China Perketat Larangan Natal, Warga Berkostum Santa Claus Dilaporkan Ditangkap


Menjelang Natal 2025, pemerintah China dilaporkan meningkatkan penindasan terhadap perayaan Natal. Dari pembongkaran pohon Natal hingga penangkapan warga berkostum Santa Claus, kebijakan ini memicu kritik luas dan sorotan internasional.

Tekanan Terhadap Perayaan Natal di Berbagai Kota China

Pemerintah China dilaporkan kembali memperketat pembatasan terhadap perayaan Natal. Di sejumlah daerah, pohon Natal dibongkar, gereja ditutup, dan warga yang mengenakan kostum Santa Claus dilaporkan ditangkap aparat keamanan.

Menjelang Natal 2025, sebuah pohon Natal raksasa di kawasan komersial bergaya Eropa Haide Town, Xi’an, Provinsi Shaanxi, dilaporkan dibongkar. Sementara itu di Beijing, gereja-gereja ditutup pada malam Natal, dan pusat perbelanjaan mengganti musik Natal dengan lagu-lagu propaganda Partai Komunis China (PKC).


Warga Berkostum Santa Claus Ditangkap di Shanghai

Pada 24 Desember, seorang perempuan di Shanghai yang mengenakan kostum Santa Claus dan membagikan apel “malam damai” kepada warga dilaporkan dibawa polisi ke kantor polisi. Di sana, ia mendapati banyak orang lain yang juga berpakaian Santa Claus telah ditahan, menunggu pemeriksaan.

Kabar ini memicu aksi spontan warga Shanghai yang mengenakan topi Santa Claus dan bersepeda di jalanan sebagai bentuk solidaritas dan protes simbolik.


Gereja Rumah Juga Menjadi Sasaran

Tekanan tidak hanya terjadi di ruang publik. Di Provinsi Shandong, Zhejiang, dan Sichuan, sejumlah gereja rumah dilaporkan dicegah oleh aparat keamanan negara (guobao) untuk menggelar ibadah Natal.


Akademisi: Nasionalisme Dijadikan Alat Kontrol

Wakil Profesor Universitas Nasional Pusat Taiwan, Zeng Jianyuan, menilai kebijakan ini sebagai manipulasi nasionalisme:

“PKC menafsirkan Natal sebagai simbol kekuatan anti-China global. Dengan menciptakan sentimen nasionalisme eksklusif, rezim berusaha mempersatukan rakyat untuk mendukung kekuasaan partai.”

Ia menambahkan bahwa meskipun PKC mengklaim menganut ateisme, rezim justru merasa terancam oleh perayaan Natal karena dianggap menantang ideologi dan legitimasi kekuasaan.


Natal Diganti dengan ‘Hari Kemenangan Danau Changjin’

Tahun ini, dekorasi Natal hanya diperbolehkan muncul di lokasi yang ditunjuk pemerintah. Di beberapa tempat, dekorasi bahkan sudah dicabut sejak 22 Desember.

Media resmi Xinhua pada 24 Desember menyatakan bahwa “24 Desember bukan Malam Natal, melainkan hari kemenangan Pertempuran Danau Changjin dalam Perang Korea.” Media internasional Deutsche Welle menilai langkah ini sebagai strategi propaganda baru: Bukan sekadar melarang, melainkan mengganti makna Natal dengan narasi nasionalistik.


Kritik: Budaya Tidak Pernah Murni Satu Asal

Zeng Jianyuan menilai pendekatan ini absurd:

“Banyak budaya China berasal dari luar, termasuk Buddha yang datang dari India. Jika nasionalisme ini didorong ke ekstrem, maka itu bertentangan dengan kenyataan sejarah dan prinsip saling menghormati antarbudaya.”

Ia menilai penggunaan isu anti-Amerika untuk melawan perayaan Natal sebagai bentuk politisasi sejarah yang berlebihan.


Nasionalisme Menguat di Tengah Tekanan Ekonomi

Direktur Eksekutif Taiwan Inspiration Association, Lai Rongwei, menilai penguatan nasionalisme menjadi pilihan terakhir rezim:

“PKC menjaga kekuasaan dengan dua cara: Memastikan rakyat kenyang dan mendorong patriotisme. Saat ekonomi melemah dan kepercayaan publik menurun, yang tersisa hanyalah nasionalisme.”

Ia menambahkan bahwa pembatasan perayaan bertujuan mencegah warga berkumpul, berjejaring, dan menyuarakan kritik terhadap pemerintah.


Aplikasi Kalender Ikut Ubah Narasi

Sejumlah warganet menemukan bahwa aplikasi kalender ponsel Huawei kini menandai 24 Desember sebagai “Hari Kemenangan Danau Changjin”, bukan Malam Natal. Akademisi menilai hal ini sebagai bentuk internalisasi propaganda dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.


Kesimpulan

Larangan perayaan Natal di China mencerminkan meningkatnya kontrol ideologi dan kekhawatiran pemerintah terhadap aktivitas sosial yang bersifat kolektif. Dengan mengganti simbol budaya global menjadi narasi nasionalistik, rezim China dinilai berupaya memperkuat loyalitas politik di tengah tantangan ekonomi dan kepercayaan publik yang melemah.


0 comments