Sudah Disuntik dengan Vaksin Buatan Tiongkok, Mantan Presiden Peru dan Istrinya Dikonfirmasi Terinfeksi

Presiden Peru Martin Vizcarra berbicara kepada media di istana pemerintah di Lima, Peru, pada 29 Oktober 2018. (Reuters / Mariana Bazo)

LI YUN

Epidemi COVID-19, terus menyebar luas secara global. Mantan Presiden Peru, Martin Vizcarra dan istrinya divaksinasi dengan vaksin buatan Komunis Tiongkok, kini dikonfirmasi terinfeksi.

Pada 25 April, Vizcarra dalam cuitannya menulis : “Meskipun mengambil tindakan perlindungan yang diperlukan untuk menghindari membawa pulang virus, ia dan istrinya dinyatakan positif. Keluarganya kini dikarantina. Kalian semua lengah.”

Martin Vizcarra, 58 tahun, adalah seorang insinyur yang mengaku sebagai orang Peru dengan keyakinan dan komitmen demokratis terhadap negaranya. Dia menjadi Presiden Peru dari tahun 2018 hingga tahun 2020. Dia memenangkan kursi dalam pemilihan legislatif baru-baru ini. Akan tetapi dia terlibat skandal, setelah dia dituduh menggunakan kekuasaannya agar lebih awal divaksinasi dengan vaksin buatan Tiongkok pada tahun lalu. Kongres Peru untuk sementara, melarang dirinya menjadi anggota Parlemen.

Media Peru mengungkapkan pada Februari, bahwa Vizcarra dan 470 orang lainnya, telah divaksinasi dengan vaksin buatan Nasional Tiongkok pada bulan Oktober. Itu sebelum dimulainya vaksinasi secara resmi di seluruh Peru. Skandal ini menyebabkan pengunduran diri Menteri Kesehatan Peru, Menteri Luar Negeri, dan lainnya.

Vizcarra membantah menggunakan kekuatannya untuk divaksin lebih awal, dan mengklaim bahwa saudara laki-lakinya, istri dan dirinya berpartisipasi dalam uji klinis sebelum vaksinasi secara formal. Ia juga dituduh melakukan korupsi saat menjabat sebagai gubernur dari tahun 2011 hingga tahun 2014.

Pada November tahun lalu, Kongres Peru mencopot jabatan kepresidenannya melalui pemakzulan.

Pada awal 6 Januari, Peru mencapai kesepakatan kerangka kerja dengan Sinopharm untuk pembelian 38 juta dosis. Pada 26 Januari, Badan Pengawas Obat dan Makanan Peru segera mengesahkan penggunaan vaksin di Peru.

Pada 7 Februari, gelombang pertama 300.000 dosis vaksin COVID19 Sinopharm tiba di Peru, dan kelompok kedua yang terdiri dari 700.000 dosis tiba seminggu kemudian.

Sebanyak 2 juta dosis dan 3 juta dosis lainnya, digunakan pada bulan Maret dan April.

Laporan media setempat “Agencia Andina” yang dikelola pemerintah Peru melaporkan pada 25 Februari, bahwa seorang perawat wanita berusia 53 tahun di kota Iquitos menderita reaksi yang merugikan. Itu setelah menerima vaksin pada 12 Februari dan dirawat di rumah sakit. Ia meninggal dunia pada 7 Maret.

Pada 9 Maret, 333.000 dari 33.274 juta orang di Peru telah menerima dosis pertama vaksin buatan Tiongkok, dan hampir 50.000 orang telah menerima dosis kedua.

Akan tetapi, Peru sedang mengalami gelombang kedua serangan epidemi. Di negara yang berpenduduk 33 juta jiwa itu, lebih dari 1,7 juta orang telah didiagnosis dan kematian tembus 59.440 jiwa.

Otoritas Komunis Tiongkok mendorong “diplomasi vaksin”. Akan tetapi, keamanan dan efektivitas vaksin domestik Komunis Tiongkok menimbulkan pertanyaan.

Sementara itu, Chili, negara Amerika Selatan dengan penduduk sekitar 19 juta jiwa, telah menerapkan rencana vaksinasi sejak Desember tahun lalu. Negara itu, memulai vaksinasi yang ditargetkan untuk kelompok tenaga kesehatan, kemudian diikuti para lansia dan aparat pelayanan publik. Chili menerima hampir 4 juta dosis vaksin buatan Tiongkok, dari Kexing Zhongwei Biotechnology Co., Ltd pada bulan Februari lalu.

Meskipun 35% dari warga telah divaksinasi dan 90% menerima vaksin CoronaVac itu, jumlah kasus yang dikonfirmasi di Chili meningkat setiap hari selama dua bulan terakhir tsebesar 35%. Saat ini, lebih dari 2,84 juta orang telah didiagnosis di negara ini.

Dokter departemen perawatan intensif setempat mengatakan, meskipun unit perawatan intensif digandakan, tingkat penggunaan tempat tidur tetap penuh. Banyak dari lansia yang berusia di atas 70 tahun, meninggal dunia setelah divaksinasi. Pada saat yang sama, lebih banyak pasien muda yang terinfeksi parah dan meninggal dunia.

Hong Kong mulai vaksinasi pada 26 Februari. Saat ini, 18 orang telah meninggal setelah divaksinasi dengan vaksin buatan Tiongkok.

Turki telah divaksinasi dengan vaksin CoronaVac pada pertengahan Januari lalu. Setidaknya 8 juta orang telah divaksinasi, terhitung lebih dari 10% dari total penduduk Turki.

Akan tetapi, epidemi kembali merebak luas setelah akhir Februari, dan 37.303 kasus baru yang dikonfirmasi tercatat pada 30 Maret 2021. Jumlah itu tertinggi dalam sehari, sejak wabah epidemi pada 11 Maret tahun lalu. Saat ini, sekitar 4,63 juta orang telah didiagnosis di Turki.

Sedangkan, Pakistan juga memulai penggunaan vaksin yang diproduksi Komunis Tiongkok pada awal Februari. Saat ini sedang mengalami gelombang ketiga epidemi. Presiden Pakistan Arif Alvi dan Perdana Menteri Imran Khan, keduanya dinyatakan positif terkena virus setelah divaksinasi.

Di Brasil dan negara lain yang menggunakan vaksin buatan Tiongkok, jumlah kasus yang dikonfirmasi juga mengalami peningkatan.

Saat ini, 5 vaksin yang dikembangkan oleh Komunis Tiongkok belum disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia -WHO. Tidak ada informasi uji klinis yang relevan dipublikasikan di jurnal ilmiah. Banyak pakar internasional secara terbuka menyatakan, ketidakpercayaan mereka terhadap transparansi vaksin Tiongkok.

Ahli vaksin Tiongkok, Tao Lina mengungkapkan di platform sosial pada 5 Januari bahwa ada sebanyak 73 efek samping setelah vaksinasi dengan Sinopharm. Disebutkan, vaksin Tiongkok adalah “vaksin paling tidak aman di dunia.”

Pada tanggal 5 Maret, stasiun TV “WillaxTV” di Peru merilis data uji klinis vaksin virus Tiongkok bekerja sama antara “Universidad Peruana Cayetano Heredia” dan SinoPharm.

Data pengujian menunjukkan bahwa, efektivitas vaksin yang dikembangkan oleh Institut Produk Biologi Wuhan dari Tiongkok National Pharmaceutical Group, hanya 11,5% efektif melawan virus COVID-19. Sedangkan vaksin yang dikembangkan oleh Institut Biokimia Beijing memiliki kemanjuran 33%. (ET/hui/sun)

0 comments