Subversi Tiongkok terhadap WHO Merusak Respon Pandemi Global

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus. | (FABRICE COFFRINI / AFP)
PETR SVAB

Para kritikus terutama menunjukkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia itu, terlalu lambat untuk mengajukan pembatasan perjalanan dan beberapa tindakan pencegahan lainnya. WHO juga menerima informasi dari Tiongkok untuk “cari muka”.

Sementara para ahli Tiongkok memperingatkan adanya kerahasiaan, WHO terus memuji tentang aksi Partai Komunis Tiongkok. Apalagi, WHO tidak pernah memperingatkan dunia bahwa data yang berasal dari rezim komunis Tiongkok sangat mencurigakan.

WHO, sebuah badan Persatuan Bangsa-Bangsa, telah lama diombang-ambingkan oleh preferensi politik Beijing. Kepala Organisasi Kesehatan Dunia saat ini, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, adalah mantan anggota kelompok Maois di Ethiopia.

Seperti yang telah didokumentasikan The Epoch Times, PKT meningkatkan kekuasaannya pada lembaga-lembaga di Persatuan Bangsa-Bangsa selama bertahun-tahun.

Kini pengaruh Beijing sudah sejauh ini, Beijing merusak fungsi dasar Organisasi Kesehatan Dunia, seperti menyediakan waktu yang tepat dan informasi akurat mengenai situasi kesehatan dunia. Contoh kasus: Virus PKT.

Timeline

Virus PKT (Partai Komunis Tiongkok), yang umumnya dikenal sebagai virus corona wuhan, merebak di Kota Wuhan di Tiongkok Tengah sekitar November 2019, sebelum menyebar di seluruh Tiongkok dan dunia.

Pada 14 April, ada sekitar 2 juta kasus infeksi virus yang dipastikan, yang menyebabkan penyakit COVID-19. Sejak itu hampir 130.000 kasus kematian dikaitkan dengan penyakit COVID-19 di seluruh dunia.

Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa, pihak berwenang Tiongkok pertama kali memberitahukan Organisasi Kesehatan Dunia adanya wabah tersebut pada 31 Desember 2019. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia tidak menyampaikan informasi apa pun kepada dunia pada hari juga, yang seharusnya menjadi peluang emas bagi dunia untuk mengurangi penyebaran virus di seluruh dunia.

Tampaknya hanya satu negara yang cukup dekat dengan pusat wabah yang mendengar dan menanggapi berita tersebut secara bermakna — yaitu: Taiwan.

Pada 31 Desember, negara kepulauan di lepas pantai Daratan Tiongkok mulai memantau wisatawan yang datang dengan penerbangan dari Wuhan.

Pihak berwenang Taiwan juga mengatakan kepada Organisasi Kesehatan Dunia pada hari itu, bahwa dokter Taiwan telah belajar dari rekan-rekannya di daratan Tiongkok bahwa pekerja kesehatan telah jatuh sakit akibat terinfeksi virus baru yang misterius.

Itu adalah informasi penting, karena informasi itu menunjukkan penularan virus dari orang ke orang. Namun Organisasi Kesehatan Dunia mengabaikannya, sebagaimana dikatakan pejabat Taiwan kemudian.

Taiwan telah ditolak keanggotaannya di Organisasi Kesehatan Dunia, di mana para personel Organisasi Kesehatan Dunia dilarang menggunakan dokumen atau bahkan informasi dari sumber resmi Taiwan tanpa izin khusus sebelumnya, menurut memo Organisasi Kesehatan Dunia pada 2010 yang bocor.

“Izin khusus tersebut melibatkan koordinasi dengan Misi Permanen PBB Tiongkok di Jenewa,” tulis memo itu.

Pada 2 Januari, The Epoch Times melaporkan upaya Partai Komunis Tiongkok untuk memblokir informasi mengenai wabah dan tingginya tingkat kecemasan yang menyebar di seluruh Wuhan.

