Xi Jinping Dihimbau Mundur dan Akhiri Kediktatoran Satu Partai-Seruan terbuka mantan dekan Universitas Renmin

 

Mantan Dekan Fakultas Politik Renmin University yakni Leng Jiefu pada April tahun ini telah mengirimkan surat terbuka menyerukan Xi Jinping agar mengundurkan diri dari segala jabatannya, sebagai respon terhadap krisis dalam dan luar negeri yang dialami RRT saat ini.
Mantan Dekan Fakultas Politik Renmin University yakni Leng Jiefu pada April tahun ini telah mengirimkan surat terbuka menyerukan Xi Jinping agar mengundurkan diri dari segala jabatannya, sebagai respon terhadap krisis dalam dan luar negeri yang dialami RRT saat ini.


LUO YA & ZHANG DUN,
REPORTER EPOCH TIMES

Baru-baru ini sepucuk surat yang ditulis oleh dosen Universitas Renmin yang telah pensiun yakni Leng Jiefu telah beredar di internet.Surat tersebut menghimbau Xi Jinping agar mengundurkan diri dari segala jabatan politik dan militernya di RRT, sebagai respon terhadap krisis dalam dan luar negeri saat ini.

Surat dengan nama asli Leng Jiefu selaku mantan dekan sekaligus dosen Fakultas Politik Universitas Renmin itu, ditandatangani pada 29 April 2020 lalu, judul surat itu adalah “Menganjurkan Ketua Xi Jinping Mundur Dari Segala Jabatan Politik Maupun Militer Partai, surat terbuka ditujukan pada Ketua Konferensi Permusyawaratan Politik, Wang Yang”. Reporter The Epoch Times mewawancarai Profesor Leng Jiefu pada 16 September baru-baru ini, yang memastikan surat yang beredar di internet itu adalah surat yang ditulisnya, dan Leng memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

Dosen usulkan Xi Jinping mundur dari segala jabatan

Dalam surat tersebut Profesor Leng Jiefu mengemukakan tiga usulan. Pertama, agar Wang Yang menggelar Rapat Ketua Konferensi Permusyawaratan Politik Nasional PKT, adakan satu kali permusyawaratan politik, mengajukan mosi Xi Jinping mundur sementara. Dalam situasi saat ini Xi Jinping harus mundur dari segala jabatannya, “mundur demi kemajuan, ini adalah keputusan terbaik menghadapi krisis ini”. Artikel menyebutkan, ini karena banyak negara menuntut agar kepala negara RRT itu “bertanggung jawab” atas pandemi yang telah terjadi dan menuntut ganti rugi senilai USD 350 triliun(5.150.268 triliun rupiah)!

Ia berkata, “Akibat dari tuntutan tersebut terlalu serius dan tidak terduga. Lalu bagaimana kita akan menghadapinya? Apakah kita harus bentrok langsung dengan seluruh dunia? Apakah kita tidak akan bertanggung jawab apa pun? Apakah kita akan terus ngotot dan bersikeras? Tidak takutkah kita dengan front persatuan seluruh dunia?!

Artikel menyebutkan, pelaku media ekstrim kiri berlagak bodoh, bahkan dengan yang disebut “patriotisme” menyandera 1,4 miliar jiwa rakyat Tiongkok, untuk bersama-sama melawan masyarakat internasional sampai akhir, sampai menyeret 1,4 miliar rakyat Tiongkok ke dalam perang nuklir? Jika petinggi pusat PKT juga berpikir demikian, itu berarti terlalu naïf, serta sangat tidak bertanggung jawab terhadap negara dan rakyat. Karena Tiongkok yang telah dikucilkan, yang dihadapi adalah tantangan dari seluruh dunia! Kita tidak memiliki satu teman pun, hanya ada Korea Utara, si beban itu.

Apalagi, kekuatan keras PKT saat ini sama sekali tidak mampu menandingi negara lain. Jika terjadi perang nuklir, PKT tidak akan bisa menang, dikhawatirkan hanya akan menjadi sebuah bencana. “Maka menurut saya: konfrontasi ekstrim kiri, bukan strategi bagus, terlebih lagi jangan sampai mengobarkan perang. Strategi tertinggi kita seharusnya adalah meminta Xi Jinping dengan alasan kesehatan, mengundurkan diri dari jabatan, sementara menghindar dari konflik.”

