Terlalu Intim dengan PKT, Pandemi di Indonesia Lampaui Tiongkok

Di sela acara KTT G20 pada Jumat, 28 Juni 2019, Osaka jepang. INDHIE.COM

ISWAHYUDI

Data dari worldmeters.info (28/07/2020) menunjukkan jumlah yang terinfeksi virus PKT (Covid-19) di Indonesia menembus angka 100.303 orang dengan kematian 4.838 orang. Angka ini diperoleh setelah melakukan tes sebanyak 1.394.759 kali atau 5.095 per satu juta penduduk. Pada saat ini Indonesia berada di posisi ke-24 dunia dan telah meninggalkan rekor yang dilaporkan Tiongkok. Tiongkok kini berada di posisi ke-26 dunia walaupun banyak pihak meragukan angka yang dilaporkan rezim komunis Tiongkok. Jumlah infeksi virus PKT di Indonesia pelan tapi pasti menuju ke puncak. Mungkin para elite mengatakan Indonesia masih aman menduduki posisi ke-24. Tapi coba ketika dibandingkan dengan AS yang telah melakukan tes sangat banyak mencapai 55.018.236 orang dengan positif terinfeksi 4.433.410 orang, dengan rasio jumlah terinfeksi dengan total tes yang dilakukan didapatkan angka rasio 8%. Sementara Indonesia yang telah melakukan tes sebanyak 1.394,759 dengan jumlah terinfeksi 100.303 orang, dengan rasio jumlah terinfeksi dibandingkan jumlah tes yang dilakukan didapatkan angka 7,2%. Secara kasar apabila kita berasumsi melakukan pengetesan sebanyak yang dilakukan oleh AS sebesar 55.018.236 orang, maka prediksi orang yang terinfeksi di Indonesia bisa mencapai 3.956.593 orang. Kalau ini betul maka posisi Indonesia bisa mencapai nomer dua dunia. Saat ini dengan minimnya sampel pengetesan di Indonesia sebesar 0,51% dari populasi belum bisa menunjukkan karakter sebenarnya dari populasi itu sendiri. Sementara AS yang yang telah melakukan tes sampel sebesar 16,62% dari populasi akan jauh berbeda dengan Indonesia. Peta AS lebih jelas tentang bagaimana keadaan sebenarnya. Sementara Indonesia menghadapi peta yang masih sangat gelap.

Sampai hari ini seluruh dunia diteror oleh wabah ini, tak peduli negara kaya atau miskin, negara maju atau negara berkembang, mereka dibuat keteteran dengan wabah ini. Wabah ini adalah kesempatan bagi negara maju saling berkontestasi siapa yang terefektif mengatasi wabah ini. Namun mereka juga tak kunjung memenangkan perang melawan wabah. Bahkan RRT yang mengklaim dirinya telah menang melawan wabah, kini sibuk menghadapi gelombang kedua di berbagai tempat, walaupun mereka berusaha tidak jujur dengan dirinya sendiri dan dunia bahwa mereka telah gagal. Keberhasilan mereka hanyalah sukses membendung realitas di negerinya diketahui dunia. Sementara negara miskin yang lengkap dengan segala keterbatasan dana, pengetahuan dan teknologi beradu dengan nasib dan keberuntungan mudah-mudahan Tuhan melindungi mereka dari wabah ini.

Artikel ini mencoba melihat sudut pandang seberapa efektif sebuah upaya untuk memerangi wabah, melihat mengapa wabah ini parah di suatu daerah atau negara. The Epoch Times menurunkan sebuah artikel editorial pada (12/03/2020) berjudul, “Where Ties With Communist Tiongkok Are Close, the Coronavirus Follows” yang intisarinya adalah bahwa negara dan daerah di luar Tiongkok yang terinfeksi paling parah adalah daerah atau negara yang dekat, intim dan lukratif (membuat deal demi keuntungan materi) dengan rezim komunis Tiongkok. Setelah editorial ini diterbitkan muncul banyak artikel senada yang mencoba menganalisa pola yang sama di negara-negara yang intim dengan komunis Tiongkok seperti Italia, Iran, Brazil, Amerika Serikat dengan negara-negara bagiannya, Rusia, Pakistan, Spanyol, Prancis, Jerman, Argentina, Kanada, Monaco, Ekuador, Inggris, Saudi Arabia, Qatar, Belgia dan masih banyak lagi. Pola dekat, intim dan lukratif dengan rezim komunis Tiongkok membawa pandemi. Tentunya argumen bukan semata-mata alasan rasionalitas ilmiah tapi lebih pada pendekatan moralitas terhadap satu entitas tiran yang jahat. Sementara itu negara yang dekat secara geografis yaitu Taiwan, namun mengambil jarak secara moral dengan rezim komunis Tiongkok mempunyai infeksi yang minimal.

