Pendiri Falun Gong: PKT Menutupi Fakta Mengenai Pandemi, Jumlah Kematian di Tiongkok Mencapai 400 Juta

Suasana dalam sebuah rumah sakit di Tiongkok pada 3 Januari 2023. (Jade Gao/AFP/Getty Images)

TANG QING, CHENG JING, MU QING

Tsunami epidemi sedang melanda daratan Tiongkok dengan kekuatan yang dahsyat, korban terjadi di mana-mana, antrean panjang jenazah menanti giliran kremasi terlihat di krematorium seluruh negeri. Meskipun demikian, pemerintah partai komunis Tiongkok (PKT) masih saja terus berupaya menutupi kebenaran, memodifikasi jumlah angka pasien terinfeksi, bahkan jumlah kematiannya agar terlihat kejadian tidak separah kenyataan. Namun, sejumlah besar informasi langsung yang diberikan masyarakat menunjukkan, bahwa jumlah kematian akibat epidemi di daratan Tiongkok adalah sangat besar. Master Li Hongzhi, pendiri Falun Gong mengatakan bahwa jumlah korban kematian akibat wabah COVID-19 di Tiongkok sudah mencapai 400 juta jiwa, tetapi PKT terus mencoba menutupi kenyataan ini.

Epidemi telah menyebar di banyak tempat di seluruh Tiongkok pada waktu yang bersamaan di November 2022. Sejak 7 Desember pihak berwenang melepas total pencegahan penyebaran epidemi, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Tiongkok hanya melaporkan nol kematian baru selama 11 hari berturut-turut.

CDC Tiongkok bahkan mengumumkan pada 8 Januari 2023 bahwa antara 7 Desember 2022 hingga 8 Januari 2023 hanya 37 orang warga yang meninggal akibat epidemi. Tentu saja tak seorang pun di dalam maupun luar negara yang mempercayai angka bohong tersebut.

Di media sosial Tiongkok yang disensor dengan ketat, tragedi kehancuran keluarga yang tak terhitung jumlahnya masih tetap dapat kita lihat setiap harinya, yang situasinya jauh lebih buruk daripada yang digambarkan oleh PKT.

Tak heran jika media asing mempertanyakan data epidemi di Tiongkok yang disajikan secara resmi, tetapi tidak ada yang bisa mendapatkan data akurat karena PKT telah memutuskan untuk TIDAK LAGI mendata kasus epidemi, bahkan melarang penulisan kata “COVID-19” pada kasus penyakit pasien.

Master Li Hongzhi mengatakan bahwa PKT telah menutupi epidemi selama lebih dari tiga tahun. Epidemi di daratan Tiongkok telah menyebabkan 400 juta warga meninggal dunia. Ketika gelombang epidemi ini berakhir, akan ada 500 juta orang di Tiongkok yang meninggal dunia.

Master Li mengatakan bahwa ketika SARS muncul, 200 juta orang di Tiongkok meninggal dunia. Bertahun-tahun kemudian, pemerintah komunis Tiongkok menemukan bahwa populasi telah menurun, karena itu mereka segera mendorong sistem dua anak dan tiga anak.

Bertahun-tahun sebelumnya, Guru Li telah memberikan peringatan bahwa wabah akan menyebabkan bencana besar di Tiongkok, dan Beliau pun langsung memberikan arahan untuk menyelamatkan diri. Dalam puisinya, Beliau menyebutkan: “Jauhkan diri dari PKT yang jahat” dan “Cepatlah menemukan kebenaran.”

“Insiden Kematian Terbesar Sejak Lompatan Jauh ke Depan”

Ben Lowsen, seorang sinolog dan ahli strategi militer Amerika Serikat menerbitkan sebuah artikel di majalah “Diplomat” pada 5 Januari 2023, menyebutkan bahwa rakyat Tiongkok sekarang mungkin sedang menghadapi “insiden kematian terbesar sejak Lompatan Jauh ke Depan.”

