Rezim Menggiring Tiongkok Memasuki Era Rakyat Memenjara Diri Sendiri Lewat Kode Kesehatan

Seorang penumpang menunjukkan kode QR hijau di ponselnya untuk menunjukkan status kesehatannya kepada keamanan setibanya di stasiun kereta Wenzhou di Wenzhou, Tiongkok pada 28 Februari 2020. (Noel Celis / AFP via Getty Images)

TIM FORUM ELITE

Sudah 3 tahun sejak pandemi COVID-19 menyebar dari Kota Wuhan, Tiongkok. Seiring dengan perkembangan virus, langkah-langkah pencegahan epidemi di negara-negara seluruh dunia secara bertahap dilonggarkan demi pemulihan ekonomi juga agar kehidupan sosial dapat kembali normal. Tetapi hanya di daratan Tiongkok yang pemerintahnya dengan kebijakan “Nol Kasus Infeksi”, selain tidak mengendurkan metode pencegahan epidemi, malahan memperketat dan mempolitisasikannya.

Dalam dua minggu terakhir, kasus epidemi telah terjadi di seluruh daratan Tiongkok, akibatnya pemblokiran kota dan komunitas kembali terjadi di banyak wilayah. Bahkan bentrokan antara warga sipil dengan pejabat dan personel pencegahan epidemi terjadi di banyak tempat.

Pada saat yang sama, pihak berwenang terus melakukan penyempurnaan terhadap kode kesehatan yang wajib dipindai setiap warga sipil yang melakukan perjalanan. Pada 9 November, instansi seperti Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok, Administrasi Negara untuk Pengobatan Tradisional Tiongkok, dan Administrasi Negara untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, mengumumkan “Rancangan Repelita ke-14 dalam Mewujudkan Informasi Kesehatan Nasional Bagi Setiap Warga Tiongkok”, yang isinya antara lain menyebutkan bahwa, pada tahun 2025, setiap warga negara Tiongkok akan sudah memiliki catatan kesehatan elektronik yang dikelola secara dinamis oleh pihak berwenang dengan menerbitkan kode kesehatan elektronik yang telah berfungsi penuh. Berita itu menyebabkan kemarahan masyarakat Tiongkok. Para pakar yang diwawancarai oleh Tim Forum Elit berpendapat bahwa penerapan kode kesehatan elektronik secara nasional berarti warga sipil di seluruh daratan Tiongkok telah digiring untuk memasuki era memenjara diri sendiri.

Era Memenjara Diri Sendiri Tiba Bersamaan dengan Penerapan Nasional Pindai Kode Akses

Hangzhou adalah kota pertama di Tiongkok yang menggunakan Kode Kesehatan. Pada 17 Februari 2020, Provinsi Zhejiang menjadi provinsi pertama di Tiongkok yang sepenuhnya telah menerapkan kode kesehatan bagi warganya. Pemantauan yang dilakukan pihak berwenang berdasarkan data besar semacam ini sekarang telah diterapkan di seluruh Tiongkok, dan telah dijadikan sarana penting bagi pemerintah partai komunis Tiongkok untuk memantau kegiatan seluruh rakyat.

Pada 6 November 2021 pagi ketika pengacara hak asasi manusia Tiongkok Xie Yang hendak terbang ke Shanghai untuk mengunjungi ibunda dari Zhang Zhan, seorang jurnalis warga sipil, tetapi di bandara dia menemukan bahwa Kode Kesehatan-nya tiba-tiba sudah berwarna merah sehingga ia harus membatalkan perjalanan. Namun, keesokan harinya Kode Kesehatannya kembali berubah menjadi hijau.

Mrs. Guo Jun, pemimpin redaksi media “The Epoch Times” dalam wawancara dengan tim “Forum Elit” baru-baru ini mengatakan bahwa melalui Kongres Nasional ke-17 yang lalu, PKT pernah mengusulkan untuk melakukan modernisasi terhadap kemampuan negara dalam memerintah, yang sebenarnya bertujuan untuk menerapkan sebuah cara untuk mengendalikan warga dan masyarakat Tiongkok. Sekarang rezim ingin menerapkan sistem pindai kode akses lewat Kode Kesehatan yang disempurnakan jelas adalah perwujudan dari rencana Kongres Nasional ke-17.

