Sorotan Pada DNC Menguji Akal Sehat Warga AS


Mantan Wapres Joe Biden (kiri) pada 20 Agustus 2020 lalu di Chase Center kota Wilmington negara bagian Delaware menyampaikan pidato, secara resmi menerima pencalonan dirinya sebagai calon presiden dari Partai Demokrat dengan didampingi cawapres Kamala Harris (kanan).
HE QINGLIAN

Forum Komite Nasional Demokrat (DNC) yang berlangsung empat hari berakhir sudah, ini adalah acara video conference yang tidak terpengaruh dampak pandemi, menurut survei WSJ, malam pertama siaran langsung internet hanya menarik 1.870.000 orang penonton, atau 28% lebih sedikit daripada 4 tahun silam. Walaupun topik forum tersebut menjadi ajang pelampiasan kemarahan bagi berbagai pendukungnya untuk mencerca Trump, tapi di tengah suara pujian Partai Demokrat sendiri dan media massa sayap kiri, seorang pejabat Gedung Putih mantan Presiden Obama yakni Van Jones pada 20 Agustus lalu dalam acara di CNN mengakui, “Kami sudah siap mental bahwa ini akan menjadi ajang pidato yang sangat buruk. Selama dia (Biden) tidak membuat dirinya sendiri canggung, kami sudah harus tampil memberikan pujian.”

Lalu, ajang yang bisa disebut “kampanye negatif” ini, dimana caci maki menggantikan kampanye apakah ada hal yang menjadi sorotan? Tentu saja ada.

Apa saja “sorotan” pada forum DNC?

Sorotan terbesar DNC tahun ini bukan kebijakan politik, karena kebijakan apa pun, para pendukungnya tidak peduli, pendukung hanya peduli satu hal, mengalahkan Trump dan rebut kembali Gedung Putih. Karena itu pula, sorotan pada forum DNC kali ini adalah sebagai berikut:

1. Pembicara yang tampil begitu benci dan dendam terhadap Trump. Para pembicara pada DNC, evaluasi masyarakat menilai mereka selain suara menghujat Trump, kosong tidak berbobot, bahkan WSJ pun tidak bisa tidak menyindir, mengatakan dendam kesumat terhadap Trump telah menjadi sorotan di hari pertama DNC. Salah satu yang paling dicari adalah pidato istri Obama yakni Michelle Obama. Surat kabar New York Times menerbitkan artikel mengatakan, istri Obama dengan begitu piawai telah mengkonsentrat masalah Trump, yakni: “Ia sama sekali tidak bisa menjadi orang yang kita butuhkan”.

Kalimat ini menjelaskan dalam pemilihan presiden Partai Demokrat tidak memilih sosok yang dapat memenuhi harapan para wajib pajak dan mayoritas warga AS, melainkan hanya mencari seseorang yang dapat mewakili kelompok kepentingan ini. Trump adalah orang yang awam di bidang politik, sama sekali tidak ada hubungan dengan “Deep State” (negara bayangan) yang terbentuk di beberapa generasi pemerintahan AS sebelumnya, tentunya tidak mungkin menjadi perwakilan politik mereka, Trump hanya perlu bertanggung jawab pada warga pemilihnya, kepada warga AS. Inilah yang sejak awal tidak bisa diterima oleh Partai Demokrat dan kaum sayap kiri sejak pilpres 2016 silam.

Sepenggal kalimat ini ternyata telah menuai tepuk tangan meriah pada forum DNC dan media massa, ini hanya akan menjelaskan bahwa di Partai Demokrat memang telah timbul masalah serius: mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mayoritas tuntutan dan tindakan mereka adalah bermasalah.

2. Menlu pada pemerintahan Bush Junior, mantan Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Purnawirawan Powell beserta beberapa kaum konvensional Partai Republik hadir untuk memuji Biden: “Saya mendukung Joe Biden mencalonkan diri sebagai Presiden AS, nilai-nilai tersebut masih mendefinisikan dirinya, kita harus membuat Gedung Putih mengembalikan lagi nilai-nilai tersebut”, “Negara kita membutuhkan sosok panglima yang memperhatikan pasukan kita sama seperti dirinya memperhatikan keluarganya” - walaupun para pensiunan tentara mayoritas mendukung Trump dan menentang BLM, mendengar kata-kata ini kaum Partai Demokrat tetap saja merasa berkeyakinan diri, merasa bahkan Powell pun merasa “nilai-nilai tersebut” harus dihidupkan kembali, dan Trump pasti akan kalah.