Antara 1958 dan 1961, kebijakan Mao Zedong telah menyebabkan kematian 20 juta rakyat Tiongkok atau lebih akibat kelaparan. Saat itu, ketika kekacauan dan tragedi muncul di seluruh negeri, demi kepentingan kekuasaan, otoritas Tiongkok langsung memutuskan untuk tidak menyediakan statistik kematian akibat kelaparan, kata Ben Lowsen.

Ben Lowsen menyebutkan: “Setali tiga uang, hari ini pemerintahan Xi Jinping juga meniadakan pendataan kasus terkait COVID-19 di Tiongkok”.

Dalam beberapa tahun terakhir, data sensus kependudukan Tiongkok telah dipertanyakan oleh dunia luar. Misalnya, pada Desember 2021, Yi Fuxian, seorang ahli demografi yang terkenal secara internasional, memperkirakan bahwa penduduk Tiongkok pada tahun 2020 adalah 1,28 miliar jiwa, bukan 1,41 miliar yang dinyatakan oleh data sensus resmi.

Data Epidemi yang Keterlaluan dan Strategi “Mengeruhkan Air”

Pada tahap awal epidemi, data epidemi yang dirilis oleh PKT sudah diragukan oleh pakar asing.

George Calhoun, Direktur Proyek Keuangan Kuantitatif di Institut Teknologi Stevens, AS menulis sebuah artikel di majalah “Forbes” edisi bulan Januari 2022 yang menyampaikan keraguannya terhadap data infeksi dan kematian dalam laporan resmi PKT.

Berdasarkan laporan resmi PKT, di Tiongkok rata-rata kematian dari 100.000 orang yang positif COVID-19 hanyalah 0,321 orang. Padahal, rata-rata kematian dari 100.000 orang yang positif COVID-19 di AS adalah 248 orang. Jadi rata-rata kematian di AS adalah 800 kali di Tiongkok. Bagaimana ini mungkin?

Sebuah artikel di “Forbes” pada 2 Januari tahun ini menyebutkan bahwa analisis data resmi dari otoritas Tiongkok menunjukkan bahwa dalam 90 hari setelah penguncian Kota Wuhan, rata-rata angka kematian akibat COVID-19 adalah 376 kali lebih tinggi daripada angka kematian nasional secara resmi yang diumumkan oleh otoritas Tiongkok. Dalam dua tahun sejak merebaknya COVID-19 di Wuhan pada awal tahun 2020, jika Provinsi Hubei tidak dimasukkan dalam hitungan, di antara 1,3 miliar penduduk Tiongkok yang tersisa, hanya 200 – 300 orang yang meninggal karena penyakit yang berhubungan dengan COVID-19. Jadi tingkat kematian rata-rata dari 100.000 orang yang positif terinfeksi adalah 0,002 orang. Tidak masuk akal jika 124.000 kali lebih rendah dari tingkat kematian di Amerika Serikat.

Hu Ping, pemimpin redaksi kehormatan majalah “Beijing Spring”, percaya bahwa untuk membohongi rakyat, pemerintah komunis Tiongkok terbiasa menggunakan strategi “mengeruhkan air”. “Toh, angka itu angka bohong, sekalian saja dibesarkan, semakin besar kebohongan semakin baik. Karena begitu kebohongan melebihi imajinasi orang biasa, maka rata-rata orang ketika melakukan spekulasi dan memperkirakan angka yang mendekati kenyataannya, mereka cenderung dibatasi oleh imajinasi dari dirinya. Jadi malah dapat memberikan perkiraan yang relatif rendah,” kata Hu Ping.