Arahan Komisi Kesehatan Wuhan melarang semua fasilitas medis di Wuhan “mempublikasikan informasi medis tanpa izin,” dan diskusi online mengenai wabah dengan cepat disensor.

Pada 1 Januari, polisi Wuhan mengatakan bahwa pihaknya telah menahan delapan penduduk setempat yang menyebarkan “desas-desus” mengenai wabah. Ternyata, setidaknya beberapa whistleblower yang ditindas adalah para dokter yang berusaha memperingatkan rekan-rekan sejawatnya mengenai virus baru.

Penduduk setempat yang panik memborong semua masker bedah dan obat yang dijual bebas di apotek di Wuhan. Ahli Tiongkok dan tabib Tang Jingyuan memperingatkan kerahasiaan oleh pemerintah mungkin memperburuk penyebaran virus.

Sementara itu, WHO tetap diam.

Pada 3 Januari, WHO diberitahu oleh pihak berwenang komunis Tiongkok adanya 44 kasus, 11 dari 44 kasus itu adalah kasus yang parah. Hal itu mirip puncak gunung es.

Pada 5 Januari, The Epoch Times melaporkan, mengutip beberapa pakar, bahwa rezim Partai Komunis Tiongkok cenderung menutupi informasi mengenai virus, yang merugikan untuk mengendalikan wabah.

Hari itu, Organisasi Kesehatan Dunia berkomentar untuk pertama kalinya mengenai wabah itu, mengungkapkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia mengetahui adanya wabah “pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya” di Wuhan selama lima hari, WHO menganjurkan agar wabah tersebut “ditangani dengan bijaksana”.

Tetapi Organisasi Kesehatan Dunia tidak menganjurkan “tindakan khusus apa pun untuk wisatawan.”

Malahan, WHO menganjurkan sebaliknya.

“Organisasi Kesehatan Dunia menyarankan untuk tidak menerapkan larangan perjalanan atau perdagangan apa pun untuk Tiongkok berdasarkan informasi yang tersedia saat ini di acara ini,” demikian pernyataan resmi WHO.

Lima hari kemudian, WHO menangani wabah lagi. Mari kita simak pernyataan WHO ini:

“Dari informasi yang tersedia saat ini, investigasi awal menunjukkan bahwa tidak ada penularan yang bermakna dari manusia ke manusia, dan tidak terjadi infeksi di antara petugas layanan kesehatan,” kata Organisasi Kesehatan Dunia, bertentangan dengan informasi yang diberikan oleh Taiwan.

“Organisasi Kesehatan Dunia tidak menganjurkan langkah-langkah kesehatan khusus untuk wisatawan,” kata Organisasi Kesehatan Dunia. Malahan, Organisasi Kesehatan Dunia memberi informasi umum mengenai cara menangani infeksi virus.

Pada 12 Januari, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan “tidak ada bukti yang jelas adanya penularan dari manusia ke manusia,” sedikit menyesuaikan bahasanya.

“Investigasi awal yang dilakukan oleh pihak berwenang Tiongkok tidak menemukan bukti yang jelas adanya penularan dari manusia ke manusia,” WHO mengumumkan dua hari kemudian, tidak pernah mengungkapkan bayangan keraguan terhadap pernyataan resmi rezim komunis Tiongkok.

Pada saat ini, Taiwan sudah mengatur untuk tim pencari fakta Taiwan pergi ke Wuhan.

“Tiongkok tidak membiarkan kita melihat apa yang tidak diinginkan Tiongkok kita lihat, tetapi para ahli kami merasakan situasinya adalah tidak optimis,” kata juru bicara pemerintah Taiwan Kolas Yotaka kepada NBC News.

Segera setelah tim kembali, Taiwan memulai pengujian dan pelaporan persyaratan untuk rumah sakitnya.

“Menjaga sendiri, tidak mendengarkan WHO dalam kasus khusus ini, saya pikir benar-benar membantu,” kata Dr. William Stanton, Wakil Presiden Universitas Yang-Ming Nasional Taiwan dan mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Tiongkok, dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan Jan Jekielek dari The Epoch Times.

