Lockdown Shanghai Tak Ada Ujungnya, Tiongkok Menghadapi Gejolak Besar

Sejumlah personel anti-epidemi berjaga di kawasan pemukiman yang dikunci akibat pandemi virus corona (COVID-19) di Distrik Jing'an, Shanghai, Tiongkok, 6 April 2022. (HECTOR RETAMAL/AFP via Getty Images)

Forum Elite – Epochtimes dan NTD

  • Setelah berlangsungnya lockdown selama dua bulan yang tak pernah terlihat dalam kurun waktu seabad, Shanghai akhirnya mencabut lockdown mulai 1 Juni. Namun demikian, kehidupan masyarakat, operasional perusahaan, serta modal asing mungkin masih tak kembali seperti sedia kala. Rapuhnya sistem kredit masyarakat Tiongkok mulai menimbulkan efek domino.
  • Sementara itu, perebutan kekuasaan tingkat tinggi terus berlanjut ketika gencarnya pemblokiran Shanghai.
  • Sebaliknya, menjelang mendekatnya Konferensi Beidaihe, para pucuk pimpinan Partai Komunis Tiongkok bergelut di sekitar dua garis yakni pencegahan epidemi dan menstabilkan ekonomi. Dampak yang dimunculkan tak terhindarkan terhadap masyarakat Tiongkok. Kini Tiongkok terjerembab dalam pergolakan yang lebih besar.

Awal bulan ini, sebuah artikel populer New York Times berjudul “Relief, Reunion, and New Anxieties: Apa Artinya ‘Kembali ke New Normal’ di Shanghai,” membahas bagaimana 25 juta penduduk Shanghai pasca lockdown selama delapan minggu,yang mana justru berakhir dengan status quo.

Menurut pengantar artikel, penutupan kota berdampak besar kepada para pebisnis di Shanghai. Bahkan, beberapa pabrik garmen kecil dan menengah, mungkin perlu dua bulan lagi agar pabrik dapat kembali berproduksi secara normal.

Pengusaha lainnya menyebutkan logistik saat ini masih terdampak, bahkan jika lockdown dicabut, kekurangan bahan baku akan mempengaruhi produksi pabrik. Singkatnya, dari perspektif makro, Shanghai tidak akan kembali ke masa lalu dalam waktu singkat.

Menurut data ekonomi resmi yang dirilis oleh Partai Komunis Tiongkok pada 15 Juni, pada Mei tahun ini, nilai tambah perusahaan industri Tiongkok di atas ukuran yang ditentukan meningkat sebesar 0,7% Year over year (YoY). Angka ini membalikkan penurunan 2,9% pada bulan April. Namun, indeks produksi industri jasa Tiongkok turun 5,1% YoY di bulan Mei, dan penjualan ritel barang-barang konsumsi turun 6,7% YoY.

Sedangkan tingkat pengangguran berbasis survei turun menjadi 5,9 persen dari 6,1 persen pada April, masih di atas target resmi Tiongkok yang kurang dari 5,5 persen tahun ini. Secara khusus, tingkat pengangguran yang disurvei di 31 kota besar rebound menjadi 6,9%, yang mencatatkan rekor tertinggi.

Sebuah laporan Reuters pada 15 Juni menunjukkan bahwa operasional pabrik di Tiongkok telah membaik, akan tetapi data konsumsi dan pekerjaan menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi masih lemah, dan ketatnya kebijakan pencegahan epidemi masih menyeret perekonomian.

Situs resmi Biro Statistik Kota Shanghai pada 17 Juni mengklaim, nilai total output perusahaan industri Shanghai di atas ukuran yang ditentukan turun 27,6% YoY di bulan Mei, dan nilai pengiriman ekspor perusahaan industri turun 19,6 %.

Baru-baru ini, Song, seorang pengusaha Shanghai yang tinggal di Amerika Serikat, mengatakan dalam program “Forum Elite” NTD dan Epoch Times bahwa banyak perusahaan Tiongkok pindah ke Asia Tenggara dan Amerika Selatan. Lebih dari 90 persen produk berasal dari Tiongkok, dan sekarang ada di sana. Secara bertahap beberapa produk dari Amerika Selatan, Vietnam, India, dan banyak produk dari negara lain, dan rantai industri sudah mulai menyebar.

