Pendidikan pada Masa Tiongkok Kuno Berpedoman “Tiga Aksara Klasik”



Tiga Aksara Klasik, atau San Zi Jing, adalah teks klasik Tiongkok yang paling terkenal untuk pendidikan anak-anak. Ditulis oleh Wang Yinlian (1223-1296) pada masa pemerintahan Dinasti Song, yang dihafal dari generasi ke generasi, baik muda maupun tua. Sampai tahun 1800-an, Tiga Aksara Klasik menjadi buku teks pertama yang dipelajari oleh setiap anak.

Syair yang digunakan dalam Tiga Aksara ini berirama, singkat, dan sederhana, sehingga memungkinkan pembaca mudah untuk membaca dan menghafalnya. Hal ini juga memungkinkan anak-anak bisa mempelajari aksara yang umum, struktur tata bahasa, pelajaran dari sejarah Tiongkok, terutama bagaimana berperilaku.

Dikatakan dalam Tiga Aksara Klasik: 
Membesarkan tanpa mengajar 
Adalah kesalahan ayah 
Mengajar tanpa ketelitian 
Adalah kemalasan guru. 
Jika anak tidak belajar, 
Ini tidak seharusnya 
Jika dia tidak belajar saat muda, 
Apa jadinya saat tua nanti? 
Jika batu giok tidak dipoles, 
Ia tidak bisa menjadi sesuatu yang berguna. 
Jika seorang pria tidak belajar, 
Dia tidak akan tahu kebajikan dari kejujuran dan kebenaran.

Orang Tiongkok kuno selalu mementingkan pendidikan, anak-anak diharapkan pergi ke sekolah (jika itu sesuai dengan kondisi keluarga) dan menginvestasikan waktu dan tenaga untuk belajar dengan baik.

Tiga Aksara Klasik menyinggung betapa pentingnya pendidikan dalam budaya Tiongkok kuno. “Jika anak tidak belajar, ini tidak seharusnya. Jika dia tidak belajar saat muda, bagaimana jadinya dia saat tua nanti?” Pendidikan bukan sekadar aset, tapi merupakan bagian yang wajib dari perkembangan anak.

Secara khusus, pendidikan dan sekolah dianggap penting untuk membentuk nilai dan karakter anak. “Jika batu giok tidak dipoles, tidak bisa menjadi hal yang berguna. Jika seseorang tidak belajar, dia tidak akan tahu kebajikan kejujuran dan kebenaran.”

Mengapa orang Tiongkok kuno berpikir seperti ini? Untuk memahami alasannya, terlebih dahulu kita harus menyadari bahwa pendidikan Tiongkok kuno agak berbeda dengan sistem pendidikan kita sekarang.

Konfusianisme: inti pendidikan Tiongkok kuno

Sistem pendidikan modern kita, utamanya menekankan pengajaran pengetahuan teknis, seperti matematika dan sains, kemampuan bahasa, dan studi sosial.

Sebaliknya, pendidikan di Tiongkok kuno sebagian besar didasarkan pada Konfusianisme klasik. Sejak usia muda, anak-anak menghabiskan waktunya untuk belajar dan menghafal teks-teks Konfusianisme seperti Pelajaran Besar, Doktrin Jalan Tengah, Analek Konfusius, Buku Ode, dan tentu saja, Tiga Aksara Klasik.

Inti dari ajaran Konfusianisme adalah lima kebajikan utama yaitu kebajikan, kebenaran, kepatutan, kebijaksanaan, dan kesetiaan. Banyak norma-norma seperti kesetiaan, kesalehan, keberanian, transparansi, ketekunan, dan sebagainya bersumber darinya.

Ajaran Konfusianisme mendefinisikan standar moral untuk menjadi orang baik, yang meliputi dan mengatur secara efektif berbagai lapisan masyarakat, mulai dari individu dan keluarga, masyarakat dan prinsip-prinsip pemerintahan.

Melalui sistem pendidikan tersebut, nilai-nilai Konfusius mengilhami anak-anak sejak usia muda, dan tetap menjadi tulang punggung pendidikan bahkan pada tingkat mahir dan keilmuan. Pada saat yang sama, siswa mengembangkan kemampuan dan pengetahuan bahasanya dalam studi sosial dengan mempelajari teks-teks kuno ini.

Ini adalah standar pendidikan selama ribuan tahun, meski setiap dinasti silih berganti timbul dan tenggelam. Dengan materi inti yang sehat dan membangun, sekarang kita mengetahui mengapa orang Tiongkok kuno percaya bahwa pendidikan merupakan bagian integral dari perkembangan moral anak.

Tentu saja, tidaklah cukup dengan hanya mengandalkan norma dan materi pendidikan yang baik. Orang-orang yang menyampaikan materi tersebut, seperti orang tua dan guru, juga sama pentingnya.

Ada sebuah dongeng di zaman Tiongkok kuno tentang seorang anak yang dimanjakan oleh ibunya. Setelah kehilangan ayahnya di usia muda, anak ini menjadi pusat curahan kasih sayang ibunya.

Sang ibu sangat memanjakannya sehingga ketika dia berbuat nakal terhadap anak-anak lain, ibunya tidak pernah memarahinya. Saat dia mencuri barang milik tetangga, ibunya tidak mengembalikan barang yang telah dicuri oleh anaknya.