Organisasi Kesehatan Dunia hanya berhasil membawa timnya ke Wuhan untuk “kunjungan lapangan yang singkat” pada 20 Januari.

Pada 17 Januari, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat mengirim personel untuk menyaring wisatawan yang datang dari Wuhan yang tiba di tiga bandara besar Amerika Serikat — JFK, Los Angeles International, dan San Francisco International, yang mendapatkan lalu lintas tertinggi dari pusat wabah. Lebih banyak bandara di-tambahkan ke daftar pada minggu-minggu berikutnya.

Pada 20 Januari, Tiongkok memastikan penularan dari manusia ke manusia.

Pada 23 Januari, hari di mana Komunis Tiongkok mengkarantina Wuhan, Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan bahwa, meskipun ada beberapa perselisihan internal, Organisasi Kesehatan Dunia tidak akan menyatakan wabah “darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional.”

Pada saat itu, kasus infeksi virus sudah mulai muncul di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat.

Tiga hari kemudian, Taiwan melarang penerbangan dari Wuhan dan mengatur penerbangan khusus untuk memulangkan warga negaranya dari Wuhan.

Pada 28 Januari, saat mengunjungi Tiongkok, Tedros Adhanom Ghebreyesus mendesak negara-negara di dunia “untuk tetap tenang dan tidak bereaksi berlebihan”. Ia mengekspresikan kepercayaan kendali epidemi oleh PKT, media yang dikelola pemerintah Tiongkok melaporkan.

Pada 3 Februari, tiga hari setelah Presiden Donald Trump melarang orang asing yang baru-baru ini berada di Tiongkok bepergian ke Amerika Serikat, Tedros Adhanom Ghebreyesus menyuarakan menentang larangan bepergian. Ia mengatakan langkah-langkah yang “tidak mengganggu perjalanan dan perdagangan” adalah tidak diperlukan.

Dalam cuitan pada 20 Maret, Tedros Tedros Adhanom Ghebreyesus kembali mengulangi propaganda Partai Komunis Tiongkok, mengatakan bahwa “untuk pertama kali, Tiongkok melaporkan tidak ada kasus COVID19 domestik kemarin.”

Sementara untuk para ahli Tiongkok, semua berita itu menegaskan bahwa angka yang dikeluarkan oleh Partai Komunis Tiongkok adalah palsu, Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebutnya sebagai “prestasi luar biasa, yang meyakinkan kita semua bahwa Coronavirus dapat dikalahkan”.

Pemodelan statistik, laporan saksi mata, dan dokumen yang disediakan untuk The Epoch Times menunjukkan bahwa pihak berwenang Partai Komunis Tiongkok menyembunyikan skala wabah sebenarnya di Wuhan dan wilayah lain di Tiongkok.

Namun Tedros Adhanom Ghebreyesus berulang kali memuji “transparansi” Tiongkok dalam menanggapi wabah — sesuatu yang para ahli dan pejabat pemerintah di seluruh dunia tegaskan sebagai yang paling kurang.

The Victims of Communism Memorial Foundation atau Yayasan Korban Komunisme, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan pada 1990-an oleh pemerintah Amerika Serikat, pada 10 April menerbitkan secara terperinci timeline kerahasiaan Komunis Tiongkok terhadap epidemi dan kesalahan WHO.

The Victims of Communism Memorial Foundation, juga mengumumkan akan menambahkan kematian akibat virus PKT global hingga sejarah kematian akibat komunisme.

“Organisasi Kesehatan Dunia telah melepaskan tanggung jawabnya kepada seluruh populasi dunia guna melayani rezim Komunis Tiongkok,” kata Marion Smith, Direktur Eksekutif The Victims of Communism Memorial Foundation, dalam rilisnya.

