New Normal Plus: Berdamai dengan Pandemi, Tapi Tidak Berdamai dengan Pemicu Pandemi

Presiden Jokowi meninjau renovasi Masjid Istiqlal, Jakarta (02/06/2020).

ISWAHYUDI

“Kita ingin, sekali lagi, bisa masuk ke era normal baru, masuk ke tatanan baru, dan kita ingin muncul sebuah kesadaran yang kuat, muncul sebuah kedisiplinan yang kuat sehingga R0-nya terus bisa kita tekan di bawah satu. Ini akan kita lihat dalam satu minggu ini dampaknya seperti apa kemudian akan kita lebarkan ke provinsi dan kabupaten/kota yang lainnya apabila memang itu dirasa terdapat perbaikan-perbaikan yang signifikan karena kita telah menurunkan TNI dan Polri di tempat-tempat keramaian di provinsi, kabupaten, maupun kota,” tandas Presiden Joko Widodo saat meninjau salah satu pusat niaga di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 26 Mei 2020.

New Normal menjadi kata yang akhir-akhir ini sering muncul setelah Indonesia menerapkan beberapa protokol kesehatan untuk membendung pandemi virus PKT, mulai social dan physical distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan untuk mudik lebaran. Namun nampaknya Indonesia dihadapkan pada simalakama ekonomi dan kesehatan. Kas negara semakin menipis dan kemampuan bertahan masyarakat untuk diam di rumah juga semakin keropos. Sementara pandemi di luar tak kunjung reda. Total terinfeksi virus semakin meningkat cepat. Data terinfeksi 02 Juni 2020 menyentuh angka 27.549. Sementara anti virus belum siap diaplikasikan.

New Normal menjadi pilihan pemerintah untuk menghadapi dilema ini. Kontroversi menyeruak, ada yang memandang ini solusi yang tepat di tengah keringnya kas negara. Namun juga ada yang memandang kebijakan ini sebagai framing kegagalan atas upaya pemerintah untuk mengatasi pandemi atau sebuah eufemisme bahasa atau upaya menghibur diri. Dan beresiko memanen gelombang kedua pandemi dan masuk dalam kondisi herd immunity.

Beberapa bulan yang lalu RRT berpropaganda bahwa telah berhasil menang melawan wabah. Namun ternyata gelombang kedua datang lebih ganas. Kabar terbaru dari theepochtimes.com PKT mengadakan rapid test untuk 10 juta penduduk Wuhan dalam sepuluh hari. Sementara WHO melalui Direktur Kedaruratannya, Mike Ryan mengatakan bahwa kemungkinan besar virus ini tidak akan lenyap dari muka bumi. Maka dari sinilah sebenarnya istilah new normal itu muncul. Namun WHO sendiri memberikan syarat bagaimana kondisi new normal ini bisa dilaksanakan. Dalam konsep new normal WHO ini aktivitas hidup akan dikembalikan pada kondisi sebelum terjadinya pandemi. Karena itulah banyak negara yang tertarik dan ingin menerapkan konsep ini dengan melonggarkan aturan lockdown.

Kebijakan lockdown atau karantina wilayah telah menyebabkan berbagai aspek kehidupan ikut terdampak. Selain banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan kesulitan makan, berdiam diri di rumah terlalu lama juga memunculkan dampak psikologis yang tak kalah beratnya.

Indonesia sendiri telah menerapkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk mencegah penyebaran virus Corona. Aktivitas perkantoran dan bisnis dihentikan, masyarakat pun dilarang berkumpul.

Namun negara yang akan menerapkan konsep new normal WHO tidak bisa dilakukan hanya dengan melonggarkan physical distancing. Berikut ini beberapa ketentuan yang disyaratkan WHO seperti dikutip dari laman resminya.