Kalau pola ini memang terkonfirmasi, benar dan masuk akal maka kita akan mencoba menganalisa pola ini apakah terkonfirmasi dengan di Indonesia? Seberapa dekatkah Indonesia, intim dan lukratif dengan rezim komunis Tiongkok sehingga infeksi pandemi semakin hari semakin menggila?

Pasang surut hubungan RI-RRT

1. Periode Soekarno adalah masa intim pertama

Indonesia adalah salah satu negara pertama yang memberikan pengakuan kepada Republik Rakyat Tiongkok (RRT) segera setelah pembentukannya pada 1 Oktober 1949. Jakarta dan Beijing mendirikan hubungan diplomatik pada 13 April 1950, sementara semua negara maju barat dan sekutu mereka, di bawah perlindungan Amerika Serikat, terus mengakui Republik Tiongkok dengan ibukotanya di Taipei hingga tahun 1970-an. Sejak awal, Indonesia telah menganut kebijakan "Satu-Tiongkok" dengan ibukotanya di Beijing, sebuah kebijakan yang dipertahankan bahkan ketika Indonesia kemudian membekukan hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Kebijakan luar negeri Presiden Soekarno dibentuk oleh oposisi kuatnya terhadap neokolonialisme dan imperialisme yang dianggapnya mengancam Indonesia secara langsung.

RRT adalah salah satu dari sedikit negara yang mendukung Konfrontasi Indonesia melawan Federasi Malaysia yang baru dibentuk dari 1963 sampai jatuhnya Soekarno pada 1965. Hal ini menyebabkan pembentukan poros Jakarta-Beijing. Tentara Indonesia, yang semakin terlibat dalam politik di bawah “Demokrasi Terpimpin” Soekarno (1959-1965), sebagian besar berserah kepada Soekarno mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Pertentangan melawan Malaysia, yang menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan membawa Jakarta semakin dekat ke Beijing, sangat mengkhawatirkan kepemimpinan militer. Persaingan yang meningkat antara Angkatan Darat dan PKI untuk menggantikan Presiden Soekarno yang sakit mulai memuncak dengan pembunuhan beberapa jenderal senior pada jam-jam akhir 30 September 1965.

2. Masa Presiden Soeharto hubungan RI-RRT membeku

RRT dituduh oleh Angkatan Darat untuk menyuplai senjata kepada PKI, dianggap sebagai ancaman utama terhadap keamanan dan stabilitas politik Indonesia. Pemerintah Orde Baru yang didominasi militer membekukan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok pada 30 Oktober 1967 dan mempertahankannya seperti itu selama lebih dari dua dekade.

Selama periode Orde Baru, orang-orang keturunan Tionghoa dipaksa untuk berasimilasi sepenuhnya ke dalam budaya lokal, dan dilarang mengekspresikan di depan umum warisan Tiongkok mereka. Pada saat yang sama, pemerintah Orde Baru memberikan hak ekonomi khusus kepada beberapa konglomerat etnis Tionghoa. Dengan demikian, praktik monopolistik dan kapitalisme kroni di bawah rezim Orde Baru yang semakin korup dan represif kembali memunculkan sentimen anti-Tiongkok. Demonstrasi anti-Soeharto di tengah-tengah krisis keuangan Asia pada 1998 ditandai oleh kerusuhan rasial anti-Tionghoa di berbagai daerah. Indonesia hanya melanjutkan kembali hubungan diplomatik penuh dengan RRT pada 8 Agustus 1990, lebih dari satu dekade setelah Amerika Serikat dan Tiongkok menjalin hubungan pada 1 Januari 1979.

3. Masa Presiden Gus Dur dan Presiden Megawati

Hubungan Indonesia-Tiongkok mulai tumbuh lebih dekat di bawah Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001). Sentimen budaya mulai dihilangkan. Perayaan imlek boleh dirayakan di Indonesia dan agama Konghucu dan Tao diakui sebagai agama yang sah di Indonesia. Sebagai putri Soekarno, Presiden Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001-20 Oktober 2004) juga dapat menambahkan sentuhan yang lebih pribadi untuk hubungan Jakarta-Beijing. Di masa Megawati terjadi kontrak Gas Tangguh dengan RRT ditandatangani yang menimbulkan kontroversi karena harganya terlalu murah.

