tuntutan kepada Tiongkok di pengadilan Amerika Serikat (AS).

Laporan berjudul “Coronavirus Compensation: Assessing China’s potential culpability and avenues of legal response” mengklaim bahwa penanganan awal pemerintah Tiongkok terhadap penyakit dan kegagalan untuk melaporkan informasi secara memadai kepada WHO melanggar pasal 6 dan 7 dari Peraturan Kesehatan Internasional (IHRs), sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh Tiongkok dan wajib secara hukum ditegakkan.

Ada 4 pelanggaran yang dilakukan Tiongkok pada masalah pandemi ini; pertama, gagal mengungkapkan data yang akan mengungkapkan bukti penularan dari manusia ke manusia untuk jangka waktu hingga tiga minggu sejak menyadarinya, melanggar pasal 6 dan 7 IHR. Kedua, Memberi WHO informasi yang keliru tentang jumlah infeksi antara 2 Januari 2020 dan 11 Januari 2020, yang melanggar pasal 6 dan 7 IHR. Ketiga, Gagal melarang vektor yang dapat dihindari dari infeksi virus zoonosis (berasal dari hewan) yang mematikan, sebagai gantinya secara aktif mempromosikan proliferasi besar-besaran spesies inang virus berbahaya untuk konsumsi manusia yang melanggar pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Keempat, diizinkannya 5 juta orang (kira-kira setara dengan ukuran wilayah metropolitan San Francisco, CA atau Greater Boston, MA di Amerika Serikat, dan kira-kira lima kali seukuran kota Birmingham, Inggris) meninggalkan Wuhan sebelum memaksakan penguncian, pada 23 Januari 2020 meskipun ada pengetahuan tentang penularan dari manusia ke manusia.

Sebagai akibat dari pelanggaran hukum internasional, laporan tersebut menilai bahwa potensi kerugian yang dapat ditanggung terhadap Tiongkok pada saat penulisan dapat mencapai £ 3,2 (4 dollar AS) triliun dari hanya negara-negara G7. Inggris dikatakan memiliki klaim senilai potensi £ 351 miliar (449 miliar dollar AS) dalam kerusakan berdasarkan pengeluaran pemerintah yang diumumkan secara resmi. Dengan menggunakan metodologi yang sama, AS sementara itu dapat mengklaim £ 933,3 miliar (1.200 miliar dollar AS), Kanada £ 47,9 miliar (59 miliar dollar AS), dan Australia £ 29,9 miliar (37 miliar dollar AS). Laporan ini menggunakan pengeluaran yang diumumkan secara resmi pada 5 April 2020, dari total pengeluaran yang diproyeksikan selama seluruh masa krisis - yang diperkirakan akan jauh lebih besar - karena angka terakhir tidak akan diketahui selama beberapa bulan.

Mengakui kesulitan dalam mengamankan keadilan internasional, laporan ini menawarkan sepuluh jalan hukum potensial yang berbeda untuk tindakan terhadap Tiongkok di seluruh wilayah yurisdiksi domestik dan internasional. Selain menegakkan perjanjian IHR, laporan tersebut berpendapat bahwa pengacara internasional publik mungkin memanfaatkan klausa yang relevan untuk menegakkan norma-norma internasional, misalnya melalui jalur Mahkamah Internasional; Pengadilan Arbitrase Permanen; Pengadilan Hong Kong; resolusi perselisihan melalui Perjanjian Investasi Bilateral; dan tindakan di WTO.

Indonesia, saatnya mengakhiri sikap diam

Dalam banyak kasus tentang pelanggaran HAM Tiongkok seperti kasus Falun Gong, dan penindasan terhadap muslim Uighur di Xinjiang pemerintah Indonesia pasca reformasi cenderung bermain aman dan berusaha menjaga hubungan intim dengan Tiongkok tak terusik. Terkadang harus mengorbankan panggilan nurani dan tuntutan konstitusi negara anti penindasan dan penjajahan demi impian kemakmuran ekonomi yang sering dijanjikan oleh Tiongkok bila menjalin kerja sama dengannya mengikuti genderang yang ia tabuh.

Hubungan RI-RRT mencapai puncak keintimannya sejak ditandatangani 2 perjanjian kemitraan strategis yaitu Strategic Partnership (2005) dan Comprehensive Strategic Partnership (2013). Semenjak saat itu belitan Sang Naga semakin kuat, sampai orientasi diplomatis Indonesia sangat praktis dan sering dibuat diam saat dihadapkan pada isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim komunis Tiongkok. Semisal ketika ramai-ramai isu Muslim Uighur di Xinjiang pemerintah Indonesia berlindung pada batasan diplomatik antara RI dan RRT yaitu tidak ikut campur urusan dalam negeri RRT walaupun isu ini sangat melukai nurani umat muslim di Indonesia. Apalagi ketika dihadapkan pada penindasan minoritas di Tiongkok yaitu para tahanan hati nurani dari kelompok spiritual Falun Gong yang ditindas sejak 20 Juli 1999 sampai sekarang empat presiden RI pasca reformasi 1998 tak ada yang berani mengucapkan sepatah kata empati pada kaum tertindas ini.

