Pakar Ungkap Tangan Hitam di Balik Pemilihan AS, Hasil Pemungutan Suara Dikirim ke Komunis Tiongkok

Patrick Byrne, pendiri raksasa e-commerce Amerika Serikat ‘Overstock’, miliarder dan reporter investigasi sedang berbicara dalam rapat umum di Liberty Square, Washington DC. untuk mendukung Trump kembali menjadi presiden pada 12 Desember 2020. (Li Chen/Epoch Times)

EPOCH TIMES

Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Jerome Corsi, penulis dan komentator politik, Patrick Byrne, pendiri dan mantan CEO ‘Overstock’ pada 28 Desember 2020 lalu mengatakan bahwa komunis Tiongkok berada di balik kecurangan pemilu Amerika Serikat.

Dalam wawancara itu, Byrne mengungkap tentang insiden campur tangan pihak komunis Tiongkok. Menurutnya ada sebuah mesin penghitungan suara yang berada dalam ruang penghitungan suara pemilih di Georgia, Amerika Serikat telah dipasang dengan kartu jaringan nirkabel yang berhubungan langsung dengan termostat cerdas yang terpasang di dinding dalam ruang penghitungan suara tersebut.

Melalui pelacakan terhadap alamat IP, diketahui bahwa situs web itu dimiliki oleh sebuah perusahaan yang sudah lama berada di sebuah kota tertentu di daratan Tiongkok. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu perusahaan garis depan yang sangat penting bagi komunis Tiongkok.

Kejadian itu dibenarkan oleh Russell Ramsland dari Allied Security Systems, pakar audit kecurangan dalam pemilihan umum Amerika Serikat.

Russell Ramsland dalam sebuah wawancara dengan Xiao Ming, pembawa acara Zooming In pada 24 Desember 2020 mengatakan bahwa, sehari sebelumnya, pihaknya menerima laporan mengenai sebuah investigasi yang sedang berlangsung.

Disebutkan bahwa seorang insinyur Microsoft yang melakukan pelacakan di kota Savannah, Georgia menemukan sebuah termostat cerdas di ruang penghitungan suara sedang berkomunikasi dengan server penghitungan suara dan melaporkan data surat suara ke daratan Tiongkok.

Menurut Russell Ramsland, kekuatan asing berpengaruh kuat terhadap pemilu Amerika Serikat. Data pemungutan suara termasuk 29 negara bagian yang berbeda dikirim ke server di Kota Frankfurt, Jerman.

“Hal yang mengganggu adalah kita dapat melihat bahwa di area server, ada malware pemanen yang mengumpulkan kredensial pemungutan suara dari semua wilayah, dan setelah data suara tersebut diubah lalu dikirim balik ke wilayah tersebut,” kata Russell Ramsland.

Tangan hitam setelah kudeta lewat pemilu

Patrick Byrne menegaskan bahwa komunis Tiongkok adalah tangan hitam yang berada di balik kudeta lewat pemilu. Mereka hanya perlu mencurangi 6 kabupaten untuk mencuri hasil pemilu.

Byrne menjelaskan, seorang politikus dapat memberitahu Anda untuk mencurangi pemilu Amerika Serikat, Anda tidak perlu mencurangi pemilu di seluruh wilayah Amerika. Anda hanya perlu berbuat curang di 6 kabupaten untuk membalikkan keadaan di 6 negara bagian yang berstatus ayunan. Cukup untuk membalikkan Hasil Electoral College untuk memenangkan pemilu Amerika Serikat.”

“Karena itulah perbuatan curang menggila di beberapa kabupaten tersebut,” kata Byrne.

Di sebuah stadion di Atlanta, saat penghitungan suara, disinyalir terjadi pipa air rusak, kemudian dipastikan itu urinoirnya meluap. Setelah membersihkan mengusir keluar para petugas pengawas penghitungan suara dan reporter media, para pelaku kecurangan langsung mengeluarkan dari bawah meja koper yang penuh berisi surat suara palsu yang jumlahnya ratusan ribu dan memasukkannya ke dalam pencatat suara.

“Data akhir menunjukkan bahwa 99,4% suara adalah untuk Joe Biden, sungguh tidak masuk akal,” kata Byrne.

Komunis Tiongkok menerapkan 4 tahapan guna mencerai-beraikan Amerika Serikat

Byrne menyatakan bahwa komunis Tiongkok sedang menghancurkan Amerika Serikat dari dalam. Dia mengambil pemilu sebagai contoh dan mengatakan bahwa komunis Tiongkok menerapkan slow coup atau “kudeta lambat” terhadap Amerika Serikat. Mereka menerapkan 4 tahapan yang memanfaatkan pemilu Amerika Serikat untuk merealisasikan kudeta merah terhadap Amerika Serikat.

4 tahapan itu adalah demoralisasi, disorientasi, krisis, dan normalisasi.