Dosen Universitas Renmin usulkan Tiongkok terapkan sistem Federal

Usulan kedua adalah, Tiongkok menerapkan “sistem federal”, untuk dapat menyelesaikan penyatuan Taiwan, masalah suku minoritas dan masalah Hong Kong. Dalam hal Taiwan, artikel menyebutkan, karena dukungan kuat Presiden Trump, menyatukan Taiwan menjadi semakin tidak memungkinkan.

Profesor Leng berkata, “Secara tulus dan jujur, Presiden Trump mendukung Taiwan yang demokratis sebenarnya adalah mendukung perjuangan demokrasi rakyat Tiongkok sendiri. AS bukan musuh kita, justru adalah teman terbaik kita. AS paling banyak memberikan bantuan kepada Tiongkok, dan selamanya tidak pernah menjajah sedikit pun wilayah kita. Trump adalah presiden paling agung di dunia. Menjadikan AS sebagai musuh adalah kesalahan sejarah. Kita harus menggunakan kebijaksanaan politik untuk melihat masalah ini, dan harus berterima kasih pada Amerika karena atas perlindungannya terhadap Taiwan.”

“Demi mempersatukan seluruh suku bangsa, harus dibentuk 'Negara Serikat Federal Tionghoa'. Dengan pemerintahan serikat menggantikan dua rezim, ini adalah pemersatuan yang setara dan sangat rasional.” Ia juga menyatakan, jika PKT ingin terus mempertahankan satu partai kediktatoran, maka akan memutus peluang sejarah. “Kasarnya, jika meneruskan kediktatoran satu partai, maka hanya akan ada satu jalan, yaitu menunggu AS memasukkan Partai Komunis Tiongkok ke liang kubur.”

Artikel membahas masalah politik dan ekonomi hingga kelebihan sistem demokrasi Taiwan. Dalam hal ekonomi, rata-rata pendapatan per-kapita Taiwan adalah lima kali lipat Tiongkok; kesejahteraan masyarakat Taiwan berada di urutan kedua di seluruh dunia, sedangkan kesejahteraan masyarakat di daratan Tiongkok hanya berada di urutan ke-159 dunia, “Yang dibangun oleh partai komunis lewat perang saudara ternyata adalah sebuah rezim kediktatoran usang yang telah ketinggalan zaman, bukankah ini sangat konyol?”

Dalam masalah suku minoritas, surat itu menyebutkan, konflik kesukuan semakin sengit, dan berpotensi kekerasan, masalah timbul pada dua sisi. Yang pertama adalah masalah otonomi daerah. PKT mengatakan otonomi daerah, tapi faktanya tidak diberi wewenang otonomi, melainkan kepemimpinan absolut partai komunis, karena pemimpin pertama di wilayah otonomi adalah Sekjen Komisi Partai, dan semuanya adalah orang dari etnis Han (suku mayoritas di daratan Tiongkok, Red.), ini tidak bisa dikatakan otonomi.

Yang kedua adalah pada saat terjadi bentrokan, PKT selalu menempuh cara kekerasan, meredam dengan senjata. Cara meredamnya pun kian hari kian parah dan kejam, khususnya terhadap suku Uighur, terlalu banyak yang telah dibunuh, sehingga memicu sorotan internasional. Konflik antar suku kian hari kian meruncing, ini menandakan sistem otonomi semacam ini telah gagal total, harus segera direformasi total, harus dicari metode penanganan baru.

Artikel menyebutkan, cara menyelesaikan konflik antar suku atau wilayah di dunia, pada dasarnya adalah menempuh sistem federal, dan cara federal ini cukup berhasil. Sistem otonomi PKT adalah suatu kegagalan yang harus dihentikan dan digantikan dengan sistem federal.

Untuk masalah Hong Kong, surat itu menilai juga seharusnya “diselesaikan dengan sistem federal, barulah sebagai kebijaksanaan politik tertinggi”.

