Ramai-Ramai Menggugat Rezim Komunis Tiongkok

Warna semakin gelap pada peta menunjukkan jumlah penduduk yang terinfeksi virus PKT hingga lebih 2.000 jiwa.|wikipedia

WAN JAYA

Sekali lagi “Tears and blood behind Made in China” adalah cocok untuk menggambarkan tentang pandemi virus PKT yang melanda dunia saat ini. Ekonomi dunia terperosok sangat dalam. Berbagai sektor bisnis dari kelas konglomerasi sampai kaki lima ter-disrupsi hebat. Tsunami PHK terjadi di mana-mana. Rantai pasok global terganggu. Tak jelas kapan wabah akan berlalu. Siapa yang bertanggung jawab atas horor pandemi ini? Semua belum jelas. Semua masih remang-remang. Yang sering mampir di akun WA kita adalah teori konspirasi gila-gilaan, blame game semakin menyeruak, dan asal muasal munculnya virus masih menjadi misteri atau bahkan ada kekuatan yang ingin menjadikan ia misteri sepanjang masa. Apakah bisa? Bukankah setiap perbuatan harus dimintai pertanggungjawaban baik di dunia dan akhirat, kata para agamawan.

Melihat berita berseliweran di berbagai outlet berita memang ada kekuatan besar yang masif dan sistematik yang ingin mencuci bersih nama rezim komunis Tiongkok dari tanggung jawab. Asal-usul virus diburamkan sekuat tenaga, melibatkan buzzer atau tentara lima sen, jejaring media Beijing yang menggurita di seluruh dunia, institusi fact checking, bahkan raksasa teknologi media sosial terlibat dalam perang narasi terbesar sepanjang zaman. Moto PKT “Agung, Mulia, dan Benar” harus dijaga berapapun harganya (at all cost).

Tapi apakah selamanya tembok raksasa kebohongan ini bisa kuat berdiri diterpa tsunami kebenaran dan kesadaran masal publik dunia yang mulai menyadari bahwa PKT itu sendiri lebih berbahaya dari epidemi pneumonia Wuhan. Tembok kebohongan harus diruntuhkan sebagaimana tembok Berlin yang monumental itu rata dengan tanah di terpa arus perubahan.

Ramai-ramai menuntut PKT

Demo frontal Hongkongers melawan rezim PKT yang berlangsung berbulan-bulan bisa jadi ibarat cambuk yang menyadarkan dunia akan wajah asli rezim otoriter ini. Wabah pneumonia Wuhan bisa jadi membuat arus anti PKT akan semakin deras baik di dalam maupun di luar daratan Tiongkok. “Langit memusnahkan PKT” bisa jadi akan jadi peristiwa besar mengguncang abad ini. Wabah pneumonia Wuhan ini menyadarkan publik dunia bahwa harus membayar harga sangat mahal karena mendiamkan rezim otoriter ini berkuasa terlalu lama.

Mulai Maret - April 2020 mulai terdengar suara tuntutan hukum terhadap PKT atas upaya menutup-nutupi fakta sebenarnya tentang wabah yang akhirnya karena ketidakjujuran ini membahayakan seluruh dunia dan harus membayar harga yang sangat mahal.

Para pengacara di Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan gugatan hukum untuk menuntut RRT membayar triliunan dolar Amerika atas pandemi Coronavirus disease-19 (Covid-19). Mereka menuduh para pemimpin rezim komunis Beijing lalai karena membiarkan wabah pecah dan kemudian menutupinya.

Gugatan class action telah diajukan di Florida bulan lalu. Gugatan ini diklaim melibatkan ribuan penggugat dari 40 negara termasuk Inggris dan AS. Gugatan untuk kasus kedua juga diluncurkan bulan ini atas nama petugas kesehatan dengan tuduhan RRT menimbun persediaan medis yang menyelamatkan jiwa.

Kelompok pengacara hak asasi manusia (HAM) Israel yang berspesialisasi dalam menuntut negara karena terorisme juga ambil bagian dalam pengajuan gugatan hukum untuk kasus kedua tersebut. Kelompok itu meningkatkan tekanan pada Presiden RRT, Xi Jinping untuk bertanggung jawab penuh atas tindakan negaranya.

RRT menghadapi tuduhan bahwa mereka menahan data, memblokir beberapa tim ahli kesehatan masyarakat dari luar dan membungkam para dokter yang berusaha memperingatkan tentang epidemi itu ketika penyakit pneumonia Wuhan merebak akhir tahun lalu.

Belum diketahui apakah sumber virus itu adalah pasar yang menjual hewan-hewan eksotik hidup seperti yang diklaim sejumlah kali pertama atau terkait dengan laboratorium penelitian virus di Wuhan.

Gugatan hukum di AS diluncurkan oleh Berman Law Group, sebuah firma hukum yang berbasis di Miami. Firma ini mempekerjakan saudara laki-laki dari bakal calon presiden AS dari Partai Demokrat, Joe Biden sebagai penasihat.

“Para pemimpin RRT harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Tujuan kami adalah untuk mengungkap kebenaran,” kata kepala ahli strategi frima hukum tersebut, Jeremy Alters.