Mrs. Guo Jun mengatakan bahwa usulan penerapan sistem pindai kode akses mewajibkan setiap warga yang ingin pergi ke pusat perbelanjaan, naik bus umum, naik kereta api atau bahkan pesawat udara perlu melakukan pemindaian terlebih dahulu. Jika kode kesehatan Anda berwarna merah atau kuning, maka Anda akan mengalami kesulitan untuk bergerak di Tiongkok. Masalahnya adalah, kata Mrs. Guo Jun bahwa kode kesehatan yang berubah menjadi merah atau kuning itu tidak harus terkait dengan hasil tes asam nukleat. Kita telah melihat bahwa ketika sebuah bank di Henan gagal membayar kewajibannya kepada nasabah, nasabah yang menuntut pembayaran juga mendapatkan kode berwarna merah. Selama berlangsungnya Kongres Nasional ke-20, sejumlah pembangkang juga diberikan kode merah. Dengan kata lain, kode merah dapat dikenakan terhadap pribadi tertentu tetapi tidak kepada anggota keluarganya. Jadi begitu Anda diberi kode merah, itu sama dengan Anda diborgol dan dipenjara oleh otoritas yang memanfaatkan ponsel Anda sebagai borgol dan tempat tinggal Anda sendiri sebagai tahanan. Inilah mode kontrol baru yang berbiaya rendah tetapi berefisiensi tinggi.

Mrs. Guo Jun mengatakan, coba bayangkan jika otoritas menjadikan 1 miliar penduduk Tiongkok pemilik ponsel yang dibeli dengan harga tidak murah itu sebagai borgol untuk diri sendiri, dan tempat tinggal mereka yang juga dibeli dengan harga mahal sebagai tahanan. Maka sebentar lagi Tiongkok akan memasuki era warga memenjara diri sendiri. Pemerintah selain memenjarakan Anda, tetapi juga menghasilkan banyak uang darinya. Prospek ini bakal sangat mengerikan.

Mr. Shi Shan, seorang editor senior dan pemimpin redaksi “The Epoch Times” mengatakan dalam program self-medianya, bahwa jika lode kesehatan dalam ponsel Anda berwarna merah, maka Anda akan sulit bergerak. Jadi ponsel Anda adalah borgol elektronik Anda, Masalahnya adalah, borgol dan rumah tahanan buat Anda itu Anda biayai sendiri, penguasa tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun, mereka hanya perlu menggerakkan jari di atas keyboard untuk mengubah kode kesehatan Anda menjadi berwarna merah dan Anda akan secara otomatis terkurung dalam rumah tahanan sendiri. Bahkan tidak perlu mengeluarkan surat perintah penahanan atau surat perintah penangkapan. Betapa nyaman, efisien, dan berbiaya rendah. Inilah tujuan PKT melakukan modernisasi terhadap kemampuan negara dalam memerintah.

Cuci Otak PKT Lebih Mengerikan daripada Totalitarianisme Digital

Model kontrol yang ditetapkan oleh rezim Beijing melalui kode kesehatan juga telah membawa dunia luar kembali berfokus terhadap topik totalitarianisme digital. Wang Juntao, penanggung jawab cabang luar negeri Partai Demokrasi Tiongkok mengatakan kepada tim “Forum Elit” bahwa apa yang kita sebut totalitarianisme digital umumnya hanya digunakan untuk mengontrol informasi, tetapi tidak melakukan cuci otak. Sedangkan totalitarianisme PKT jauh lebih menakutkan karena ia menekankan kontrol psikologi, semangat dan budaya masyarakat, yang lebih kita kenal sebagai cuci otak. Sebagaimana yang dikatakan Mao Zedong dulu, itu adalah semacam revolusi yang menyentuh jiwa, yang sangat mengerikan. Selama Gerakan Rektifikasi Yan’an di masa lalu, cuci otak telah berhasil secara paksa mengubah Ding Ling dan sekelompok besar orang yang tinggal di komunitas yang disewa Barat sehingga berpikiran Barat menjadi sekelompok orang yang mendukung Mao Zedong dan PKT.

Wang Juntao mengatakan bahwa totalitarianisme digital dalam hal sarana teknis, adalah mekanisme kontrol online. Jika tidak memiliki mekanisme kontrol offline ini, efek yang dihasilkan dari mekanisme online ini sebenarnya relatif terbatas. Sekarang pemerintah komunis Tiongkok telah mempromosikan manajemen berbasis jaringan ke masyarakat, tetapi beberapa daerah masih mempertahankan sistem Baojia (sistem politik kuno), untuk waktu yang lama fungsi kontrol organisasi politik dan sosial semacam ini jauh dari apa yang dapat dibandingkan dengan totaliter digital.

