Buddha Raksasa Leshan Empat Kali Meneteskan Air Mata, Pesan Apa yang Ingin Disampaikan ke Dunia?


Video Channel:



Buddha Raksasa Leshan Empat Kali Meneteskan Air Mata, Pesan Apa yang Ingin Disampaikan ke Dunia?

Patung Buddha raksasa Leshan adalah patung batu Buddha tertinggi di dunia.

Terletak di antara pertemuan tiga sungai di Kota Leshan, Provinsi Sichuan Tiongkok. Ketiga sungai tersebut adalah Sungai Minjiang, Qingyi dan Dadu.

Patung Buddha ini dipahat di abad ke-8 Masehi pada batu tebing di gunung Lingyun.

"Gunung adalah Buddha, Buddha adalah gunung," pemandanganya sangat menakjubkan.

Patung Buddha dengan penuh belas kasih menyaksikan kapal-kapal yang lewat.

Memberkati mereka agar selamat menyeberangi sungai.

Dalam sejarah masa lalu, orang-orang telah 4 kali menyaksikan patung Buddha ini meneteskan air mata.

Pertama kali adalah disaat tiga tahun tragedi “kelaparan hebat” selama masa pemerintahan Mao Zedong di tahun 1962.

Karena kesalahan kebijakan dari Mao Zedong, mengakibatkan hampir 10 juta orang di Sichuan mati kelaparan.

Karena kelaparan dan tidak punya tenaga untuk menggali kubur, jasad kemudian di gulung dengan tikar dan dilempar ke sungai.

Setiap hari, mayat-mayat akibat mati kelaparan mengapung dan mengalir mengikuti arus sungai.

Saat itu banyak penduduk setempat telah menyaksikan patung Buddha yang telah berusia ribuan tahun ini tiba-tiba menutup matanya.

Foto patung Buddha raksasa menutup matanya kini masih dilestarikan di Aula Pameran Leshan.

Air mata patung Buddha kedua terjadi pada tahun 1963.

Pada masa Revolusi Besar Kebudayaan di Tiongkok.

Tragedi Kelaparan Hebat baru saja berakhir dan gerakan mengakui Mao Zedong (Pemimpin PKT saat itu) sebagai Tuhan pun dimulai.

Sang patung Buddha raksasa sekali lagi menitikkan air mata, hal ini membuat "banyak orang" sangat ketakutan.

Partai Komunis Tiongkok (PKT) pernah mengalokasikan 40 juta yuan untuk membersihkan patung Buddha raksasa.

Namun tetap tidak dapat menghapus bekas air mata dari mata patung Buddha raksasa!

Ketiga kalinya terjadi pada tahun 1976.

Pada Gempa Bumi di Tangshan, patung Buddha raksasa "marah."

Karena kurangnya perkiraan dan prediksi akan Gempa, ditambah lagi pemerintah memblokir berita dan menolak bantuan dunia internasional, gempa bumi besar menyebabkan sekitar 650.000 orang meninggal.

Orang-orang mengeluh bahwa Sang Buddha marah dan menutup mata serta sekali lagi menitikkan air mata!

Keempat kalinya terjadi pada 7 Juni 1994

Para turis di atas kapal pesiar melihat patung Buddha raksasa menangis dengan sangat sedih.

Air mata menetes dengan deras.

Otot-otot di wajah, dagu dan tubuh bergetar hebat.

Tidak lama kemudian, kapal pesiar berlabuh.

Orang-orang melihat patung Buddha raksasa Leshan tersenyum, tersenyum dengan sangat bahagia.

Namun air matanya masih menempel di wajahnya.

Pada saat itu, ada seorang bijak dan murid-muridnya kebetulan menyaksikan pemandangan ini.

Salah satu murid bertanya: “Mengapa patung Buddha raksasa Leshan menangis?”

Orang bijak menjawab: "Patung Buddha raksasa khawatir tentang dunia manusia, manusia tidak lagi menghormati Buddha. Kembali ke tradisi, maka kehidupan masih mempunyai harapan."


Cuplikan dari: Editorial 9 Komentar Mengenai Partai komunis

Demi memusnahkan seluruh umat manusia, partai komunis telah merusak Kebudayaan Tradisional bangsa Tionghoa, mengubah manusia menjadi Bukan Manusia, dan telah mengubah sebuah negara yang pernah memiliki peradaban tinggi dan indah, menjadi negara yang bagaikan bukan sebuah negara lagi.

Tuhan berbelas kasih kepada manusia. Kehidupan berasal dari dunia kerajaan Langit yang indah, Tuhan tidak ingin melihat mereka dihancurkan begitu saja, ini sebabnya terus-menerus memberikan seruan penuh belas kasih. Yang dapat membaca dan memahami fenomena Langit, menyadari belas kasih Tuhan, barulah dapat melihat harapan untuk memperoleh penyelamatan.

Cerai-beraikan partai komunis Tiongkok, singkirkan sepenuhnya segala macam manifestasi paham komunis di dunia, pulang kembali ke tradisional, jagalah kebaikan dalam lubuk hati, dengan demikian kehidupan barulah memiliki harapan! 

0 comments