Song menilai keruntuhan ekonomi Tiongkok saat ini tidak dapat diubah. Pasalnya, relokasi perusahaan atau relokasi kantor pusat dapat menyebabkan putusnya seluruh rantai industri. Oleh karena itu, sangat sulit memulihkan rantai industri di masa depan yang membutuhkan waktu puluhan tahun.

Song mengatakan bahwa dirinya telah tinggal di Shanghai selama lebih dari 50 tahun. Melalui penutupan kota seperti itu, dia merasa bahwa orang-orang Shanghai benar-benar datang dengan beberapa ide subversif, karena mereka merasa bahwa tinggal di Tiongkok, bahkan tinggal di Shanghai akan melibatkan masalah hidup dan mati. Kini, mereka merasa mungkin ada yang salah dengan propaganda Partai Komunis Tiongkok. Sekarang orang-orang Shanghai berencana untuk melarikan diri dan pergi ke luar negeri. Mereka bahkan, tidak berencana untuk kembali lagi ke Tiongkok.

Song menunjukkan secara khusus bahwa dia percaya bahwa apa yang disebut penutupan kota oleh Xi Jinping sebenarnya sudah direncanakan. Tujuannya untuk menghilangkan privatisasi pribadi secara total dan membiarkan perusahaan-perusahaan itu tutup dengan sendirinya.

Mr Song berkata bahwa banyak temannya berbisnis di Tiongkok. Setelah Shanghai sempat ditutup selama dua bulan, banyak perusahaan mungkin telah memutuskan rantai modal dan banyak rantai industri mereka. Sekarang mereka perlu memulihkan rantai industri ini. Apalagi, sebagian besar perusahaan swasta tersebut benar-benar berada di ambang kehancuran, dan beberapa benar-benar telah kolaps.

Dr. Yang Jingduan, seorang pakar akupunktur dan pengobatan Tiongkok internasional, pengobatan integratif dan psikiatri dalam episode “Forum Elite” ini mengatakan bahwa penutupan kota di Shanghai mengancam kehidupan dan kebebasan orang-orang. Hal demikian mendatangkan trauma secara serius di jiwa orang-orang Shanghai. Apalagi, meninggalkan kenangan mendalam di pikiran dan jiwa orang-orang yang tidak akan pernah terlupakan. Selain itu, berdampak jangka panjang pada masa depan Shanghai dan masa depan Tiongkok.

Dr. Yang Jingduan menuturkan, untuk bertahan hidup, banyak orang Tiongkok menderita Sindrom Stockholm dan memiliki banyak perasaan tidak baik yang tak dapat dijelaskan terhadap pemerintah dan Partai Komunis. Selain itu, orang Tiongkok juga banyak mengalami sindrom stres pascatrauma, sehingga mereka menjauhi politik dan pemerintahan, dan mereka sangat takut. Penutupan kota tersebut langsung mengancam keberlangsungan kehidupan warga. Dikarenakan mereka tidak memiliki pekerjaan, tidak ada gaji, tidak ada makanan, dan tidak ada tempat untuk berobat. Ini secara langsung mengancam keberadaan dan kebebasan warga. Pada akhirnya, toleransi warga sudah mencapai ambang batas.

Tak hanya itu, penutupan Shanghai kali ini memperburuk penurunan angka kelahiran di Tiongkok. Jika kondisi kehidupan dasar setiap orang dibatasi atau bahkan terancam karena tindakan penguncian yang ekstrem, sulit untuk membayangkan bahwa orang-orang bersedia untuk membawa kehidupan baru ke dunia ini, atau membangun keluarga di bawah faktor yang tidak menentu.

Menurunnya tingkat kesuburan penduduk Tiongkok membuat bonus demografi pembangunan ekonomi Tiongkok lenyap, yang juga akan memperburuk penarikan modal asing. Selain itu, masyarakat Tiongkok sendiri menghadapi keruntuhan secara total terhadap kepercayaan sosial, yang akan menimbulkan krisis dominasi internal yang lebih serius.