Pilihan pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan kepentingan ekonomi dengan berpartisipasi langsung proyek geopolitik RRT seperti BRI (Belt and Road Initiative) memang berbuah kucuran proyek infrastruktur yang sangat fantastis dan jumlah yang sangat masif dari jalan, bendungan, kereta cepat, pelabuhan, bandara dan lain-lain yang semakin membenamkan Indonesia dalam mimpi geopolitik Tiongkok dan kemajuan negara secara instan. Walaupun harus dibayar dengan sangat mahal oleh Indonesia dengan membengkaknya beban hutang negara dan BUMN yang menyentuh angka sekitar Rp 5.000 triliun dan hilangnya kedaulatan nurani bangsa, Sehingga panggilan nurani yang berkaitan dengan HAM tidak diperhatikan dan tidak masuk dalam agenda utama pemerintah Indonesia. Padahal amanat konstitusi tentang penghormatan HAM dan anti penindasan adalah amanat dari para Founding Fathers dan juga berarti kontrak batin antara bangsa ini dengan Sang Pencipta.

Awal 2020 bagi Indonesia pasca pembangunan infrastruktur yang masif di seluruh penjuru negeri harusnya menjadi tahun untuk menjadi negara maju, namun ternyata lagi-lagi Dewi Fortuna maupun Dewi Keberkahan tidak berpihak pada Indonesia. Akhir 2019 dan awal 2020 adalah kisah horor pandemi itu dimulai. Perekonomian Tiongkok tiba-tiba mengerut dan berimbas pada perekonomian seluruh dunia. Tidak ada negara yang bisa steril dari dampak wabah ini. Seluruh dunia menderita nestapa yang sama dengan derajat kenestapaan yang berbeda-beda tiap negara.

Wabah virus PKT (Covid-19/pneumonia wuhan) seolah diutus oleh Sang Pencipta untuk menghentikan mimpi gila komunis Tiongkok dan para pendukungnya untuk mewujudkan tatanan dunia baru ala sosialisme Tiongkok. Seolah langit tak merestui semua impian-impian itu. Mereka hanya bisa membuat pengaturan, mimpi dan rencana, namun keputusan terakhir apakah impian itu terwujud atau kandas semua ada di tangan Sang Pencipta. Dan memang benar kalau para elite dunia bisa membaca data, fakta, dan pola dari penyebaran wabah ini seolah mempunyai sasaran dan target yang spesifik yaitu mendisrupsi rezim komunis Tiongkok dan para pendukung dan pemujanya. Sebuah editorial dari Theepochtimes.com berjudul "Di mana Hubungan Dengan Komunis China Dekat, Coronavirus Mengikuti" bisa dijadikan sebuah bahan renungan oleh seluruh pemimpin dunia dan umat manusia abad ini. Italia, Iran, Spanyol, Inggris, beberapa negara bagian di Amerika Serikat adalah saksi hidup bahwa wabah ini begitu parah menyerang. Termasuk Indonesia yang kalau rapid test dilakukan lebih masif seperti di AS, Singapura, dan Korea Selatan mungkin pola ini pasti menemukan justifikasi. Sebab dengan test screening yang hanya puluhan ribu jumlah positif pneumonia wuhan sudah mencapai angka 11.000 orang, belum termasuk PDP maupun ODP jumlahnya sudah menyentuh angka ratusan ribu. Artinya Indonesia masih menghadapi peta gelap dalam perang melawan wabah ini. Gambaran sebenarnya mungkin akan lebih mengerikan lagi bila dilakukan test screening yang lebih masif. Itu artinya buah dari keintiman dengan rezim PKT adalah pandemi, memang terkonfirmasi.

Virus PKT ini seolah mempunyai kecerdasan dan tidak pernah salah sasaran. Bukan buatan manusia ataupun hasil modifikasi laboratorium. Barangkali dia adalah tentara Tuhan yang diutus untuk memusnahkan anasir PKT dan para pendukungnya.

Kebanyakan negara dan para pemimpin dunia untuk menangani wabah ini berkisar pada sisi upaya lahiriah seperti upaya penemuan vaksin, lock down dan social distancing, namun grafik tak pernah flat. Begitu selesai gelombang pertama wabah pergi ada gelombang baru yang datang. Sangat jarang yang melihat dan mengatasi sisi spiritual dari wabah itu sendiri. Sangat jarang elite di dunia yang mencoba mencarinya dari sisi moralitas. Bahwa ada bencana pada setiap kerusakan moralitas dan bergelimangan dosa di bumi. Pada 27 April 2020 Theepochtimes kembali merilis editorialnya berjudul To Resist to CCP Virus, Say No To CCP. Banyak teman yang saya berbagi dengan editorial ini merasa heran kenapa untuk kebal dengan virus ini cukup mengatakan “Tidak” pada PKT. Bagaimana logikanya? Dan malah ada yang mengatakan bahwa ini kabar bohong.

