Lockdown Kota Ruili di Yunnan Selama 160 Hari Memaksa 200.000 Warganya Meninggalkan Kampung Halaman

Seorang warga menjalani tes asam nukleat untuk virus corona Covid-19 di kota Ruili yang berbatasan dengan Myanmar, di provinsi Yunnan barat daya Tiongkok pada 5 Juli 2021. (Foto oleh STR/ AFP melalui Getty Images)

CNA

3 hari lagi lockdown ketat Kota Shanghai memasuki genap 1 bulan penerapannya. Jelas, kota yang bereputasi internasional itu lebih menarik perhatian orang ketimbang beberapa kota kecil atau menengah yang berada di perbatasan, seperti Kota Ruili di Provinsi Yunnan yang telah menjalani penutupan kota selama 160 hari. Kota-kota ini nyaris tidak disinggung orang karena tidak setenar Shanghai.

Media jaringan video di daratan Tiongkok melaporkan bahwa untuk mencegah penyebaran epidemi dari negara-negara tetangga, banyak kota kecil di perbatasan Tiongkok sejak lama telah ditutup oleh pihak berwenang untuk memutus arus keluar masuknya penduduk. Bahkan ada yang sudah berjalan selama beberapa bulan.

Tercatat hingga akhir April tahun ini, Kota Suifenhe di Provinsi Heilongjiang telah ditutup selama hampir 90 hari. Kota Dongxing di Provinsi Guangxi telah ditutup selama 60 hari. Kota Ruili di Provinsi Yunnan telah dibuka-tutup selama 160 hari.

Berdasarkan perbandingan jumlah penduduk yang telah menjalani tes asam nukleat, sejak epidemi mengganas di Kota Ruili dan Dongxing, masing-masing kota ini telah kehilangan sekitar 200.000 dan 100.000 orang warganya yang mengungsi entah ke mana.

Karena kota-kota ini terletak di perbatasan, ditambah lagi dengan sejumlah keterbatasan, populasi yang kecil, dan kurangnya sumber daya, jadi penderitaan yang disebabkan oleh penutupan kota ini kurang mendapat perhatian masyarakat.

Misalnya, Kota Ruili yang berbatasan dengan Myanmar dengan panjang garis perbatasan sejauh 169,8 kilometer. Sebelumnya merupakan tempat yang cukup strategis dalam melakukan bisnis impor dan ekspor. Masyarakat hidup makmur dan menyenangkan. Warga bernama Li Shang yang berusia 40 tahun mengatakan bahwa dalam ingatan saya bahwa Kota Ruili menjanjikan banyak kesempatan untuk berbisnis, jadi dia menetap di sana pada 2014 untuk menjalankan bisnis penginapan bagi muda-mudi, dan mengaku kota tersebut sebagai kampung halaman keduanya.

Tetapi sejak penutupan kota pada 31 Maret 2021, Li Shang tidak bisa pulang ke rumahnya kecuali tinggal di lokasi tempat kerjanya, hidup dengan mengandalkan persediaan uang yang telah dia simpan sebelumnya untuk membeli makanan take away. Selama ini, dia hanya menerima satu bungkus teh herbal yang dibagikan oleh otoritas sebagai “barang penjamin kehidupan” selama lockdown untuk mencegah penyebaran virus komunis Tiongkok (COVID-19).

Tindakan pencegahan epidemi Tiongkok telah menyebabkan lonjakan harga barang-barang kebutuhan. Hal yang paling membuat Li Shang mengerutkan kening adalah harga cabe yang tadinya cuma 8 yuan (18.040,00 rupiah) per 500 gram, kini telah naik menjadi 40 yuan (90.200,00 rupiah). Tetapi yang lebih membuatnya khawatir adalah bisnis penginapannya yang selama 4 bulan tanpa ada satu orang pun turis yang datang dan menginap. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah menjalani tes asam nukleat.

Tercatat hingga saat ini, dalam 1 tahun terakhir ini Kota Ruili telah menjalankan 9 kali penutupan total kota yang jumlah harinya mencapai 160. Dan warga kota ini sedikitnya telah menjalani 130 kali tes asam nukleat.

Menurut informasi yang dikeluarkan otoritas Kota Ruili, bahwa tes asam nukleat terakhir yang dilakukan oleh seluruh warganya yang berjumlah sekitar 190.000 orang adalah pada 18 April tahun ini. Padahal setahun sebelumnya, warga yang menjalan tes berjumlah sekitar 380.000 orang. Dengan kata lain, setidaknya ada 200.000 orang warga Kota Ruili yang telah meninggalkan kampung halaman pada tahun ini.

Pada akhir Juli 2021 saat penerapan penutupan Kota Ruili ke-4 dan ke-5, Li Shang sampai menghabiskan waktu 5 jam dalam antrian untuk mendapatkan surat izin dari otoritas agar bisa meninggalkan kota. Setelah surat itu diperoleh, Li Shang buru-buru pulang ke rumah untuk mengambil ponsel, dompet, identitas diri serta beberapa potong pakaian pribadinya, lalu naik mobil dan tanpa pikir panjang lagi langsung tancap gas untuk meninggalkan kota.

Li Shang yang telah tinggal di kota perbatasan ini selama 8 tahun, hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk keluar dari kota. Dia mengatakan: “Anda harus meninggalkan kota dalam waktu 24 jam setelah surat izin ini dikeluarkan, jika tidak maka akan tidak berlaku lagi. Saya memiliki keterikatan yang sangat mendalam terhadap kota ini, tetapi yang memotivasi saya pada saat itu hanya keinginan untuk secepatnya meninggalkan kota ini”.

Film pendek berdurasi 6 menit ‘Voice of April’ yang mendokumentasikan lockdown ketat di Kota Shanghai dengan cepat dihapus oleh administrator jaringan Tiongkok, tetapi malahan menjadi semakin populer. Namun, ketika kesulitan menimpa Shanghai, kota ekonomi dan keuangan Tiongkok sehingga menjadi fokus perhatian masyarakat, kejadian di Kota Ruili yang terletak di perbatasan, seakan-akan berubah menjadi sebuah kota asing yang bukan lagi termasuk wilayah Tiongkok, sudah di luar perhatian orang.

Christoph Rehage, YouTuber asal Jerman yang telah lama prihatin dengan urusan Tiongkok mengatakan di saluran YouTube-nya bahwa jika apa yang terjadi di Shanghai saat ini terjadi di suatu tempat di Provinsi Ningxia, apakah itu akan menarik perhatian Anda? Sambil menggelengkan kepala ia berkata, saya pikir semua orang tahu jawabannya — Oh? Cuma begitu ! (ET/sin/sun)

0 comments