Saat anak itu tumbuh dewasa, kenakalan kecilnya meningkat menjadi kejahatan berat. Dia mulai merampok dan menjarah barang milik orang lain, dan melakukan pembakaran rumah. Namun ibunya masih saja tidak bertindak mendisiplinkannya, malah memuji ke¬mampuannya yang kejam.

Akhirnya, anak itu berhasil ditangkap oleh pihak berwenang, dan dijatuhi hukuman mati.

Sebelum dieksekusi, anak tersebut memohon untuk bertemu dengan ibunya untuk terakhir kalinya. Ketika ibunya tiba, anak itu meneteskan air mata sambil berkata, “Aku membencimu, ibu. Ini sepenuhnya salahmu. Ketika masih kecil, ibu tidak pernah mengajarkan atau mendisiplinkan saya atas kesalahan saya. Sekarang, saya bahkan tidak punya kesempatan kedua untuk menumbuhkan daun yang baru…”

Kata-kata dari anak itu menghancurkan hati ibunya, karena ia menyadari hal itu benar adanya.

Guru di zaman Tiongkok kuno sangat ketat, dan bahkan sejak mulai bersekolah siswa diharapkan untuk duduk dalam posisi yang benar dan menghafal materi yang ditugaskan tanpa satu kesalahan pun.

Meski jika dinalar terdengar agak membingungkan, namun metode pengajaran ini sebenarnya cukup efektif. Pertama, dapat menempa siswa untuk memiliki fokus dan daya tahan yang sangat baik dalam belajar. Kedua, ini memastikan bahwa kebijaksanaan orang bijak tertanam dalam pikiran mereka, sehingga mereka dapat dengan mudah teringat kembali selama sisa perjalanan hidup mereka.

Dengan menerapkan disiplin di dalam kelas yang dimulai sejak usia dini, para guru akan memastikan bahwa para siswa memiliki dasar yang kuat untuk belajar, yang akan membantu mereka dengan baik selama tahun-tahun mendatang.

Pendidikan: penyeimbang terbaik

Selain membangun karakter moral dan pelatihan disiplin, pendidikan juga merupakan kekuatan penyeimbang terbesar di Tiongkok kuno. Ini memungkinkan mereka yang lahir dari latar belakang paling rendah dapat naik ke tingkat tertinggi di masyarakat, untuk menjadi pejabat pemerintah, pena-sihat strategi, dokter, seniman, dan penyair.

Ujian kekaisaran, yang didirikan pada masa Dinasti Sui dan Dinasti Tang, merupakan pendorong utama meritokrasi dan mobilitas sosial. Sebelum itu, pemerintah sepenuh¬nya memegang peran penting dalam memberikan rekomendasi, yang ditujukan pada keluarga kaya dan berpengaruh.

Dalam ujian kekaisaran ini, terbuka bagi semua orang dan siapa saja, mereka memberi kesempatan kepada publik untuk berperan dalam pemerintahan. Sebenarnya, selama Dinasti Ming, sekitar 47 persen kandidat yang lulus ujian tingkat tertinggi berasal dari kelu¬arga yang tidak memiliki koneksi resmi.

Karena pendidikan merupakan tiket penting untuk mendapatkan masa depan yang lebih cerah, mereka yang tidak memiliki kesempatan duduk dibangku sekolah, sangat meratapinya. Seperti yang terjadi pada seorang pengemis bernama Wu Xun yang hidup di masa pemerintahan Dinasti Qing, yang berhasil mewujudkan impiannya bagi pendidikan anak-anak yang kurang mampu.

Ayah Wu Xun meninggal saat Wu berusia lima tahun, dia dan ibunya mengemis untuk dapat bertahan hidup. Tapi dua tahun kemudian ibu Wu meninggal, sehingga membuat Wu harus berjuang untuk dirinya sendiri.

Wu hidup dengan mengandalkan mengemis dan melakukan pekerjaan serabutan. Dia merasa tidak keberatan dengan penderitaan dalam hidupnya, namun penyesalan terbesarnya adalah karena dia tidak memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan, seperti anak-anak lainnya. Dengan demikian, ia merasa tidak mungkin untuk lebih maju dan bangkit melampaui statusnya saat ini.

Jadi Wu memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu, sehingga mereka tidak akan mengalami nasib yang sama. Selama 30 tahun Wu mengumpulkan dana dengan mengemis pada siang hari dan membuat tali untuk dijual di malam hari, akhirnya Wu berhasil mendirikan sekolah bagi siswa yang kurang mampu.

Sekolahnya terbukti sangat sukses. Wu menaruh perhatian yang tinggi terhadap kemajuan para siswa dan sangat menghormati para guru. Setiap kali ia melihat ada guru yang menjadi kendur semangatnya atau siswa yang malas, dia akan berlutut dan memohon mereka untuk melakukan peran mereka dengan baik. Ketulusan hatinya mampu membuat para guru dan siswa menjadi lebih rajin, dan tak ada yang mengendur lagi.

Sejak zaman kuno, orang telah mengetahui pentingnya pendidikan untuk masa depan seseorang. Bahkan dalam masyarakat meritokrasi modern kita, orang-orang dengan prestasi akademis yang baik akan diberi kesempatan dalam mobilitas sosial. Tidak masalah seberapa baik seseorang melakukannya, namun kesempatan untuk menerima pendidikan adalah sesuatu yang harus dihargai dan tidak boleh terbuang percuma. (Epochtimes/Ajg/Yant)

0 comments