PKT Sedang Kalah Perang yang Lain dengan India

 

Sebuah pesawat angkut militer Hercules Angkatan Udara India bersiap untuk mendarat di pangkalan udara di Leh, ibu kota gabungan wilayah persatuan Ladakh yang berbatasan dengan Tiongkok, pada 8 September 2020.

Dialog Quadrilateral antara AS, Jepang, India, dan Australia yang baru saja berakhir, semakin mempercepat pertumbuhan rantai pasokan di India. Dengan keadaan seperti ini, India mungkin akan menggantikan Tiongkok, menjadi pabrik dunia yang baru.

YANG WEI

Pada 9 Oktober lalu, Menlu AS, Mike Pompeo menyatakan, Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah menempatkan 60.000 orang serdadu di perbatasan RRT-India. Berita seperti ini tidak mengejutkan, kemungkinan konfl ik di perbatasan RRT-India akan terus eksis, hanya saja para petinggi PKT sudah tidak mampu lagi menghadapi beragam konflik dalam maupun luar negeri, sementara ini hendak buru-buru meredakan ketegangan. Media PKT juga tidak lagi memberitakan informasi terkait, seakan konfl ik di perbatasan India-Tiongkok dianggap telah berlalu.

Kalkulasi PKT di Perbatasan RRT-India

4 bulan lalu, PKT menutupi pandemi, terjerumus ke dalam kecaman internasional, petinggi PKT menempuh strategi menyerang dari berbagai penjuru. 10 Mei lalu, tiba-tiba meletus konfl ik di perbatasan RRT-India. Ada alasan untuk meyakini, waktu itu petinggi PKT berupaya meniru perang terhadap India yang dikobarkan Mao Zedong pada 1962 silam, untuk mengalihkan perhatian, memanfaatkan situasi tersebut mengukuhkan posisi Mao di dalam partai. Tapi kemudian situasi mendadak berubah memburuk, India menambah serdadu dalam jumlah amat besar di perbatasan, memperlihatkan semangat tempur yang luar biasa, dengan harapan meraih kembali kehormatannya. Situasi internasional pun berubah menjadi berat sebelah, bahkan Rusia yang dianggap sebagai rekan strategis PKT pun berbalik berpihak pada India.

Oleh karena itu, mau tidak mau PKT pun sementara harus berhenti menabuh genderang perangnya, tapi itu bukan berarti petinggi PKT telah melupakan memanfaatkan konflik di perbatasan RRT-India sebagai opsi untuk mengalihkan perhatian. Jika kekuasaan militer Xi Jinping ditantang, masih ada kemungkinan akan melawan jika terpojok, apalagi perang wilayah RRT-India lebih rendah risikonya daripada perang Selat Taiwan. Kalaupun kalah, PKT pun masih bisa mempropagandakannya sebagai kemenangan, setidaknya hingga saat ini, tidak ada yang tahu berapa banyak prajurit RRT yang tewas. Di saat yang sama juga tidak ada yang tahu pada garis kendali yang sebenarnya, apakah RRT telah merebut wilayah yang lebih besar, atau justru kehilangan wilayah yang tadinya merupakan pos penjagaannya.

Sekarang setelah India distimulus dengan keras, secara garis besar mereka telah merampungkan penempatan militernya, kemungkinan justru berbalik menyerang, petinggi PKT pun mulai merasa was-was, mau tidak mau kudu menambah pasukan di perbatasan RRT-India.

Dalam situasi seperti ini, petinggi PKT seharusnya tidak gegabah memicu konflik RRT-India. Tapi perang RRT-India yang lain justru masih terus berlangsung, suatu perang rantai pasokan di mana PKT sedang mengalami kekalahan.

PKT Picu Perang Rantai Pasokan

Awalnya PKT berniat mempropagandakan liburan panjang “HUT 1 Oktober” untuk meningkatkan konsumsi di sektor pariwisata domestik, tak disangka muslihat tersebut terungkap, mengakibatkan konsumsi sesungguhnya justru anjlok 31%, menunjukkan perekonomian RRT yang tak kunjung membaik. Li Keqiang juga mengungkit kembali kondisi riel lapangan kerja, dalam 8 bulan terakhir jumlah angkatan kerja bertambah 7,81 juta orang, yang bahkan tak cukup untuk memberikan pekerjaan bagi 8,74 juta lulusan perguruan tinggi, apalagi untuk kalangan lainnya, PM Li Keqiang juga tidak berani mengungkap angka pengangguran yang sesungguhnya.

Jumlah pengangguran di Tiongkok yang sangat besar, sebagian disebabkan pandemi, sebagian lagi karena cepatnya rantai pasokan beralih, masalah pandemi mungkin akan bisa kembali normal, tapi masalah rantai pasokan, kepulihannya mungkin akan sulit.

Tak hanya rantai pasokan AS yang hengkang dari Tiongkok, pengusaha

Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, dan Taiwan juga buru-buru angkat kaki dari RRT, dan negara yang paling cepat menikmati keuntungan darinya adalah Vietnam, yang paling lama menikmati keuntungan itu adalah India.

RRT bisa menjadi pabrik dunia, keunggulan terbesarnya tentu adalah tenaga kerja yang murah dalam jumlah besar. PKT memanfaatkan kebijakan “Hukou (kependudukan)” yang ketat serta larangan arus urbanisasi, menahan tenaga kerja dari desa pertanian di luar kota, dan ini menjadi jalur cepat bagi perusahaan multinasional meraup keuntungan besar. PKT juga pernah menerapkan kebijakan pengurangan pajak untuk menarik investasi asing, khususnya berkat bantuan AS, RRT bergabung dalam WTO, dan mendapatkan tiket masuk ke pintu globalisasi.