Kepada VOA Hu Ping mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok tahu bahwa tidak ada pihak yang mau mempercayai datanya, dan juga tidak mengharapkan orang lain untuk mempercayainya, PKT hanya berusaha memperkeruh keadaan. Selama data kematian menjadi kasus yang tidak dapat dijelaskan dengan jelas oleh siapa pun, maka sebagian dari tujuan pihak berwenang sudah tercapai. 
Pada 3 Januari 2023, rumah sakit Shanghai kewalahan dengan pasien yang jumlahnya cukup besar. (Ray Young/Feature China/Future Publishing/Getty Images)

Sistem Penanganan Jenazah di Kota-kota Besar Lumpuh Total

Saat ini, sistem penanganan jenazah di kota-kota besar Tiongkok berada dalam keadaan lumpuh total.

“Washington Post” mengutip gambar satelit yang diambil oleh Maxar Technologies dari Amerika Serikat pada 10 Januari menunjukkan bahwa dari Beijing ke Nanjing, dari Chengdu ke Kunming, rumah duka / krematorium di berbagai lokasi di tenggara, barat laut, dan utara Tiongkok dalam keadaan luar biasa sibuknya.

Menurut gambar satelit yang diambil oleh Maxar Technologies pada 24 Desember tahun lalu terlihat, sebuah rumah duka / krematorium di Tongzhou, Beijing, sedang membangun tempat parkir baru. Washington Post mengidentifikasi perluasan tersebut terjadi pada sekitar tanggal 22 Desember. Dalam waktu kurang dari 2 hari, Rumah Duka / Krematorium Tongzhou tiba-tiba ada lebih dari 100 mobil yang berparkir di sana.

Seorang sopir di Kota Nanjing yang membantu mengangkut jenazah mengatakan kepada reporter Washington Post bahwa dirinya belum pernah melihat situasi seperti saat ini meskipun sudah puluhan tahun menjadi sopir mobil jenazah.”

Adegan serupa juga terjadi di rumah duka / krematorium di banyak tempat di Tiongkok.

“Seluruh sistem sekarang sedang lumpuh”. Seorang karyawan yang menjawab telepon di krematorium Shanghai mengatakan kepada Bloomberg baru-baru ini. “Di sini terlalu sibuk.”

Seorang karyawan Rumah Duka Baoxing Shanghai mengatakan kepada reporter Epoch Times pada 28 Desember tahun lalu: “Kami mulai mengeluarkan nomor antrian pada jam 8. Sekarang sudah biasa jika mengantre selama 4 atau 5 jam. yang tidak mendapatkan (nomor antrian) terpaksa antri lagi untuk keesokan harinya. Kami sekarang mengkremasi antara 400 – 500 jenazah setiap harinya. Padahal dulunya paling banyak hanya sekitar 90 (jenazah) sehari. itu pun karyawan bagian kremasi sudah harus bekerja lembur.” Menurut informasi publik, di Kota Shanghai ada 15 rumah duka yang menangani jenazah.

Pada 19 Desember tahun lalu, pemilik rumah duka di Kota Shenyang mengatakan kepada reporter Epoch Times bahwa terus ada saja pasien di unit gawat darurat banyak rumah sakit di Shenyang yang meninggal dunia karena terinfeksi COVID-19. Tidak semua jenazahnya bisa kita terima (karena di luar kemampuan tampung). “Saya sendiri bahkan pergi (ke UGD) untuk mengangkat jenazah.”

Dia mengungkapkan bahwa tidak ada mobil untuk membawa jenazah, tempat menyimpan jenazah sangat terbatas.

“Terlalu banyak orang yang meninggal, entah harus bagaimana, terlalu banyak,” katanya.

“Suasana di setiap rumah sakit pun sama. Ada rumah sakit yang menumpuk sampai 10, 7 atau 8 jenazah di lorong-lorong, kami juga tidak berdaya untuk mengatasi jenazah sebanyak itu. Entah harus bagaimana?”

The Economist melaporkan bahwa seorang pekerja pemakaman mengatakan bahwa sebuah krematorium di Dengzhou, kota setingkat kabupaten di Henan, memproses lebih dari 100 jenazah setiap harinya, beberapa minggu terakhir ini menjadi 160 jenazah setiap hari. Padahal sebelum COVID-19, mereka hanya menangani 30 hingga 40 kremasi sehari. Pekerja tersebut mengatakan bahwa gara-gara COVID-19 dirinya sekarang menghadapi kesibukan sampai tiga kali lebih besar dari biasanya.

