COVID-19 Menggiring Pemerintah Tiongkok ke Jalan Buntu Akibat Tidak Memiliki Rencana Alternatif

Pekerja dengan pakaian pelindung berdiri di pintu masuk ke area perumahan universitas yang dikunci setelah wabah COVID-19 di Xi'an, provinsi Shaanxi, Tiongkok, pada 20 Desember 2021. (China Daily via Reuters)

XU JIAN

Pada awal tahun baru 2022, seorang warga Inggris ahli jurusan Tiongkok menulis sebuah artikel di media ‘Daily Telegraph’ yang menjelaskan bahwa pemerintah Tiongkok telah terjebak masuk jalan buntu akibat kebijakan Nol Kasus dalam penanganan epidemi. Dan, virus varian Omicron akan membuat masalah besar bagi pemerintah Tiongkok.

Charles Parton adalah peneliti asosiasi di Komite Geostrategis dan wakil peneliti di Institut Layanan Gabungan Pertahanan dan Keamanan Kerajaan Inggris (Royal United Services Institute for Defence and Security Studies. RUSI). Di bawah ini adalah komentarnya (diedit).

Pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping tampaknya percaya bahwa ia dapat mengendalikan gelombang virus COVID-19. Tapi Omicron mungkin akan membuktikan bahwa dirinya salah, yang pasti sangat melemahkan otoritasnya.

Pandemi COVID-19 di satu sisi telah membuat Partai Komunis Tiongkok dimusuhi komunitas internasional, di sisi lain menonjolkan reputasi buruknya karena tindakan-tindakan seperti penganiayaan terhadap warga etnis Xinjiang, mengancaman Taiwan, dan menghapus demokrasi Hongkong.

Pemerintah Tiongkok menolak permintaan internasional untuk bersama-sama mengusut sumber virus korona jenis baru yang diduga banyak pihak berasal dari laboratorium P4 Wuhan. Selain itu, Beijing menggunakan peralatan pelindung medis saat epidemi merajalela untuk mempraktikkan “diplomasi intimidasi”, serta menertawakan AS dan Eropa karena kekurangan langkah-langkah perlindungan di awal epidemi.

Semua ini telah memberikan pemahaman yang lebih baik kepada komunitas internasional tentang karakteristik PKT yang jahat. Oleh karena itu, selain telah merugikan masyarakat, tetapi virus corona jenis baru ini juga mendorong negara-negara untuk mengkaji ulang kebijakannya terhadap Tiongkok. Namun, di dalam negeri, PKT justru gembar gembor bahwa mereka “berhasil memerangi epidemi” — karena PKT menganggap tindakan (membodohi rakyat) ini lebih penting.

Kebijakan Nol Kasus yang dipaksakan oleh pemerintah Tiongkok dibangun di atas fondasi blokade totaliter dan pengawasan ketat terhadap gerakan populasi.

Di satu sisi, Kebijakan Nol Kasus tampaknya efektif. Meskipun jumlah sebenarnya dari kematian dan rawat inap adalah sepuluh kali lipat sebagaimana yang diklaim Beijing. Di tahap awal epidemi mungkin saja terkendali dan dianggap berhasil berkat tipuan angka.

Seorang peneliti Tiongkok berpendapat bahwa jika pemerintahan partai komunis Tiongkok berani bertindak seperti pemerintah negara Barat, tidak melakukan kontrol ekstrim terhadap virus corona baru, maka jangan-jangan jumlah kasus per harinya akan mencapai antara 280.000 hingga 637.000 orang, dan layanan medis Tiongkok yang relatif sederhana tidak akan mampu mengatasinya.

Tetapi bahkan sebelum munculnya Omicron, Kebijakan Nol Kasus ini sudah mengalami ujian berat karena vaksin buatan daratan Tiongkok tidak cukup efektif untuk mengantisipasi penularan. Begitu blokade dan pengawasan ketat dicabut, besar kemungkinan kasus infeksi COVID-19 dalam situasi tanpa adanya kekebalan kelompok akan menyebar dengan cepat di Tiongkok. Jika itu adalah virus varian Omicron yang penyebarannya begitu kuat, bahkan alat yang paling totaliter pun tidak sanggup membendungnya.

Oleh karena itu, Kebijakan Nol Kasus ini tidak akan efektif. Tapi PKT tidak berani tidak mengakuinya, termasuk para ahli Tiongkok pun dipaksa mengakuinya. Lantaran Xi Jinping telah disebut-sebut dalam propaganda, bahwa ia berupaya untuk meyakinkan rakyatnya mengenai Kebijakan Nol Kasus itu mampu mencerminkan “demokrasi rakyat di seluruh proses”, sebuah sistem “demokrasi” ala PKT yang dapat mengungguli demokrasi Barat.

Bahkan rakyat Tiongkok yang tidak memiliki saluran untuk menyampaikan keluhan juga memiliki kesabaran yang terbatas. Jika Omicron terus merajalela, apakah pengawasan ketat pemerintah selama 2 tahun yang tidak efektif itu tidak akan membuat rakyat marah ? Kaum totaliter cenderung tidak mengendurkan kontrol terhadap rakyat untuk terus memegang kekuasaan meskipun setelah epidemi telah menghilang. Namun, bagaimana reaksi orang biasa ? Bagaimana reaksi orang kaya dan orang yang berpendidikan ? Bagaimana dengan masyarakat kelas menengah, yang kesempatan untuk berpariwisata dan mengikuti pendidikan luar negeri telah dirampas rezim. Apakah mereka semua ini akan terus diam ?

Sebelum epidemi COVID-19, ekonomi Tiongkok sudah mulai melemah, dan situasinya lebih buruk sekarang. Meskipun ekspor Tiongkok masih kuat, tetapi tidak ada jaminan jika hal itu dapat berlangsung lama. Karena terputusnya rantai pasokan, konsumsi dalam negeri yang lemah, penolakan asing terhadap teknologi Tiongkok dan sebagainya. Banyak perusahaan Tiongkok kini telah mem-PHK karyawannya. Bahkan pemain global seperti Tiongkok ini tidak dapat terus berada dalam keadaan setengah tertutup.

Apa yang akan dilakukan Xi jinping? Tidak punya rencana B atau alternatif untuk diperkenalkan, karena rencana B sama saja dengan mengakui kesalahan. PKT bahkan tidak bisa mengimpor vaksin asing, jadi tidak ada yang lain kecuali rencana A.

Kebijakan Nol Kasus juga merugikan hubungan antara Tiongkok dengan dunia internasional. Saat ini, rezim Beijing tampaknya berniat untuk terus mengisolasi diri dari dunia luar untuk mengurangi penyebaran COVID-19. Dengan mengurangi pertukaran bisnis, akademik, pemerintah, non-pemerintah dan lainnya, yang berarti bahwa terdapat lebih banyak ruang untuk membuat kesalahpahaman dan ketidakpercayaan.

Di dalam negeri, Xi Jinping mengumumkan “perang rakyat” terhadap virus corona jenis baru (COVID-19). PKT justru mempropagandakan sikapnya yang suka berperang itu ke dunia, tetapi tidak mau bekerja sama dengan negara asing untuk mencari sumber virus, tidak secara terbuka mendukung WHO (terutama termasuk Taiwan), tidak secara terbuka bekerja sama dengan ilmuwan Barat, tetapi memanfaatkan krisis sebagai kesempatan untuk menggaet keuntungan bagi diri sendiri. Karena itu rezim komunis Tiongkok masih harus membayar harga yang sangat mahal atas perbuatannya mempolitisasi epidemi. (ET/sin/sun)

0 comments