Byrne menjelaskan bahwa merebaknya virus komunis Tiongkok atau Covid 19 tahun ini telah menyebabkan warga Amerika Serikat terpukul keras dan melemahkan semangat juang. Setelah itu, insiden kekerasan yang dilakukan organisasi Antifa dan BLM, seperti membakar gedung dan kantor polisi.

Banyak warga dilecehkan karena perbedaan pandangan politik. Semua ini membuat orang sangat bingung dan merasakan seolah-olah mereka bukan berada di Amerika Serikat.

Menurut Byrne setelah itu muncul krisis yang disebabkan oleh pemilihan kontroversial, yakni sengketa presiden palsu.

“Tahap terakhir adalah munculnya fakta yang sudah terjadi. Media memaksa Anda untuk percaya terhadap fakta yang sudah terjadi (hasil pemilu yang kontroversial),” kata Byrne.

Pedang pembunuh komunis Tiongkok, “Seorang prajurit yang menundukkan orang lain tanpa berperang”

Patrick Byrne memegang gelar sarjana dari Dartmouth College dalam bidang sastra Tiongkok. Ia belajar Konstitusi Amerika Serikat ketika masih muda, memiliki gelar master dari Universitas Cambridge, dan PhD dalam bidang filsafat politik dari Universitas Stanford.

Dari tahun 1983 hingga 1984, Byrne mempelajari sejarah Tiongkok di Universitas Normal Beijing. Dari Konfusianisme hingga Marxisme-Leninisme yang dipromosikan oleh Partai Komunis Tiongkok pernah ia pelajari. Byrne memperoleh pemahaman yang mendalam tentang Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok.

Byrne mengatakan bahwa komunis Tiongkok sejak tahun 1949 telah mulai melakukan sebuah rencana jangka panjang untuk menggulingkan Amerika Serikat, dan sekarang mereka ingin mewujudkan rencana ini sekitar 20 tahun lebih awal.

Departemen keamanan Amerika Serikat selalu bingung tentang apa yang dimaksud dengan istilah “pedang pembunuh” dari “sebuah jurus menundukkan lawan” yang tertera dalam dokumen keamanan nasional komunis Tiongkok.

Byrne mengatakan, komunis Tiongkok menggunakan strategi “tidak menggunakan pendekar pedang berdarah”, yakni prajuritnya dapat menundukkan lawan Amerika Serikat dengan tanpa harus berperang.

“Kita menghabiskan triliunan dolar setiap tahun untuk anggaran militer, intelijen, dan keamanan nasional. Kita dapat menghentikan pesawat, rudal, dan berbagai senjata militer (komunis Tiongkok), tetapi mengabaikan sarana non-militer kita, yaitu perang yang tanpa membutuhkan peluru dan rudal. Mereka menghancurkan kita dari dalam. Inilah hal yang terjadi sekarang,” kata Byrne.

Menurut Byrne, rezim penguasa yang berideologi komunis telah terbukti licik, bengis dan sikap tidak tahu berterima kasih yang ukurannya sudah berada di luar imajinasi siapa pun. Namun, dia mengungkapkan bahwa dirinya mencintai rakyat Tiongkok dan sejarah Tiongkok.

Dalam wawancara tersebut, Dr. Jerome Corsi juga menyatakan bahwa Partai Komunis Tiongkok adalah penganut Marxisme. Mereka memenjarakan praktisi Falun Gong dan mengambil paksa organ mereka secara hidup-hidup.

Demikian pula, mereka juga menjebloskan para penganut Muslim ke dalam kamp konsentrasi. Jika perlu, mereka bahkan dapat memasuki sebuah kota dan menangkap seperempat populasinya.

Selama epidemi ini, mereka memaksa warga Wuhan untuk tinggal dalam rumah, terlepas dari mau hidup atau mati. Komunis Tiongkok tidak ambil pusing dengan hak asasi manusia. Saat ini, Tiongkok sudah berada di ambang revolusi, sama seperti Mao Zedong mengambil alih dalam revolusi tani, revolusi dapat terjadi lagi di daratan Tiongkok saat ini.

Byrne menilai bahwa Partai Komunis Tiongkok telah melakukan penelitian yang cukup mendalam terhadap Amerika Serikat dan menemukan bahwa korupsi adalah kelemahan terbesar Amerika. Akibatnya, pemerintah Amerika Serikat disusupi dan beberapa departemen penting dapat “dikendalikan”, termasuk fasilitas pemilu Amerika Serikat, dinas keamanan, badan intelijen, pejabat bipartisan dan lainnya.

“Karena itu kita berada dalam krisis hari ini,” kata Byrne.

Menurut Byrne, Tiongkok-Iran-Venezuela-Kuba merupakan rantai komando dunia dalam geopolitik. “Namun, masyarakat sudah mulai sadar. Dalam keadaan apapun kita tidak boleh bertekuk lutut terhadap komunis Tiongkok,” kata Byrne menekankan. (et/hui/sun)

0 comments