Namun, Wang Juntao juga menunjukkan bahwa totalitarianisme PKT tidak mungkin menghilangkan kekuatan oposisi, karena tidak mungkin dapat mengubah keragaman kepentingan dan ide sosial, dan kekuatan yang beragam ini akan berada di dalam sistem totaliter, walau keberadaannya lebih tersembunyi, yang akhirnya akan menyebabkan terjadinya krisis pemerintahan yang lebih besar, bahkan meruntuhkan sistem totaliter.

Wei Jingsheng, seorang aktivis gerakan demokrasi Tiongkok mengatakan kepada tim “Forum Elit” bahwa cuci otak sebenarnya adalah hal yang paling diutamakan oleh pemerintah Tiongkok, sedangkan digitalisasi, hanya berupa sarana tambahan untuk mendukung tujuan cuci otak. Wei Jingsheng memberi contoh. Ketika saya mengobrol dengan Hukovsky, seorang pembangkang terkenal asal Uni Soviet, dia berkata bahwa saya terpaksa bertanya kepada Anda. Meskipun Uni Soviet dan Tiongkok sama-sama memiliki kamp kerja paksa. Tapi yang tidak saya mengerti adalah, mengapa pembentukan kembali ideologi terhadap semua tahanan selalu dilakukan dalam kamp kerja paksa Tiongkok ? Padahal polisi-polisi di sana tidak berpendidikan tinggi, bagaimana mereka bisa melakukan reformasi pemikiran kita ?

Wei Jingsheng menjelaskan bahwa Hukovsky tidak mengerti karena Uni Soviet tidak memiliki perangkat (cuci otak) seperti ini, tetapi Partai Komunis Tiongkok menciptakan perangkat cuci otak yang lebih menyeluruh. Saya mengatakan kepadanya, sebenarnya, Cuci otak ini adalah metode yang dipakai dalam melatih budak, melatih seseorang merendahkan diri sendiri, memarahi diri sendiri, membuat seseorang setiap hari mengulang-ulangi ucapan panjang umur bagi seorang pemimpin idola, setelah seseorang berulang kali mengucapkan hal yang sama, maka hal itu akan menjadi perilaku bawah sadarnya, menjadikan seseorang itu budak yang patuh kepada majikannya setelah ia melepaskan semua hal yang semestinya ia miliki sebagai orang biasa. Patuh bagi budak lebih “menguntungkan” daripada membangkang, karena dapat membuatnya terhindar dari cambukan majikan.

Wei Jingsheng mengatakan bahwa mungkin para anggota senior Partai Komunis Tiongkok tidak menyadari bahwa setelah memasuki era reformasi dan keterbukaan, orang akan lebih terbuka pikirannya dan berkomunikasi lebih banyak dengan dunia luar, sehingga mereka tidak lagi begitu muda dicuci otak. Karena itu Partai Komunis Tiongkok hanya bisa iri terhadap metode Cuci Otak Korea Utara. Cuci otak di Korea Utara terus berlanjut hingga saat ini tanpa perubahan, tetapi tidak demikian di Tiongkok, sehingga akan sangat sulit bagi rezim PKT untuk kembali ke cara yang dilakukan di masa lalu. Sekarang Xi Jinping ingin memanfaatkan teknologi modern untuk membantu mewujudkan lagi situasi cuci otak masa lalu, agar rakyat secara sukarela menjadi budaknya penguasa.

Wei Jingsheng menunjukkan bahwa setelah COVID-19 menyebar, Xi Jinping menemukan bahwa penguncian ketat ini merupakan cara yang sangat baik untuk mengurung warga di rumah, dan ini adalah pelatihan yang sangat efektif, sama seperti seseorang dimasukkan ke dalam sel tahanan, tidak diberikan makanan, supaya warga mengemis kepada penguasa. Rakyat yang ingin mendapat makanan gratis harus meminta dan tunduk terhadap penguasa. Warga sipil dilatih untuk membiasakan diri berpikir demikian. Ini adalah sebuah pelatihan, melatih rakyat menjadi budak yang setia. Soal alasan mengapa kamp kerja paksa di Tiongkok berbeda dengan yang ada di Uni Soviet adalah, itu karena PKT lebih efektif dalam melatih warga sipil menjadi budak. Anda dapat melihat, bagaimana kamp kerja paksa memperlakukan para tahanan, sampai mereka benar-benar menjadi budak. Sekarang bahkan banyak warga sipil Tiongkok bersedia menjadi antek PKT dengan masuk sebagai anggota “partai 50 sen”. Saya menemukan bahwa orang-orang yang mau bekerja dengan dibayar hanya “50 sen” itu sebenarnya adalah para narapidana dalam penjara.