Bao Jian, putri sekretaris Zhao Ziyang, Bao Tong memposting sebuah informasi di Twitter pada 13 Januari: “Di Beijing dalam 1 bulan terakhir, ada ratusan ribu orang yang meninggal, tetapi pemerintah kota bahkan mengadakan pertemuan dan melakukan pujian. Sungguh tidak tahu malu ! Dalam satu bulan terakhir, ada 17 orang teman dan kerabat saya meninggal dunia, ini tidak pernah terjadi dalam hidup saya. Mungkinkah itu baru terjadi sekali dalam seribu tahun? Hei, pemerintah Beijing, bagaimana anda menjelaskan kepada warga Beijing bahwa 90% dari orang terinfeksi virus dalam waktu satu bulan? Awalnya 90% tidak menunjukkan gejala, sekarang 90% menunjukkan gejala, dan 10% pasien langsung penyakitnya menjadi serius?”

Seorang netizen menjawab: “Saya berada di Beijing. Jumlah ratusan ribu yang Anda sebutkan itu mungkin agak konservatif. Saya perkirakan jumlahnya mencapai jutaan orang.”
Pada 19 Desember 2022, mobil jenazah berbaris di luar rumah duka di pinggiran timur Beijing. (Bloomberg/Getty Images)

Bao Jian menjawab: “Saya tidak memiliki data yang akurat, tetapi menurut gambaran bahwa seluruh rumah duka penuh, antrian untuk pembakaran jenazah sampai sedemikian panjangnya, butuh sedemikian lamanya untuk mendapatkan giliran, juga lumpuhnya sistem pertolongan darurat, antrian panjang untuk mendapat perawatan di ruang gawat darurat, kamar jenazah rumah sakit tidak lagi dapat menampung jenazah, persediaan peti mati, guci untuk abu jenazah berkurang secara signifikan, ditambah lagi dengan sulitnya keluarga untuk mendapatkan tempat pemakaman jenazah ….. kemudian, berdasarkan data yang dirilis secara lokal pada kasus yang parah dan penyakit paru-paru putih, yang paling penting adalah (saya) membuat penilaian yang subyektif berdasarkan sikap otoritas yang tanpa berita apapun.”

Selain kota besar, pedesaan juga tidak lebih baik. Mr. Wang, orang dalam sistem yang meminta namanya dirahasiakan demi keamanan dirinya mengatakan kepada reporter Epoch Times bahwa epidemi merebak sangat serius di kampung halamannya Provinsi Anhui.

“Di sana, sekelompok orang tua meninggal lebih dulu, dan dua tetangga kami juga meninggal. Sekarang mulai giliran yang muda (meninggal). Di daerah pedesaan bahkan lebih buruk situasinya. Banyak sekali warga yang mati, setiap hari muncul berita duka,” kata Mr. Wang.

“Rumah sakit setempat juga mengeluarkan pemberitahuan bahwa tidak boleh mengkaitkan kematian dengan COVID-19. Penyebab kematian pasien harus dicantumkan sesuai penyakit yang mendasarinya, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit jantung dan sebagainya, pokoknya tidak karena COVID-19.”

Bloomberg melaporkan bahwa sebuah desa di Kabupaten Luyi, Provinsi Henan, hampir setiap rumah tangga ada anggota yang sakit. Rasa pasrah akibat sistem medis yang lumpuh dan obat-obatan yang tidak tersedia menyelimuti warga desa tersebut, banyak keluarga terpaksa memilih untuk menjaga anggota keluarga mereka yang sedang sekarat untuk melewati akhir hidup di dalam rumah. Tentu saja nama mereka tidak akan muncul dalam daftar resmi kematian akibat COVID-19 di Tiongkok. (ET/sin/sun)


0 comments