4. Masa Presiden SBY mak comblang keintiman

Hubungan bilateral dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi selama masa jabatan dua masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004-20 Oktober 2014). Kedua negara menandatangani Kemitraan Strategis pada April 2005 selama kunjungan kenegaraan Presiden Tiongkok Hu Jintao ke Indonesia untuk menghadiri peringatan ke-50 tahun KAA di Bandung 1955. Dalam pertemuan di Jakarta pada Oktober 2013, Presiden Yudhoyono dan Presiden Xi Jinping meningkatkan hubungan Indonesia-Tiongkok ke tingkat Kemitraan Strategis Komprehensif. Hubungan Indonesia-Tiongkok telah berkembang baik di tingkat pemerintah-ke-pemerintah dan orang-ke-orang dengan peningkatan yang signifikan dalam perdagangan dua arah dan pariwisata. Perdagangan dua arah meningkat dari total 8,705 miliar dolar AS pada 2005, sedikit menguntungkan Indonesia, menjadi 48,229 miliar dolar AS pada 2015 dengan Indonesia mengalami defisit yang semakin besar, yang pada 2015 berjumlah sekitar 14,1 miliar dolar AS. Tiongkok kini telah menggantikan Jepang sebagai mitra dagang terbesar di Indonesia. Indonesia juga mulai mencari ke Tiongkok untuk investasi dalam proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan pembangkit listrik. Tiongkok sekarang adalah investor asing terbesar ketiga di Indonesia setelah Singapura dan Jepang.

Namun ada resistensi dari kalangan bisnis tentang Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Tiongkok (ACFTA) karena kekhawatiran membanjirnya barang-barang murah, seringkali ilegal, dari Tiongkok. Sebelum implementasi penuh Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Tiongkok (ACFTA) pada Januari 2010, ada tekanan pada pemerintah Indonesia dari komunitas bisnis dan masyarakat sipil untuk menarik keluar dari perjanjian atau menegosiasikan kembali persyaratannya dengan Beijing. Defisit perdagangan Indonesia yang terus menerus melebar dengan Tiongkok, serta kekhawatiran tentang deindustrialisasi dan hilangnya pekerjaan menjadi lebih akut, memperkuat skeptisisme umum tentang manfaat ACFTA bagi perekonomian Indonesia. Meskipun publik Indonesia menyalahkan pemerintah karena tidak memberi informasi yang cukup kepada mereka tentang ACFTA, dan karena tidak melindungi produsen Indonesia dari masuknya produk-produk Tiongkok yang murah, sepanjang periode Yudhoyono, hubungan ekonomi Indonesia dengan Tiongkok tidak menjadi masalah politik yang memecah belah. Tidak juga Yudhoyono, yang lebih dikenal karena kebijakan luar negerinya "satu juta teman dan musuh nol", dipandang terlalu pro-Tiongkok.

5. Masa Presiden Jokowi masa yang paling intim dengan RRT

Perubahan yang nyata tampaknya telah terjadi dalam sikap publik terhadap hubungan ekonomi Indonesia yang semakin dekat dengan Tiongkok sejak Presiden Joko Widodo. mulai menjabat pada Oktober 2014. Tumbuhnya kritik tentang berbagai dampak negatif dari peran ekonomi Tiongkok di Indonesia adalah sekarang sering disertai dengan tuduhan terhadap Jokowi sendiri. Sementara sebagian besar kritik dari pengamat kebijakan luar negeri berfokus pada implikasi keamanan yang lebih luas dari meningkatnya ketergantungan Indonesia pada investasi Tiongkok, khususnya pada kendala yang telah dipaksakan pada Indonesia untuk merespons lebih tegas terhadap perkembangan di Laut Tiongkok Selatan, masyarakat umum telah meningkatkan kekhawatiran tentang tingkat dan sifat penetrasi Tiongkok terhadap ekonomi Indonesia. Jokowi telah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritasnya selama kampanye kepresidenannya, yang telah ia lakukan dengan sungguh-sungguh sejak menjabat. Infrastruktur yang tidak memadai telah lama menjadi masalah di Indonesia, mengurangi daya saing ekonomi Indonesia dan memperluas kesenjangan sosial-ekonomi antara bagian barat Indonesia yang lebih maju dengan bagian timur negara tersebut. Tiongkok telah menjadi sumber pendanaan yang disukai untuk pembangunan infrastruktur ambisius pemerintah Jokowi. Indonesia telah bergabung dengan Bank Infrastruktur Investasi Asia (AIIB) yang dipimpin Tiongkok dan menetapkan sejumlah daerah sebagai bagian dari BRI. Proyek-proyek yang didanai oleh pinjaman dari Tiongkok biasanya dibangun oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok yang mempekerjakan sejumlah besar pekerja yang dibawa dari Tiongkok. Pada masa periode ini lebih dari 60 MOU RI-RRT ditandatangani pada berbagai level dan sektor, karena SBY telah menandatangani kemitraan strategis komprehensif antara RI dan RRT pada 2013 membuat jalan untuk semakin dekat dengan RRT terbuka luas.