Saya pahami bahwa editorial ini sangat spiritual dan mendasar sekali. Beberapa waktu sebelum ini banyak negara dan individu yang melihat rezim komunis Tiongkok adalah salah satu keajaiban abad ini. Hampir 2/3 dunia mengamini “dogma” ini. Tak peduli pemimpin dunia maupun pemimpin agama berbondong-bondong memujanya bak Sang Penyelamat yang dinantikan. Bagi komunis Tiongkok dan pemujanya wabah ini bisa dimaknai sebagai hukuman, dan bagi orang baik seperti Anda ini adalah belas kasih Tuhan agar bisa mengenali yang baik dan buruk, yang bajik dan jahat. Seolah ini adalah ujian massal bagi warga global apakah masih punya nurani yang bisa mengenali antara yang baik dan jahat.

Orang yang nuraninya masih hidup pasti percaya bahwa rezim komunis Tiongkok adalah jahat. Dikatakan pada editorial tersebut sebagai perwakilan iblis komunisme yang terakhir di dunia. Maka untuk menjadi kebal dan sembuh dari paparan wabah ini dengan mengubah sudut pandang dan keyakinan bahwa PKT adalah jahat dan pantas dimusnahkan oleh langit menemukan relevansinya. Say No to CCP adalah obat bagi wabah ini sangat masuk akal. Lagi pula walaupun ringan diucapkan tapi kenyataannya adalah sangat besar konsekuensinya. Hari ini satu negara yang berani menggugat PKT seperti Australia ada kecenderungan kurva semakin flat. Saya rasa “kata ajaib” ini bekerja. Pada intinya ini adalah masalah pilihan nurani bagi setiap orang, berada di kubu Tuhan atau kubu iblis.

Berikut ini beberapa cuplikan dari editorial tersebut yang bisa menyadarkan semua orang di dunia apa yang sedang terjadi dan bagaimana membuat keputusan yang tepat.

“Semua daerah yang terpukul oleh virus di luar Tiongkok adalah mereka yang memiliki hubungan dekat dengan PKT, mereka yang telah mendukung PKT dalam hal perdagangan, investasi, atau membantu PKT meningkatkan citra internasionalnya. Demikian juga, orang-orang yang telah menjadi pendukung PKT sering menemukan diri mereka rentan terhadap virus PKT.

Faktanya, pola penyebaran ini membantu menunjukkan jalur penyelamatan jiwa bagi semua bangsa dan orang di seluruh dunia. Ini adalah jalan yang secara langsung menghubungkan ke sisi spiritual semua makhluk.

Baru-baru ini, ada beberapa kasus orang yang pulih dari pneumonia PKT secara ajaib setelah mereka mengutuk PKT. Beberapa kasus dapat ditemukan di laporan media.

Pada Maret lalu, tiga politisi kunci Partai Vox, partai terbesar ketiga di Spanyol, terkena virus tersebut. Mereka adalah Santiago Abascal, Presiden Vox, Javier Ortega Smith, Sekretaris Jenderal dan posisi paling menonjol kedua di Vox, dan Macarena Olona, anggota Kongres Deputi untuk Vox. Hebatnya, ketiganya dapat pulih dari pneumonia PKT tak lama setelah mereka mengutuk PKT. Pada pertemuan Uni Eropa, Vox secara aktif mengusulkan resolusi terhadap PKT dan WHO. Pada sesi parlemen domestik, Vox meminta penyelidikan internasional atas kesalahan rezim komunis Tiongkok.

Katakan Tidak pada PKT: Pikiran Sekilas yang Akan Membuat Perbedaan

Bagi pemerintah Indonesia untuk mengatakan “Say No To CCP” mungkin ibarat geledek di siang hari bolong. Dalam masa pandemi ini di saat program PSBB diterapkan berskala besar bagi sebagian penduduk negeri, warganet marah karena pemerintah masih sempat-sempatnya mengizinkan masuk 50 WNA Tiongkok masuk ke tanah air. Lewat pandemi yang menghancurkan semua impian dan target nasional masih saja para petinggi belum bisa mengubah sudut pandang bahwa rezim PKT bagian dari solusi bukan bagian dari masalah. Strategi decoupling dengan PKT adalah salah satu hal yang bisa jadi menyelesaikan segala belitan Sang Naga yang begitu parah dan mendarah daging di ibu pertiwi ini. Karena untuk kali ini gerakan cerai atau terlepas dari rezim PKT bukan hanya riak kecil di tepi pantai, dan sangat berpotensi menjadi gelombang tsunami yang akan menggulung PKT dan pemujanya. Pilih jadi gelombang tsunami yang menggulung atau bagian yang luluh lantah karena gelombang itu. Kayaknya sudah tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Katakan lenyaplah PKT. Go to hell PKT. Dan Langit memusnahkan PKT. Semoga para petinggi kita kali ini benar-benar menggunakan akal sehatnya. (epochtimes)

0 comments