Rusia Gempur Ukraina dengan 700 Drone dan Rudal, Kota Strategis di Timur Terancam Jatuh



Serangan besar-besaran Rusia kembali mengguncang Ukraina. Kota strategis di timur, Red Army City (Krasnoarmiisk), kini menjadi titik panas pertempuran. Ribuan pasukan Rusia mengepung kota tersebut, sementara Ukraina berjuang mempertahankan wilayahnya di tengah kehancuran infrastruktur energi akibat serangan udara tanpa henti.


Pada Kamis dini hari (30/10), Rusia kembali melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap Ukraina, menargetkan fasilitas energi vital di berbagai wilayah. Ledakan dahsyat menyebabkan kebakaran besar dan pemadaman listrik luas di seluruh negeri, termasuk di kota-kota utama seperti Lviv, Sumy, dan Zaporizhzhia.

Menurut laporan resmi, Rusia meluncurkan 650 drone dan 50 rudal ke wilayah Ukraina. Serangan tersebut menyebabkan hancurnya jaringan listrik nasional dan merenggut sejumlah korban jiwa. Tim penyelamat menemukan dua jasad di reruntuhan bangunan yang hancur akibat ledakan.

Perusahaan energi swasta terbesar Ukraina, DTEK, menyebut serangan ini sebagai pukulan telak terhadap pasokan listrik nasional menjelang musim dingin.
Sementara itu, Perdana Menteri Ukraina, Denys Shmyhal, menuduh Rusia dengan sengaja menyerang infrastruktur sipil untuk “merampas kehidupan, martabat, dan kehangatan rakyat Ukraina”.

Moskow mengklaim bahwa serangan tersebut merupakan aksi balasan atas serangan Ukraina terhadap fasilitas energi di wilayah Rusia beberapa hari sebelumnya.


Kota Red Army (Krasnoarmiisk) Terancam Jatuh

Situasi semakin memburuk di wilayah timur Ukraina, khususnya di kota strategis Red Army City (Krasnoarmiisk), yang kini menjadi titik utama pertempuran sengit.
Rekaman dari kelompok pemantau garis depan Ukraina, DeepState, menunjukkan bahwa bendera Rusia sempat berkibar di gerbang kota sebelum akhirnya dihancurkan oleh pasukan Ukraina.

Komandan Angkatan Darat Ukraina, Oleksandr Syrskyi, mengonfirmasi bahwa pasukannya berjuang keras mempertahankan kota tersebut untuk menjaga jalur logistik dan evakuasi tetap terbuka. Namun, laporan dari lapangan menyebut kondisi semakin memburuk — pasokan logistik ke kota tetangga Myrnohrad telah terputus akibat serangan drone dan penyergapan infanteri Rusia.

Menurut analisis militer, lebih dari 11.000 pasukan Rusia kini mengepung kawasan tersebut. Jumlah itu delapan kali lebih besar dibanding kekuatan Ukraina di wilayah yang sama.
Jika kota Red Army jatuh, Rusia akan memiliki akses strategis untuk menyerang dua kota besar terakhir yang masih dikuasai Ukraina di wilayah Donetsk.

Presiden Volodymyr Zelensky mengakui bahwa pertempuran di sektor ini adalah yang paling berat di sepanjang 1.250 kilometer garis depan perang.
Ia kembali menyerukan dukungan dari sekutu Barat agar meningkatkan tekanan terhadap Moskow.

“Dunia harus sadar — Rusia harus menghentikan perang ini. Jika tidak, maka ekspor minyak Rusia harus segera dihentikan,” tegas Zelensky.


Ukraina Minta Beijing Hentikan Dukungan Energi ke Rusia

Menyusul serangan besar ini, Menteri Luar Negeri Ukraina, Andriy Sybiha, secara terbuka meminta Beijing untuk berhenti membeli energi dari Rusia, yang dinilai memperkuat mesin perang Moskow.

Sementara itu, tekanan global terhadap Rusia terus meningkat. Amerika Serikat baru-baru ini memberlakukan sanksi terhadap dua perusahaan minyak utama Rusia, yang mendorong India — melalui perusahaan energi nasional HMEL (HPCL-Mittal) — untuk menghentikan seluruh pembelian minyak dari Rusia.


Kesimpulan:

Serangan udara masif Rusia dan pengepungan kota Red Army City menunjukkan bahwa perang Rusia–Ukraina semakin memasuki fase kritis. Ukraina kini menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan wilayahnya sekaligus memulihkan infrastruktur energi yang hancur. Seruan Zelensky kepada sekutu global dan Beijing menegaskan bahwa perang ini tidak hanya menjadi konflik regional, tetapi juga pertarungan geopolitik yang menentukan arah keamanan global.


#RusiaUkraina #PerangUkraina #RedArmyCity #SeranganRusia #Zelensky #BeritaInternasional #TruthMedia

0 comments