Krisis Properti Tiongkok Memburuk: 77 Perusahaan Gagal Bayar Utang, 30 Perusahaan Delisting

 


Global News – Krisis sektor properti di Tiongkok semakin dalam. Data resmi menunjukkan sejak 2020 hingga Agustus 2024, setidaknya 77 perusahaan properti di China mengalami gagal bayar utang (default), sementara 30 perusahaan yang terdaftar di bursa terpaksa keluar (delisting), dengan 27 di antaranya merupakan delisting paksa.

Menurut laporan China Index Academy pada 21 Agustus, gelombang gagal bayar dimulai pada 2020, melonjak signifikan pada 2021, dan mencapai puncaknya pada 2022 dengan 44 perusahaan default. Hingga kini, jumlahnya terus bertambah.

Selain itu, dari 71 perusahaan properti yang masih tercatat di Bursa Shanghai dan Shenzhen, lebih dari 63% melaporkan kerugian pada paruh pertama 2024, bahkan beberapa di antaranya mengalami kerugian lebih dari 10 miliar yuan.

Properti Sulit Terjual, Utang Menumpuk

Analis menilai krisis ini terjadi karena pasar properti Tiongkok yang membeku. Penjualan rumah menurun tajam, stok menumpuk, bahkan meski harga diturunkan tetap sulit laku.

Ekonom Li Hengqing dari Washington Institute for Information and Strategy mengatakan:
“Pengembang sudah menanggung utang besar dari proyek-proyek sebelumnya. Saat penjualan macet, mereka tetap harus membayar bunga dan pokok utang. Akhirnya mereka terjerat lilitan utang yang sulit terlepas.”

Upaya Restrukturisasi Utang dan Gagalnya Kebijakan Stimulus

Hingga Agustus 2024, terdapat 20 perusahaan properti yang mendapat persetujuan restrukturisasi utang dengan total nilai lebih dari 12 triliun yuan. Namun, pakar menilai hanya perusahaan dengan kondisi aset relatif baik yang bisa melakukan restrukturisasi, sementara mayoritas perusahaan lainnya berada dalam kondisi sangat buruk, bahkan ada yang berstatus aset negatif.

Pemerintah Tiongkok sebelumnya telah meluncurkan berbagai kebijakan penyelamatan, mulai dari penurunan uang muka pembelian rumah, pengurangan suku bunga kredit pemilikan rumah, hingga injeksi likuiditas lewat pemangkasan giro wajib minimum. Namun, hasilnya minim.

Efek Domino: Dari Runtuhnya Properti ke Sektor Perbankan

Kondisi ini juga memicu fenomena proyek mangkrak (rumah tak selesai dibangun/“rumah hantu”) yang jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan juta unit di seluruh Tiongkok. Padahal, sekitar 70% kekayaan keluarga di Tiongkok bergantung pada sektor properti.

Situasi ini dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino terhadap sektor keuangan.
Li Hengqing memperingatkan:
“Jika rumah tidak bisa terjual dan pengembang gagal mengembalikan utang, maka bank akan menjadi korban berikutnya. Kita bisa melihat potensi runtuhnya ratusan lembaga keuangan.”

Faktanya, pada paruh pertama 2024 saja, lebih dari 200 bank kecil dan menengah di Tiongkok — termasuk bank desa dan bank komersial daerah — resmi ditutup atau dilebur.

Para pakar menilai, gelembung properti di Tiongkok telah pecah dan masih terus merosot tanpa tanda dasar pemulihan. Krisis ini bukan hanya menghantam sektor properti, tetapi berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi nasional.


#KrisisPropertiChina #EkonomiChina #UtangProperti #PerusahaanChina #KrisisGlobal #EkonomiTiongkok #PropertiMangkrak #DelistingChina #BankChina #UtangChina

0 comments