Hilangnya kedaulatan finansial, daya kritis, dan kepedulian nurani

Impian lompatan kemajuan dengan menggeber habis-habisan proyek infrastruktur di seluruh Indonesia nampak manis di awal dan menjadi mantra pembius bagi Jokowi untuk memenangkan kursi presiden RI selama dua periode. Namun proyek pembangunan infrastruktur yang ambisius ini ternyata menyimpan banyak bom waktu. Utang digeber habis-habisan untuk membiayai infrastruktur yang menjadi korban adalah perusahan plat merah yang mempunyai tumpukan utang yang menggunung dan bisa mengarah pada gelombang gagal bayar yang bisa menjadi lubang pembantain bagi BUMN. Namun pembangunan Infrastruktur itu nampaknya tidak menggenjot pertumbuhan ekonomi dan bahkan semakin hari semakin melorot apalagi karena salah momentum dengan maraknya perang dagang AS-Tiongkok.

Dan lebih celaka lagi ketika pandemi virus PKT menyerang dunia, pemerintah Indonesia belum bisa mengoreksi keyakinan, sikap dan pandangan positif terhadap rezim tiran komunis Tiongkok. Pintu gerbang Indonesia masih dibuka untuk wisatawan dari Tiongkok, karena pemerintah terlalu memikirkan ekonomi dari pada keselamatan warganya. Pemerintah telah kehilangan 6 minggu emas untuk mencegah wabah ini menginfeksi seluruh pelosok negeri. Penyangkalan-penyangkalan banyak dilontarkan para pejabat waktu itu mulai Indonesia bebas pandemi dan banyak ketidak transparansinya dalam data. Kasus infeksi pertama pun dibuat bukan dari Wuhan Tiongkok namun dari WNA jepang yang menginfeksi warga Depok Jawa Barat. Patut diduga bahwa ada kepentingan untuk melindungi hal-hal yang berkaitan dengan Tiongkok, karena secara riil Indonesia sangat tergantung dengan Tiongkok. Pada posisi ini daya kritis pemerintah hilang sama sekali. Dan akhir-akhir ini terdengar kabar pemerintah akan uji vaksin buatan Tiongkok, padahal dalam hal-hal yang berkaitan rapid test buatan RRT ini banyak ditolak di berbagai negara karena alasan di bawah standar.

Pada sisi lain kepedulian Indonesia yang berkaitan dengan isu pelanggaran HAM yang melibatkan mitra intimnya yaitu komunis Tiongkok cenderung diam, seolah tidak ada urusan dengan HAM. Kasus penahanan massal Muslim Uighur yang beririsan dengan mayoritas muslim Indonesia tidak menjadi hardikan tongkat bagi pemerintah Indonesia untuk mengucapkan satu patah kata kepedulian atau kecaman, hanya mengatakan “Itu urusan dalam negeri mereka” padahal di dalam konstitusi 1945 disebutkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Apalagi isu pelanggaran HAM di Tiongkok yang tidak beririsan dengan penduduk Indonesia seperti Falun Gong yang ditindas sejak 20 Juli 1999 di mana sudah berganti 4 presiden di Indonesia tak ada satu patah kata kepedulian dari petinggi negeri. Mereka tidak menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan Tuhan menggunakan kelompok minoritas itu untuk menguji siapakah sebenarnya bangsa ini.

Sikap kebungkaman terhadap kejahatan kemanusiaan karena melindungi kepentingan materi dan ekonomi ternyata tidak berlabuh pada kemajuan atau datangnya berkah Dewi Fortuna pada negeri ini, Segala upaya untuk membawa negara ini menuju lompatan kemajuan hanyalah tarian poco-poco dan gimmick belaka. Setelah pandemi datang segala impian ambyar. Bom waktu utang dan gagal bayar mulai menghitung mundur, sementara pandemi tidak ada kepastian akan berakhir. Pada titik krusial ini, pandangan pandemi sebagai virus ganas yang semata pathogen renik yang terlihat di bawah mikroskop yang diatasi dengan upaya ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikoreksi. Wabah seharusnya dipandang sebagai api Ilahi untuk mencuci dosa-dosa kita, sebagai sinyal dari Tuhan bahwa moralitas manusia telah jatuh dan kesempatan untuk menghidupkan mesin nurani dan kepedulian. Memisahkan diri dari rezim kejahatan dengan resiko apapun menjadi keharusan. Karena tidak ada jalan dari semburan api Ilahi kecuali kembali kepada Tuhan dan nilai-nilainya. Satu pelajaran berharga dari pandemi ini adalah intim dengan kejahatan berbuah mimpi buruk. Tanyalah pada Taiwan bagaimana dekat di depan moncong naga, tapi tak tersembur semburan api naga. (epochtimes)

0 comments