Artikel menunjukkan, Deng Xiaoping menyatakan sistem satu negara dua sistem tidak akan berubah selama 50 tahun, dan tidak akan berubah setelah 50 tahun, hal ini sesuai dengan kepentingan warga Hong Kong, serta juga menguntungkan bagi dunia maupun Tiongkok sendiri. Demi menjaga kemakmuran Hong Kong, seharusnya menjaga kebijakan satu negara dua sistem ini. Jika tidak, apabila rambut yang ditarik, maka seluruh badan akan tergerak pula, kemakmuran akan sulit dipertahankan, kepentingan strategis Tiongkok pun dipastikan rusak.

“Demi kepentingan strategis Tiongkok, ‘sistem federal’ lebih baik daripada satu negara dua sistem.” Profesor Leng mengatakan, karena satu negara dua sistem adalah “usulan sesaat” Deng Xiaoping untuk menyelesaikan masalah pengembalian Hong Kong kala itu, tapi menyisakan banyak konflik dalam hal menyatukan dua sistem sosial yang karakternya sama sekali berbeda ke dalam satu pemerintahan. Konflik seperti ini bersifat satu hidup satu mati, tidak mungkin dapat eksis damai bersamaan dalam satu pemerintahan.

Usulan ketiga adalah: misi utama mengembangkan perekonomian rakyat pada saat ini adalah mengembangkan ekonomi pertanian.

Dosen Universitas Renmin: Penerapan Federal sekarang mungkin sudah terlambat

Dewasa ini, penguasa RRT tengah memperketat pengawasan opini, seperti banyak tokoh terkenal divonis akibat pernyataannya, termasuk Hung’erdai (keturunan pejabat generasi ke 2) yang juga influencer internet, Ren Zhiqiang diperiksa, Hung’erdai dosen Sekolah Partai Pusat PKT Cai Xia dipecat dari keanggotaan partai dan dicabut fasilitas pensiunnya, dosen Universitas Tsing-hua Xu Zhangrun dipecat dan lain sebagainya.

Di tengah lingkungan seperti ini, surat dari mantan Dekan Fakultas Politik Universitas Renmin Profesor Leng Jiefu mendadak beredar luas di internet, sontak memicu kekhawatiran berbagai pihak terhadap keselamatan Profesor Leng. Kepada The Epoch Times, Profesor Leng mengiyakan surat tersebut ditulis oleh dirinya sendiri, tapi entah mengapa surat yang ditulis sejak April lalu itu, baru beredar luas di September ini.

Mengenai masalah keselamatan jiwanya, Profesor Leng menyatakan, dirinya hanya seorang akademisi dalam sistem pemerintahan ini yang harus mengemukakan sebuah usulan, berangkat dari niat baik, jika usulannya ini diterima, tidak hanya berakibat baik bagi Xi Jinping dan negara, kata-katanya juga tidak ada sedikit pun unsur yang tidak menghormati pihak lain, semua atas dasar rasa hormat”. Tapi Profesor Leng menyatakan, sekarang usulannya itu sudah kadaluarsa, “Surat saya itu sudah tidak berlaku lagi, semuanya sudah terlambat, situasi ini telah berkembang hingga sekarang ini, mungkin sistem federal pun tidak akan bisa dilakukan lagi”.

Pada April lalu, masalah Hong Kong, Taiwan, dan suku minoritas, tidak separah saat ini. Waktu itu, di Hong Kong belum diterapkan “UU Keamanan Nasional versi Hong Kong”, setelah PKT mulai memberlakukan “UU Keamanan Nasional versi Hong Kong” pada Juli lalu, masyarakat Barat pun mengecam dan memberikan sanksi.

Dalam hal suku minoritas, PKT juga belum memberlakukan paksa pengajaran Bahasa Mandarin di Mongolia Dalam. Sekarang, sebagai akibat PKT memaksa pembelajaran Bahasa Mandarin, tidak hanya warga Mongolia Dalam yang memrotes keras, juga warga negeri Mongolia Luar, Hung’erdai Ma Xiaoli juga mendahului menulis surat terbuka, menghimbau pihak penguasa agar segera meralat kebijakan yang dapat merugikan persatuan bangsa itu, dan secara terbuka meminta maaf kepada para warga Mongolia. (et/sud/sun)

0 comments