HUT yang Sama Belum Tentu Bernasib Sama | Contoh Kasus Trump & Xi Jinping

Foto arsip pertemuan Trump dan Xi. (JIM WATSON | AFP | GETTY IMAGES)

CHEN ZHOU

Hari ulang tahun Presiden AS Donald Trump pada 14 Juni 2020, genap berusia 74 tahun. Keesokan harinya senin adalah hari ulang tahun pemimpin tertinggi PKT Xi Jinping, yakni pada 15 Juni 1953, tahun ini genap berusia 67 tahun. Dengan mempertimbangkan selisih waktu 12 jam antara waktu pesisir timur AS dengan waktu Beijing, hari ulang tahun Xi dan Trump hampir berbarengan. Hubungan keduanya kini belum genap 4 tahun, tapi takdir pertemuan kedua tokoh dunia ini bisa dibilang cukup mendalam.

Trump 7 tahun lebih tua daripada Xi Jinping, keduanya telah memasuki usia lanjut, berdasarkan kehidupan yang telah ditempuh, usia mereka telah memasuki periode akhir, namun karir mereka justru sedang berada di puncak, nasib mereka di masa yang akan datang ternyata sama sekali bakal tidak sama.

Trump telah meraih kehormatan

Trump yang putra dari seorang raksasa bisnis, telah mendapat dukungan dari warga pemilih Amerika dan berhasil menjadi presiden AS, yang tentu saja merupakan kehormatan tertinggi dalam hidupnya. Di luar dugaan Trump dapat meraih kehormatan ini, dikarenakan dirinya bersedia mengemban tanggung jawab melindungi kepentingan orang-orang Amerika Serikat. Ia tidak memilih undur diri setelah sukses dalam bidang bisnis, melainkan di usia lanjut 71 tahun, ia justru menyambut tantangan di kubangan politik AS.

Setelah menjabat selama 3 tahun, perekonomian AS meraih prestasi yang luar biasa (sebelum Korona), ini tentunya berkat pengalaman berharganya di dunia bisnis selama puluhan tahun. Keberhasilannya yang lebih besar adalah secara mendasar membalikkan kebijakan AS terhadap PKT, dan mendapatkan semakin banyak dukungan dari warga AS, bisa dikatakan telah menyelamatkan situasi genting. Di tengah pertempuran melawan pandemik, Trump tak lupa pula terus melawan PKT, hal itu kembali telah memperlihatkan kemampuan kepemimpinannya yang tidak lumrah.

Tentunya Trump berharap dapat menjabat 4 tahun lagi, masih ada idealisme yang ingin diwujudkannya yakni, untuk membawa AS kembali ke puncak masa jayanya, Trump memang memiliki kemampuan ini, juga telah dibuktikannya. Dari pilpres 3 November mendatang yakni kurang dari 5 bulan lagi, Trump mulai menapak jalan pencalonan kembali dirinya. Selama ia terus melanjutkan kebijakannya yang telah berhasil, diduga akan menjabat kembali.

Tentu, dalam pilpres AS, apa pun bisa terjadi, saat ini kekuatan sayap kiri di AS tengah menciptakan kerusuhan, hampir sangat sulit memprediksi arah perkembangan situasi selanjutnya. Partai Demokrat dengan sendirinya berharap dapat mengambil keuntungan menggeser Trump di tengah kerusuhan, tapi peluangnya tidak besar. Munculnya Trump telah hampir menggulingkan elit politik AS, para lawan politiknya tengah berusaha bangkit kembali dengan menghalalkan segala cara, tak akan mudah bagi Trump untuk terpilih kembali, beberapa bulan mendatang mungkin akan banyak ombak besar menghadang.

Meskipun berbagai faktor ekstrem menerpa, dan Trump benar-benar tidak bisa menjabat ulang, bagi dirinya akan sangat disayangkan. Tapi selama 4 tahun ini dengan keajaiban ekonomi yang telah dicapainya, luput dari aksi pemakzulan yang kurang bukti, juga pengalaman unik di tengah pandemi terus melawan PKT, sudah cukup untuk membuatnya membawa pulang kehormatan. Terlepas dari dapat atau tidaknya menjabat kembali sebagai presiden, kebijakan melawan PKT tidak diragukan lagi akan dilanjutkan (oleh pemimpin mendatang termasuk dari Partai Demokrat), ia telah menyadarkan Amerika. Baik itu kembali ke dunia bisnis, atau kembali membuat acara televisi, atau pensiun dan menulis buku, jejak kehidupan Trump tidak akan terasa kesepian.

Sebaliknya melihat peluang Xi Jinping, di tengah konflik sengit antar kubu di tahun 2012, Xi naik jabatan setelah jatuh bangun, lalu terseret kembali ke dalam pusaran konflik internal PKT. Demi bertahan hidup Xi Jinping harus memegang kekuasaan, untuk memegang kekuasaan harus memberantas korupsi, dan akibat pemberantasan korupsi telah menimbulkan banyak musuh.

Demi mengukuhkan supremasi kekuasaannya, Xi Jinping secara membabi buta mendorong Belt Road Initiative (BRI), dan sejak diteriakkannya “komunitas nasib bersama”, program 2025 ditakdirkan akan gugur, Xi Jinping pun telah menciptakan ancaman bagi dirinya sendiri. Pada 2017, Xi Jinping berdamai dengan lawan politiknya, berhasil mendapatkan gelar pemimpin. Sepertinya Xi Jinping telah menapak ke puncak kejayaannya, tapi sebenarnya Xi masih tidak bisa tenang, proses kejatuhan PKT dan dirinya dengan cepat sudah dimulai. Tanggung jawab penindasan Falun Gong, secara diam-diam disetujuinya untuk dilimpahkan pada tokoh dari kubu Jiang yang menjabat sebagai Komisi Kedisiplinan yakni Zhao Leji.