3. Lebih tujuh puluh orang dari Departemen Keamanan pemerintahan Bush berikut tokoh diplomatik dengan jumlah total lebih seratus orang menyampaikan surat dukungan terbuka.

Semua mengulang cerita di tahun 2016, tokoh yang hadir tetap sama. Hanya ada tiga hal yang berbeda:
  1. Pejabat pemerintahan Bush pada 2016 sebanyak empat ratus orang lebih, berikut tiga ratus orang staf diplomatik memberikan dukungan terbuka; tahun ini jauh berkurang, nuansa dukungan tak seperti sebelumnya.
  2. Di luar arena terdapat BLM dan Antifa yang memberikan dukungan kekerasan bagi Partai Demokrat, serta menghapus tekanan budaya terhadap opini. Di depan sebuah kantor polisi di Portland, Antifa membuat sebuah guillotine, bendera Amerika digantung pada guillotine tersebut, lalu dibakar, massa yang mengerumuninya meneriakkan “Black Lives Matter”.
  3. Calon yang berkampanye pada 2016 adalah Hillary dan bukan Biden, dana kampanye yang diperolehnya jauh lebih besar daripada Trump. Menurut data statistik Komisi Pemilihan Federal (FEC), sumbangan terbanyak yang diterima capres dalam kampanye 2016 adalah Hillary Clinton, dengan nilai mencapai USD 497 juta, lalu Trump di posisi kedua yakni USD 247 juta, atau sekitar 19%, Hillary mengumpulkan dana dua kali lebih banyak daripada Trump. Tahun ini capres dari kedua partai belum dipastikan, namun perolehan dana kampanye kedua partai telah berbalik arah, hingga akhir Juli, Partai Republik memperoleh dana sumbangan mencapai USD 55,3 juta, atau sekitar 3 kali lipat dibandingkan perolehan Partai Demokrat yang hanya USD 16,3 juta.

Platform politik Partai Demokrat: pusat perhatian media asing dan warga AS berbeda

Media massa arus utama internasional tentu saja mendukung Biden. Surat kabar Inggris Financial Times pada 15 Agustus lalu menerbitkan artikel bahwa menimbang sikap Biden terhadap masalah besar, yang terpenting adalah bagaimana mengatasi masalah diplomatik, dan menilai AS telah dijadikan oleh Trump menjadi “Orang yang terisolasi dan tidak berdaya”, bagaimana Biden akan mengubah hal ini? Inti dari sikapnya terhadap luar negeri adalah: membuat AS kembali pada posisi kepemimpinan, kembali ke dalam kerangka multilateral. Keseluruhan tulisan sangat megah, tapi di akhir artikel dinyatakan sangat jelas: Trump membuat para sekutunya keluar uang (sebenarnya menunaikan kewajiban sesuai kesepakatan), Biden tidak akan bisa - hal ini tak banyak berbeda dengan 2016. Pada tahun itu, masyarakat internasional menilai ada tiga angsa hitam yang akan membawa kesialan bagi dunia: Inggris mundur dari Uni Eropa, terpilihnya Trump menjadi Presiden AS, dan Le Pen dari parpol sayap kanan FN Prancis memenangkan pemilu. Segala orientasi politik yang bertentangan dengan sikap globalisasi, akan selalu dianggap sebagai bencana manusia di mata kalangan media massa arus utama internasional, mereka berharap AS menjadi pemimpin yang selalu keluar uang untuk menjaga ketertiban internasional yang merupakan produk keamanan publik adalah sesuatu yang sudah sewajarnya.

Kritik semua media massa itu sengaja menghindari pernyataan Biden dalam pidato penerimaan pencalonan diri saat DNC, yang dengan tegas dan yakin mengatakan harus memperlakukan para diktator dengan keras, tapi terhadap rezim diktator terbesar di dunia yakni rezim PKT sama sekali tidak mengatakan apa pun.