Shi Shan, editor senior dan pemimpin redaksi The Epoch Times, berkomentar dalam edisi “Forum Elite” ini bahwa pemerintah Shanghai akan menyerahkan penutupan kota kepada komite lingkungan setelah lockdown dicabut, yang akan menyebabkan krisis percaya diri secara serius.

Ia mengatakan salah satunya adalah runtuhnya hubungan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan ada juga dua lapisan hubungan yang juga runtuh. Pertama, hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan yang lainnya adalah hubungan antara pemerintah akar rumput dan pemerintah kota Shanghai. Dikarenakan, nantinya orang-orang di komite lingkungan ingin mengatakan, soal pagar besi dan segala macam tindakan blokade terkait pihak Kota. Konkritnya, pihak Kota meminta mereka untuk melakukannya.

“Mereka juga sekarang membuang kesalahan dan melemparkan tekanan ke tingkat komite lingkungan, apa yang harus pihak komite lakukan selanjutnya? Ketika pihak Kota memberi perintah, apakah pihak komite akan mengeksekusinya atau tidak? Shi Shan menilai, bahwa menjelang dekonstruksi masyarakat mana pun, ada krisis yang berkaitan dengan kepercayaan, dan dalam proses dekonstruksi dan runtuhnya semua sistem otokratis tersebut, maka dimulai dari tingkat akar rumput. Ini terjadi ketika Dinasti Qin ambruk. Seperti kemunculan seseorang seperti Liu Bang, direktur biro keamanan publik kantor polisi setempat, yang memulai masalah, dan dimulai pada tingkatan ini,” ujarnya.

Shi Shan juga menunjukkan bahwa Wall Street Journal menerbitkan sebuah artikel yang mengatakan bahwa Komunis Tiongkok sekarang berada dalam sistem jalur ganda. Jadi pada akhirnya, kita harus sampai pada kesimpulan dalam jangka pendek, jika tidak, robekan sosial di Tiongkok akan mulai merobek mereka, dan akhirnya akan benar-benar hancur. Mr Shi Shan berkata, Komunis Tiongkok sekarang menuju ke arah kehancuran dengan jalur yang sangat sederhana. Kedua pihak jelas merupakan kontradiksi seperti permainan zero-sum. Bagaimana cara mengatasi kontradiksi ini? Jika tidak ada tingkat persatuan dan koordinasi yang tinggi di dalam partai, masalah ini mungkin akan diselesaikan di konferensi Beidaihe.

Konferensi Beidaihe adalah pertemuan liburan yang diadakan oleh Partai Komunis Tiongkok setiap musim panas di Resor Beidaihe, Qinhuangdao, Hebei.

Pada 15 Mei lalu, Kantor Umum Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok mengeluarkan aturan “Pendapat Tentang Penguatan Partai Membangun Kader Pensiunan di Era Baru”, yang mewajibkan pensiunan kader dan anggota partai untuk secara ketat mematuhi disiplin partai dan tidak secara sewenang-wenang membahas kebijakan utama Komite Sentral Partai serta menyebarluaskan komentar politik yang negatif.

Sebelumnya banyak komentar yang percaya, bahwa aturan dikeluarkan dikarenakan Xi Jinping mengeluarkan dokumen peringatan publik sebelumnya untuk mencegah pengepungan para tetua partai Komunis Tiongkok yang menentangnya di pertemuan Beidaihe, yang berarti sengitnya pertikaian di pucuk Partai Komunis Tiongkok.

Program baru “Forum Elite” yang diluncurkan oleh NTD dan The Epoch Times adalah forum TV yang didasarkan pada dunia Tiongkok. Mengungkapkan pandangan mendalam tentang kebenaran sejarah.

Edisi “Forum Elite” kali ini berfokus pada sekuel dari model penutupan Shanghai, dan membahas dampak penutupan Shanghai terhadap situasi politik, ekonomi serta serangkaian masalah sosial yang terjadi di Tiongkok. (ET/hui/sun)

0 comments