  1. Negara yang akan menerapkan konsep new normal harus memiliki bukti bahwa penularan COVID-19 di wilayahnya telah bisa dikendalikan.
  2. Sistem kesehatan yang ada, dari rumah sakit hingga peralatan medis sudah mampu melakukan identifikasi, isolasi, pengujian, pelacakan kontak, hingga melakukan karantina orang yang terinfeksi.
  3. Risiko wabah virus Corona harus ditekan untuk wilayah atau tempat dengan kerentanan yang tinggi. Utamanya untuk rumah orang lanjut usia, fasilitas kesehatan mental, maupun kawasan pemukiman yang padat.
  4. Untuk penerapan new normal WHO di lingkungan kerja ditetapkan langkah-langkah pencegahan melalui penerapan jaga jarak fisik (physical distancing), fasilitas cuci tangan, dan etika pernapasan (dengan masker).
  5. Risiko terhadap kasus dari pembawa virus yang masuk ke suatu wilayah harus bisa dikendalikan.
  6. Masyarakat harus diberikan kesempatan untuk memberikan masukan, berpendapat, dan dilibatkan dalam proses masa transisi konsep new normal WHO ini.

“Sebelum melonggarkan pembatasan Anda harus memastikan kriteria-kriteria tersebut diterapkan. Jika tak bisa mohon Anda pikirkan kembali,” kata Dr. Hans Henri P. Kluge, Direktur Regional WHO Eropa saat memberikan keterangan kepada pers.

Kebijakan New Normal ala Jokowi

Dilansir ulang dari infokabinet.id, diberitakan presiden dalam rapat terbatas mengenai persiapan pelaksanaan Protokol Tatanan Normal Baru Produktif dan Aman Covid-19 pada Rabu, 27 Mei 2020, meminta agar protokol mengenai tatanan normal baru yang sudah disiapkan Kementerian Kesehatan dapat segera disosialisasikan secara masif kepada masyarakat. Pengenalan yang lebih dini dan masif dari protokol tersebut diharapkan bisa meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat agar tetap produktif dan aman di tengah pandemi Covid-19. Presiden Jokowi menyampaikan empat hal:

Pertama, pada Selasa, 26 Mei 2020, sudah dimulai gelar pasukan, aparat dari TNI dan Polri yang telah diterjunkan ke lapangan, ke titik-titik keramaian di 4 provinsi serta 25 kabupaten dan kota.

Hal itu dilakukan dalam rangka persiapan pelaksanaan tatanan normal baru yang akan dilihat dari angka-angka dan fakta-fakta di lapangan, utamanya yang berkaitan dengan R0 (tingkat penularan awal virus corona atau indeks rata-rata orang yang akan ditularkan oleh satu orang yang terinfeksi virus) dan Rt (indeks awal penularan virus corona sebelum pemerintah melakukan berbagai langkah intervensi untuk menekan penyebaran). Indonesia bisa memberlakukan new normal jika R0 sudah berada di bawah 1. Saat ini, R0 Indonesia masih mencapai 2,5. Artinya, 1 orang bisa menularkan kepada 2 atau 3 orang.

Kedua, Presiden minta protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru yang sudah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan ini disosialisasikan secara masif kepada masyarakat.

“Sehingga masyarakat tahu apa yang harus dikerjakan, baik mengenai jaga jarak, mengenai pakai masker, mengenai cuci tangan, mengenai dilarang berkerumun dalam jumlah yang banyak,” imbuh Presiden.

Kalau sosialisasi ini betul-betul bisa dilakukan secara masif, Presiden yakin kurva R0 dan Rt betul-betul bisa diturunkan.

Ketiga, tatanan baru ini akan dicoba di beberapa provinsi, kabupaten, dan kota yang memiliki R0 yang sudah di bawah 1 dan juga pada sektor-sektor tertentu yang dilihat di lapangan bisa melakukan dan mengikuti tatanan normal baru yang ingin dikerjakan.

Keempat, dalam rangka persiapan menuju tatanan normal baru ini, Presiden meminta pengecekan tingkat kesiapan setiap daerah dalam mengendalikan virus ini.