Setelah itu, PKT memberlakukan subsidi bagi ekspor, membuat pembatasan impor, mengendalikan nilai tukar mata uang, sehingga menyebabkan perdagangan yang sangat tidak seimbang. Di saat yang sama, PKT mencuri kekayaan intelektual secara gila-gilaan, semakin membuat negara Barat tidak senang. PKT menutupi pandemi, menyebabkan kerugian besar di berbagai negara, masih diperburuk lagi dengan pelemparan tanggung jawab dan berkelit, serta diplomasi serigala tempur, yang pada akhirnya menyulut kemarahan berbagai negara Barat.

Berbagai negara ramai-ramai memindahkan rantai pasokannya keluar dari Tiongkok, negara yang benar-benar mampu menyediakan tenaga kerja berusia muda dengan upah murah dalam skala besar, hanya India. Rantai pasokan yang berkapasitas rendah, juga bisa memilih negara-negara di Asia Tenggara; industri yang membutuhkan tenaga kerja ekstra banyak, maka India adalah pilihan utama, ini sudah menjadi strategi umum bagi pengusaha AS, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, dan Taiwan.

India Sambut Peluang yang Jarang Didapat

Pemerintah India mengumumkan, Google, Amazon, dan Abu Dhabi Investment Authority telah mengumumkan rencana investasi jangka panjang di India. Saat ini berbagai perusahaan multinasional berinvestasi di India, diperkirakan India akan menciptakan 1,2 juta lapangan kerja, dengan total nilai output melebihi USD 150 Miliar (2.203 triliun rupiah).

Perusahaan Apple yang sempat menjadikan RRT sebagai basis utama produksinya, hanya akan meninggalkan produk yang dijual di pasar Tiongkok untuk tetap diproduksi di Tiongkok, sementara mayoritas produksi lainnya akan dipindahkan ke India. Perusahaan Samsung telah mengawali hal ini, mendahului Apple menempatkan produksi di India; perusahaan Taiwan yang dikenal masyarakat luas seperti Foxconn, Wistron, dan Pegatron juga telah memindahkan industrinya ke India.

Pemerintah India pun segera menginisiasi tiga kebijakan preferensial investasi untuk menarik lebih banyak investasi asing masuk ke India seperti industri elektronika, obat-obatan, otomotif, tekstil, dan juga makanan. Dialog Quadrilateral antara AS, Jepang, India, dan Australia yang baru saja berakhir, semakin mempercepat pertumbuhan rantai pasokan di India. Dengan keadaan seperti ini, India mungkin akan menggantikan Tiongkok, menjadi pabrik dunia yang baru. Perkiraan konvensional, saat ini di India terdapat tenaga kerja usia muda sebanyak 500 juta jiwa, masa depan ekonomi sangat menggembirakan. Peluang perekonomian India ini, sebenarnya adalah pemberian dari rezim RRT.

Sirkulasi Internal dari PKT adalah Tindakan Menjual Negara

Sirkulasi dalam negeri yang dikemukakan oleh para petinggi PKT, adalah sebagai persiapan menutup negara, untuk memastikan kekuasaan rezim PKT, yang sebenarnya berinisiatif melepaskan kaitan dengan dunia, lebih memilih melepaskan statusnya sebagai pabrik dunia.

PKT tidak mempersiapkan diri melakukan perubahan apa pun, terlebih lagi tidak berniat mengakui pihaknya telah menutupi pandemi, PKT bahkan berusaha menyandera 1,4 miliar jiwa rakyat Tiongkok, untuk berkonfrontasi dengan AS dan negara Barat sampai titik darah penghabisan.

Demi melindungi kekuasaannya para petinggi PKT tidak segan-segan membiarkan rakyat Tiongkok kehilangan mata pencahariannya, tidak segan-segan kalah dari India dalam perang rantai pasokan ini.

Badan propaganda PKT setiap hari menyerukan cinta negara, tapi PKT sendiri justru telah berkhianat terhadap negaranya. Petinggi PKT tidak peduli telah mengorbankan pesanan yang telah diterima oleh perusahaan ekspor Tiongkok, tidak peduli berapa banyak lapangan kerja rakyat Tiongkok hilang, hanya peduli mempertahankan posisi kekuasaannya, mendekap posisi kekuasaan para petinggi PKT. Di saat yang sama PKT mempropagandakan keunggulan militernya dibandingkan India seakan hal itu adalah nyata, dan masih terlena pada perang 1962 silam. Jika terus seperti ini, kehidupan rakyat semakin menderita, kekuatan negara akan merosot, PKT sesungguhnya akan kalah dalam dua ajang perang, dan pada akhirnya tetap tidak akan bisa mempertahankan rezimnya.

Demi untuk menarik investor, PM India Narendra Modi jelas-jelas menyerukan, membentuk kembali rantai pasokan dengan kepercayaan dan stabilitas, dan bukan hanya mempertimbangkan biaya. Kalimat ini langsung menohok titik kelemahan rezim RRT. Rezim itu telah kehilangan kepercayaannya di seluruh dunia, dan sudah sejak lama kehilangan kepercayaan di dalam negeri Tiongkok sendiri, petinggi PKT mengemukakan sirkulasi dalam negeri sebagai kebijakan untuk melindungi partainya, justru telah merefl eksikan petinggi PKT tidak percaya diri.

Perang rantai pasokan, sebenarnya bukan perang antara RRT dengan India, melainkan adalah perang antara rakyat Tiongkok dengan rezim RRT. (et/sud/sun)

0 comments