Pertikaian Internal PKT Masih Berlanjut, Kebijakan Nol Kasus Akan Terus Dipertahankan

Pertemuan pertama Komite Tetap Biro Politik PKT setelah Kongres Nasional ke-20 menyatakan bahwa kebijakan Nol Kasus akan terus dipertahankan. Tetapi keesokan harinya, Dewan Negara mengeluarkan 20 peraturan terperinci tentang pencegahan epidemi yang isinya jelas-jelas mengarah ke pelonggaran persyaratan yang diterapkan dalam kebijakan Nol Kasus, termasuk menentang “gugur satu mati seribu” (gara-gara satu orang terinfeksi, ribuan orang digiring untuk menjalani karantina paksa di tempat isolasi terpusat), membatalkan tes asam nukleat berskala besar, efektif dalam menerapkan pencegahan epidemi dan seterusnya. Dunia luar menemukan bahwa tampaknya rezim sedang bingung dalam menentukan kebijakan pencegahan epidemi.

Namun, sejak 12 November, Zhong Yin di media “People’s Daily” telah menerbitkan empat artikel yang menyajikan pujian atas kebijakan Nol Kasus pemerintah Tiongkok, dan mengingatkan agar tidak lupa melakukan “perhitungan utang” baik yang baru maupun lama.

Mrs. Guo Jun mengatakan bahwa tidak peduli bagaimana virus dan epidemi akan berkembang, kebijakan Nol Kasus Tiongkok akan terus dipertahankan. Guo Jun mengatakan bahwa alasan mengapa Xi Jinping dapat dipilih kembali, atau bahkan berkuasa seumur hidup, adalah karena oleh PKT Xi Jinping telah digembar-gemborkan sebagai pemimpin yang paling rasional, berpandangan jauh ke depan, dan kuat, dan bahwa dia adalah seorang sosok seperti Stalin dan Mao Zedong. Jika rakyat mengira Xi Jinping membuat keputusan yang salah, maka otoritas diktator akan menurun. Padahal bagi sistem otokratis, otoritas diktator sangat penting, ia adalah fondasi dari sebuah rezim. Di sisi lain, PKT mempromosikan sistem totalitarianisme digital melalui kebijakan Nol Kasus. Inilah yang disebut sebagai rancangan yang dibuat oleh para pejabat tingkat atas, yang juga melibatkan perebutan kekuasaan di dalam partai. Meskipun lawan-lawan Xi Jinping “tak berkutik” dengan keputusan yang dihasilkan oleh Kongres Nasional ke-20, tetapi mereka Itu belum hilang, jadi apakah mereka bersedia mendukung kebijakan ekstrem Xi Jinping dalam pencegahan epidemi ? Perjuangan ini belum sepenuhnya berakhir.

Kepada tim “Forum Elit” Wei Jingshen mengatakan, kebijakan Nol Kasus sekarang sedang dalam persimpangan jalan yang dapat menyulutkan sebuah konflik internal baru di partai. Menurut Wei Jingsheng, bahwa mereka yang termasuk dalam faksi Xi Jinping pasti jumlahnya tidak banyak. Sementara pemimpin masa lalu, seperti Jiang Zemin dan Hu Jintao, mereka meninggalkan banyak kader dan barisan, jadi banyak pejabat PKT yang bersedia mendukungnya. Ketika Xi Jinping memperlakukan Hu Jintao di dalam Kongres Nasional dengan cara yang kasar, tentu akan membuat banyak pejabat berpikir lebih jauh dalam menghadapi Xi Jinping. Oleh karena itu, pertempuran di internal partai selain tidak berhenti malahan akan meningkat. Hanya sementara waktu mungkin terlihat tenang seperti itik yang sedang terapung di atas air, padahal arus dibawahnya kuat.

Wei Jingsheng mengatakan bahwa kebijakan pencegahan epidemi ekstrem, termasuk kemerosotan ekonomi yang serius, rakyat jelata mengalami kesulitan dalam menyambung hidup dan lainnya telah menyebabkan perlawanan besar dari rakyat jelata. Rakyat sekarang lebih berani melawan secara terbuka, sebuah situasi yang hampir setara dengan perlawanan mahasiswa dan rakyat jelata pada tahun 1989. Jika situasi seperti ini tidak segera diubah, maka dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial akan semakin memburuk. Apalagi kalau Xi Jinping menginstruksikan penyerangan terhadap Taiwan. Tidak heran jika pemberontakan terjadi di dalam negeri, seperti di era Dinasti Sui (tahun 610-an), di saat Kaisar Yang dari Sui mengerahkan pasukannya untuk menaklukkan Korea, terjadi pemberontakan di dalam negeri. (ET/sin/sun)


0 comments