“Untuk daerah-daerah yang masih tinggi, yang kurvanya masih naik, saya kemarin juga sudah perintahkan kepada Gugus Tugas, kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk di Jawa Timur misalnya untuk kita tambah bantuan pasukan, aparat di sana agar bisa menekan kurvanya agar tidak naik lagi,” kata Presiden.

Selain itu, Presiden minta untuk memasifkan pengujian sampel, pelacakan yang agresif terhadap yang PDP maupun ODP dan melakukan isolasi yang ketat.

“Ini kita lakukan pada provinsi-provinsi yang kurvanya masih naik,” pungkas Presiden di akhir pengantar.

New Normal Plus: Berdamai dengan pandemi, tapi tidak berdamai dengan pemicu pandemi

Kebijakan new normal sebenarnya adalah kebijakan buying times (mengulur waktu) sebelum vaksin ditemukan. Presiden Jokowi menyebut kebijakan ini sebagai berdamai dengan virus. Apakah pandemi bisa diajak gencatan senjata? Tentunya tidak. Kebijakan new normal ini memang dari WHO yang banyak negara barat telah menuduhnya melakukan skandal besar dengan rezim komunis Tiongkok untuk melakukan upaya menutup-nutupi bahaya wabah yang bisa menjangkiti seluruh dunia. Menghilangkan 6 minggu emas untuk mencegah wabah ini menjadi pandemi global. Konsep new normal ini akhirnya menimbulkan kecurigaan apakah ini juga efektif untuk mencegah pandemi. Atau dunia akan jatuh pada lubang yang sama ketika WHO cenderung menjadi CHO.

Dalam editorial theepochtimes berjudul Wherever Ties to the Chinese Communist Party Are Close, the CCP Virus Follows, menyadarkan publik dunia bahwa ada kaitan antara keintiman terhadap rezim komunis Tiongkok dengan keparahan infeksi. Inisiatif jalur sutra (OBOR) yang sedianya untuk menyambungkan konektivitas kemakmuran dan ekonomi berubah menjadi konektivitas pandemi. Italia, Iran, Spanyol, beberapa negara bagian AS, Brasil, Inggris, Arab Saudi, Pakistan, Prancis dan lain-lain menjadi saksi bahwa keintiman dengan rezim komunis Tiongkok berbuah pandemi. Walaupun terpaut ribuan mil dari episenter pandemi Wuhan Tiongkok. Sementara negara yang dekat secara geografis seperti Taiwan dan Hongkong yang menjaga jarak dengan PKT beruntung dengan kasus infeksi minimal.

Dalam editorial selanjutnya berjudul berjudul To Resist to CCP Virus, Say No To CCP memberikan alternatif solusi yang menyentuh sisi spiritual dari wabah yaitu harus melakukan decoupling alias terlepas dari rezim komunis Tiongkok yang merepresentasikan keterlepasan diri dari rezim kejahatan yang merupakan wujud nyata kemampuan untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Pada editorial ini dijelaskan contoh konkret orang yang melakukan say no to CCP mengalami penyembuhan ajaib dan orang yang memuja dan kagum pada PKT kembali terinfeksi.

New normal yang direkomendasikan oleh WHO dan yang akan diterapkan di Indonesia perlu ditambahkan suatu protokol yaitu menjaga jarak (social distancing) atau bahkan decoupling dengan rezim PKT. Mungkin akan jadi keputusan yang berat dan menguji nyali. Karena sebenarnya pandemi ini menghadirkan simalakama yang rumit dan ancaman eksistensial yang sama. Intim dengan PKT terancam virus, sementara berpisah dengan PKT juga akan dimusuhi oleh PKT dan dianggap sama mematikannya dengan virus itu terutama bagi yang tak punya nyali dan pernah berhutang budi ataupun mengikat janji. New normal plus berarti new normal ala WHO ditambah mengambil jarak dengan PKT atau bahkan talak tiga dengan PKT. Perlu dicoba dan jangan khawatir Anda tidak sendirian. Kemungkinan besar akan membawa perubahan, karena memberi kesempatan campur tangan Tuhan untuk menghadapi wabah. (et)

0 comments