Hubungan Pribadi

Pengaruh Partai Komunis Tiongkok terhadap Organisasi Kesehatan Dunia berasal dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, bagian lain yang dimainkan oleh Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Tedros Adhanom Ghebreyesus adalah mantan anggota Politbiro dari Front Pembebasan Rakyat Tigray, sebuah kelompok Maois yang melancarkan perang gerilya pada 1980-an melawan rezim Mengistu di Ethiopia yang didukung Soviet.

“Yang paling mirip dengan ideologi Front Pembebasan Rakyat Tigray adalah Korea Utara saat ini,” menurut Trevor Loudon, seorang ahli gerakan komunis dan kelompok depan.

Pada awal 1990-an, saat rezim Mengistu kehilangan dukungan keuangan dari Uni Soviet yang runtuh, koalisi Tigray dengan kelompok lain menggulingkan rezim Mengistu dan memerintah Ethiopia hingga 2019.

Sementara di permukaan, pemerintah Ethiopia menganut reformasi pasar dan pemilihan yang demokratis, secara ideologis pemerintah Ethiopia adalah tetap sosialis, Trevor Loudon berkata, terutama dalam hal kebijakan luar negeri.

“Mereka masih menjaga hubungan dengan negara-negara komunis,” kata Trevor Loudon dalam wawancara telepon dengan The Epoch Times.

Tedros Adhanom Ghebreyesus, mantan Menteri Kesehatan dan kemudian Menteri Luar Negeri suatu negara Afrika, secara alami mempertahankan ikatan kuat dengan Partai Komunis Tiongkok, yang merangkul proyek-proyek seperti One Belt one Road,” yang melayani Partai Komunis Tiongkok mengembangkan pengaruh geostrategis Partai Komunis Tiongkok.

Tedros Adhanom Ghebreyesus mencetak posisi teratas Organisasi Kesehatan Dunia pada 2017 dengan dukungan kuat dari lobi Partai Komunis Tiongkok, terlepas dari tuduhan bahwa ia telah merahasiakan tiga wabah kolera selama masa jabatannya sebagai Menteri Kesehatan Ethiopia.

“Para diplomat Tiongkok berkampanye keras untuk orang Etiopia, menggunakan pengaruh keuangan Beijing dan anggaran bantuan yang tidak jelas untuk membangun dukungan bagi Tedros Adhanom Ghebreyesus di antara negara berkembang,” tulis kolumnis Sunday Times, Rebecca Myers saat itu.

Tedros Adhanom Ghebreyesus membantah merahasiakan wabah kolera. Ia mengatakan keadaan itu hanyalah “diare akut.”

Tedros Adhanom Ghebreyesus terbukti mahir bermain dalam sensitivitas Barat terhadap tuduhan penindasan.

Saat seorang penasihat untuk lawan Tedros Adhanom Ghebreyesus yang berasal dari Inggris dalam merebut kepemimpinan WHO mengangkat kasus wabah kolera yang dirahasiakannya, Tedros Adhanom Ghebreyesus menuduh sang penasihat lawan memiliki “pola pikir kolonial.”

Saat Taiwan memperingatinya karena mengabaikan informasi mengenai virus PKT (Partai Komunis Tiongkok), Tedros Adhanom Ghebreyesus menuduh Taiwan melakukan serangan rasis.

Tuduhan itu tampaknya tidak banyak membantu menangkis kritik; sebuah petisi yang menyerukan pengunduran diri Tedros Adhanom Ghebreyesus telah mengumpulkan hampir satu juta tanda tangan.

Dalam pandangan Dr. William Stanton, Organisasi Kesehatan Dunia, “sebagaimana saat ini dibentuk”, harus kehilangan hak pendanaannya.

“Saya pikir kita harus mengambil tindakan yang lebih keras dalam hal bagaimana WHO menangani virus ini. Dalam pandangan saya, karena WHO adalah jelas hanyalah sebuah corong pemerintah Republik Rakyat Tiongkok,” kata Dr. William Stanton. (epochtimes)

0 comments