Pada akhir 2017 Trump berkunjung ke RRT, Xi Jinping khusus mengundang Trump duduk bersama di singgasana naga di Istana Forbidden City (Istana Terlarang), mengisyaratkan kesetaraan dengan Amerika di wilayah Pasifik. Salah tafsir ini telah menyulitkan Xi Jinping sendiri dalam perang dagang yang dimulai 2018 lalu, pada saat yang sama kubu anti Xi membangkang serta tidak mau berkooperatif dengan Amerika, menolak melebur dalam tatanan ekonomi internasional, menolak ekonomi pasar dan keterbukaan terhadap dunia luar, terlebih lagi menolak jalan menuju demokratisasi dan kebebasan, ini ditentukan oleh sifat hakiki partai komunis itu sendiri, Xi Jinping secara pribadi juga sama sekali tak mampu mengubahnya.

Pada 2019, kubu anti Xi kembali dengan sengaja mengacaukan Hong Kong, yang telah memicu “gerakan anti UU ekstradisi” di Hong Kong, kondisi Xi Jinping dalam kancah perpolitikan internal pun mendadak anjlok seketika, dan mau tidak mau terpaksa menandatangani kesepakatan dagang tahap pertama AS-RRT.

Di tahun 2020 ini, pandemi yang terlihat seolah bencana alam namun sesungguhnya adalah ulah manusia telah mewabah, Xi Jinping kembali melakukan kesalahan parah, atau bisa dikatakan karakter kebohongan PKT lagi-lagi telah membuatnya menanggung tumbal yang ditimpakan kepadanya. Lebih tepat dikatakan, virus itu datang menyasar partai komunis, Xi Jinping sama sekali tak berdaya bangkit lagi. Kebohongan dan penindasan mungkin bisa menakuti rakyat untuk sesaat, tapi posisi Xi Jinping sudah di ujung tanduk, pandemi telah membuat seluruh dunia mengucilkan PKT, dia yang berkeinginan melepaskan beban yang ditimpakan kepadanya juga tak kuasa mencampakkannya. Belum sampai Trump menjabat untuk kali kedua, kemungkinan Xi Jinping bisa saja mengalami nasib dihabisi orang lain.

Sesungguhnya pada awalnya Xi Jinping memiliki kesempatan meninggalkan PKT, dan meniru Trump dalam mengemban tanggung jawab terhadap rakyat, dengan sikap bertanggung jawab terhadap rakyat Tiongkok dan terhadap dirinya sendiri, akan dapat mengubah dan memperoleh nasib yang sama sekali berbeda. Namun Xi Jinping malahan telah memilih melindungi partai dan melindungi dirinya sendiri, pada akhirnya akan bernasib ikut musnah bersama PKT, dan ini pun sudah menjadi keniscayaan.

Hikmah dari Nasib Berbeda Trump dan Xi

Latar belakang Trump dan Xi Jinping berbeda, keduanya ingin berada di puncak dunia, tapi keputusan mereka terhadap masalah dunia sangat jauh berbeda, sikap keduanya juga sangat berbeda, jalan yang dipilih pun tentu saja berbeda, nasib akhir dengan sendirinya tidak mungkin bisa sama.

Perbedaan nasib mereka, sepertinya juga disebabkan oleh perbedaan sistem pemerintahan.

Trump kini tinggal melihat apakah ia mampu meraih kembali pengakuan warga pemilih atau tidak. Jika Trump bisa menjabat lagi, kejayaan akan berlanjut, jika tidak terpilih pun, ia masih memiliki tempat di tengah masyarakat, biarpun ada orang yang mengkritik dan memperdebatkannya.

Xi Jinping tumbuh besar di tengah kediktatoran komunis, sangat memahami kekejaman konfl ik internal. Dengan status keturunan kader Dinasti Merah generasi kedua Xi memegang kekuasaan, tidak mampu melihat dan juga tidak mau menerima ending / kisah akhir dari kemusnahan PKT, ia sendiri pun juga tak kuasa memilih, sepertinya tidak lagi berkesempatan menjadi pemimpin PKT yang pensiun.

Nasib Trump dan Xi Jinping, sebenarnya adalah pilihan sejarah, juga merupakan saksi sejarah. Trump bangkit tampil melawan Dinasti Merah PKT, memerankan sosok pahlawan dalam sejarah; Xi Jinping memilih melindungi Dinasti Merah, hanya bisa memerankan sosok tragis pemimpin di akhir dinasti.

Kedua tokoh ini didorong hingga ke puncak gelombang sejarah, di tengah debur ombak ini masyarakat dunia juga menghadapi pemilihan terus menerus, dan Tuhan yang menguasai hidup manusia yang mendorong gemuruh ombak sejarah itu, hanya menyutradarai skenario yang telah tertulis ini. Banyak orang merasa bisa mengendalikan nasibnya sendiri, sesungguhnya sama sekali mungkin tidak memahami apa yang disebut nasib itu. Yang dimaksud dengan setiap orang mengendalikan nasibnya sendiri, sebenarnya adalah keputusan pemilihan yang berbeda, setiap kali menghadapi situasi yang berbeda, setiap orang harus menentukan pilihan, nasib pasca pemilihan tersebut, juga dengan demikian telah dipastikan. (et/lie/sun)

2 comments