Kesimpulannya, hanya ada dua hal dalam pidato Biden: di dalam negeri, membeli suara dengan kesejahteraan; di luar negeri, menebar uang mencari teman sekutu. Akan tetapi, seberapa penting dukungan teman sekutu? Di dalam survei warga oleh Pew Research Center bulan Agustus ini, perekonomian menjadi masalah yang paling penting. Sebanyak 79% warga pemilih yang terdaftar mengatakan ekonomi sangat penting dalam pemberian suara mereka. Menyusul asuransi kesehatan dan penunjukan Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Masalah kebijakan diplomatik berada di urutan ke-6, dan 57% responden warga pemilih mengatakan, ini sangat penting bagi mereka. Namun yang lebih penting lagi adalah, bagi warga pemilih yang peduli masalah diplomatik, belum tentu sepenuhnya setuju dengan kebijakan diplomatik Partai Demokrat, mereka hanya menilai bahwa kebijakan diplomatik sangat penting.
Begitu banyak omong kosong, begitu banyak keluhan, NOL solusi! Tulisan Twitter dari juru bicara pers Gedung Putih Kayleigh McEnany ini menjadi cuitan hangat, diunggah ulang dan dikomentari sebanyak 4.100 kali, dan disukai 11.200 kali. (AP Photo/Patrick Semansky)
Cetak biru perpolitikan partai demokrat: apa yang disukai warga pemilih?

Penerapan dan tuntutan politik Partai Demokrat selama bertahun-tahun sudah sangat dipahami warga AS. Pada 19 Agustus 2020 lalu dalam acara Tucker Carlson Tonight di Fox News, pembawa acara ini secara tajam menunjukkan (yang di dalam kurung adalah fakta yang telah diverifikasi oleh penulis):

  • Mereka menuntut pemerintah memberikan asuransi medis bagi warga asing yang jumlahnya sangat banyak, wajib pajak yang menanggungnya (California sebagai negara bagian Partai Demokrat sudah melakukannya);
  • Mereka menuntut pria biologis yang telah melakukan “transgender” untuk boleh menggunakan toilet, ruang ganti, dan kamar mandi yang sama dengan kaum wanita, juga mengikuti pertandingan olahraga wanita (Obama pernah mengeluarkan perintah toilet 2016 bagi seluruh sekolah negeri dan area publik dimana pria dan wanita menggunakan toilet yang sama);
  • Mereka menuntut penghapusan polisi, penghapusan imigran serta biro bea cukai dan menghapus penjara (slogan gerakan BLM tahun ini adalah Defund Police dan tuntutan terkait lainnya);
  • Mereka mencaci maki semua orang yang tidak mendukung mereka “masuk ke neraka” (penghapusan budaya oleh kaum sayap kiri menyebabkan karya banyak tokoh budayawan dibuang dan tokoh akademisi kehilangan pekerjaan), wadah pemikir Washington CATO Institute dalam survei nasional Juli lalu, mengintrospeksi diri sedang meningkat di AS. Sebanyak 62% warga AS mengatakan, dengan situasi politik sekarang ini membuat mereka tidak berani mengatakan hal yang mereka yakini.

Tak hanya itu, mereka mendukung membakar bendera, mendukung saat pengibaran bendera bertekuk satu lutut sebagai tanda unjuk rasa, mereka secara terbuka menyatakan: “saya tidak pernah merasa terhormat dengan negara ini”, dan “ini bukan negara saya”. Mereka adalah sekelompok orang yang sangat membenci AS! (Aksi BLM sampai sekarang, telah merusak patung tokoh bersejarah, membakar bendera dan berbagai aksi anarkis penghapusan sejarah, dan sekarang, bendera AS sepertinya hanya khusus digunakan oleh Partai Republik dan Trump saja. Partai Demokrat di satu sisi menghindari bendera, di sisi lain menginjak dan membakar bendera AS)

Pada 19 Juli lalu, juru bicara pers Gedung Putih Kayleigh McEnany (@kayleighmcenany) di akun Twitter menuliskan pandangannya terhadap DNC:

Malam ke-3 penutupan forum DNC, warga AS tidak juga memperoleh jawaban atas pertanyaan berikut:
  1. Bagaimana Joe akan menciptakan lapangan kerja? (How will Joe create jobs?)
  2. Bagaimana Joe melindungi anak-anak agar tidak mati di jalan-jalan Demokrat? (How will Joe protect children dying on Democrat streets?)
  3. Bagaimana Joe akan menghadapi Tiongkok, negara yang sangat dihormatinya? (How will Joe stand up to China, a country he bows down to?)
Begitu banyak omong kosong, begitu banyak keluhan, NOL solusi! (Lots of platitudes. Tons of complaining. ZERO solutions!) Tulisan Twitter ini menjadi cuitan hangat, diunggah ulang dan dikomentari sebanyak 4.100 kali, dan disukai 11.200 kali.

Rasmussen Reports merilis hasil survei berjudul “DNC Fail, Trump Daily Job Approval Is Up Sharply”, pada hari penutupan DNC, rasio dukungan terhadap Trump mencapai 51%, rasio menentang Trump turun hingga 48%.

Semua ini sangat berlawanan dengan hasil survei arus utama Partai Demokrat. Perusahaan survei arus utama AS terpengaruh secara serius oleh sikap politik, sangat sulit menentukan fenomena aspirasi warga pemilih yang sesungguhnya, survei tersebut telah merangkum sebanyak 668 ulasan dari kantor berita ABC, CBS dan NBC. Di antaranya sebanyak 634 ulasan adalah pemberitaan terhadap Trump, dan pemberitaan positif hanya 34 ulasan; pemberitaan mengenai Trump berdurasi 512 menit, atau 9 kali lipat dibandingkan Biden yang hanya 58 menit. Direktur dari Media Research Center (MRC), Rich Noyes yang menulis laporan tersebut mengatakan: “Jutaan penonton menyaksikan pemberitaan pemilihan presiden yang paling berat sebelah sepanjang sejarah, saya telah meneliti media massa dan pemilu selama lebih dari 35 tahun, percayalah, tidak pernah terjadi hal seperti ini”.

Negara yang didirikan dengan “akal sehat” tidak akan melupakan akal sehat

Sama dengan 2016, penulis menilai dengan akal sehat. Tahun ini, Trump bertambah satu unsur negatif yaitu pandemi, tapi semakin hari, warga pemilih semakin dapat memahami, dengan berbagai cara Partai Demokrat memanfaatkan pandemi, termasuk pemalsuan hasil uji dan jumlah kematian, obat yang efektif dikatakan tidak efektif, untuk menjatuhkan kampanye Trump, dengan warga berusia 45 tahun yang berkurang, jumlah warga generasi X dan Z melebihi setengah populasi, orang-orang ini telah mendapat pendidikan cuci otak sayap kiri, mayoritas mendukung Partai Demokrat; tapi kelemahan dan kekurangan Partai Demokrat pada 2016 lebih banyak, selain calonnya Biden sendiri juga banyak kelemahan, kebijakan politiknya juga menyimpang dari kepentingan para wajib pajak AS, ditambah lagi aksi anarkis BLM dan Antifa serta “Brace New World” yang ditunjukkan oleh Partai Demokrat.

Partai Demokrat berharap pada populasi generasi X dan Z, suara melalui pos. Namun penulis menaruh harap pada akal sehat dan pemahaman warga AS, selama dapat mencegah pemberian suara melalui pos mengacau, penulis yakin lebih dari 51% warga AS belum kehilangan akal sehat: keluarga yang utuh, lingkungan publik yang aman, dan memiliki pekerjaan yang tetap. Pada forum DNC yang berakhir 20 Agustus lalu, setidaknya ada 2 tim inti pada saat pengambilan janji setia (pledge of allegiance) yang dengan sengaja menghilangkan kata-kata “demi Tuhan” (under God).

Bertolak belakang dengan paham globalisme DNC, topik pada Kongres Nasional Republik (RNC) adalah patriotik dan menghormati Tuhan, topik keseluruhan kongres adalah “Honoring the Great American Story”, yang akan dimulai pada 27-30 Agustus 2020, topik pidatonya adalah “Land of Promise”, “Land of Opportunity”, “Land of Heroes”, dan “Land of Greatness”.

Yang satu cinta negara dan inovatif, yang lain benci dan destruktif, warga AS yang berakal sehat akan memilih, jawabannya sangat jelas - perlu diketahui, di masa perang kemerdekaan AS, di tangan para serdadu AS (petani) ada sebuah buku karya Thomas Paine berjudul “Common Sense”, buku ini memberikan kekuatan dan keyakinan bagi mereka dalam berperang. Saya meyakini, sebuah negara yang dibangun atas dasar akal sehat tidak akan kehilangan akal sehat.(et/sud/sun)

0 comments