Para penggugat termasuk Olivier Babylone, 38, seorang agen perumahan asal Croydon, London Selatan, yang pendapatannya turun dua pertiga dan dirawat di rumah sakit awal bulan ini karena pneumonia Wuhan.

“Saya telah terluka secara finansial, tetapi banyak orang telah kehilangan nyawa mereka sehingga saya beruntung, dan NHS (Layanan Kesehatan Nasional) sangat fantastis. Kita perlu tahu siapa yang bertanggung jawab,” katanya, seperti dilansir Mail Online, Minggu (19/4/2020).

Bergabung dengannya dalam gugatan class action adalah Lorraine Caggiano, seorang administrator dari New York yang terinfeksi pneumonia Wuhan bersama dengan sembilan anggota keluarga lainnya setelah menghadiri pernikahan. Ayah dan bibinya meninggal bulan lalu. “Saya tidak mengharapkan uang. Itu adalah gerakan simbolis yang kami lawan,” ujarnya.

“Saya ingin tahu bagaimana dunia telah dibalik kepalanya, dengan orang-orang sekarat dan perusahaan-perusahaan tenggelam. Kita harus memastikan itu tidak pernah terjadi lagi,” katanya.

Gugatan hukum untuk kasus kedua sedang dipersiapkan oleh Shurat HaDin, sebuah pusat hukum Israel yang telah mewakili para korban terorisme di seluruh dunia. Aviel Leitner dari pusat tersebut mengatakan akan meluncurkan tindakan hukumnya di AS. “Karena sebagian besar negara lain takut akan ekonomi dan retribusi RRT,” ujarnya.

Para pengacara akan berpendapat bahwa kelalaian dan perilaku ceroboh Beijing begitu buruk sehingga, seperti halnya terorisme, negara tidak dapat bersembunyi di balik kekebalan berdaulat.

“RRT akan berjuang mati-matian. Jika terbukti lalai, itu akan menjadi malapetaka bagi mereka,” kata Leitner.

Sementara itu, pengacara HAM Inggris, Geoffrey Robertson menyerukan agar PBB mengatur penyelidikan tentang asal-usul pneumonia Wuhan. Seruan ini muncul setelah ada klaim bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) gagal dalam tugasnya dengan mengikuti RRT secara mentah-mentah, yang telah menyebabkan Presiden Donald Trump memotong semua pendanaan AS untuk organisasi tersebut.

Robertson, mantan hakim pengadilan banding PBB, menyatakan konsekuensi dari tidak menangani virus pada tahap awal telah menjadi bencana dan fakta-fakta sedang terdistorsi oleh propaganda dan penilaian politik.

“Kesejahteraan internasional kami menuntut lapor-an yang independen dan objektif tentang bencana ini, bukan untuk mengalokasikan kesalahan tetapi untuk menulis sejarahnya yang sebenarnya dan belajar (dari) pelajaran,” katanya.

Dia menambahkan bahwa Inggris harus menggunakan pengaruhnya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk mendesak penyelidikan formal, memaksa WHO dan RRT untuk bekerja sama.

“RRT akan menderita permusuhan internasional dan mungkin sanksi ekonomi jika negara itu menolak menjelaskan semua yang telah terjadi. Ia memiliki kewajiban untuk mengatakan kebenaran kepada dunia yang telah sangat menderita,” katanya.

Dokter Yang Jianli, seorang pembangkang RRT terkemuka, meminta negara-negara demokratis untuk mendukung penyelidikan, tetapi meragukan bahwa PBB akan memiliki nyali. Pemerintah RRT sendiri belum berkomentar atas gugatan hukum yang diajukan firma hukum di AS. Namun, Beijing sudah membantah menutupi wabah pneumonia Wuhan dan mengklaim sudah transparan.

Era baru globalisasi tanpa Komunis Tiongkok

Yang Sen-hong adalah seorang aktivis hak asasi manusia dan pakar kesehatan masyarakat dari menulis sebuah artikel di taiwannews.com (14/04/2020) berjudul Era baru Globalisasi Tanpa komunis Tiongkok. Dia mengatakan bahwa epidemi telah mengajarkan kepada semua orang bahwa rezim komunis Tiongkok sebagai pabrik besar dunia sudah berakhir. Amerika Serikat dan Jepang menyerukan perusahaan-perusahaan negara mereka untuk meninggalkan Tiongkok dan kembali ke rumah, dalam proses mengusulkan agar Tiongkok membayar biaya pemindahan. Ini tampaknya menunjukkan bahwa era “Made in China” secara resmi telah berakhir dan terjadi perombakan besar rantai pasokan global sedang berlangsung.

Rantai pasokan yang lebih pendek dan lebih lokal diharapkan di era baru globalisasi - tanpa Tiongkok sebagai pabrik dunia. Pemutusan dengan masa lalu ini tidak datang dari mana-mana dan tidak hanya dipicu oleh wabah virus PKT.

Sebenarnya, perang dagang AS -Tiongkok yang dimulai dua tahun lalu membuka jalan bagi perubahan, meskipun sampai batas tertentu telah diperumit oleh perlawanan dari para politisi di seluruh dunia yang mendukung hubungan yang lebih dekat dengan Tiongkok, ditambah dengan meningkatnya pengaruh Komunis Tiongkok di PBB, dengan pendekatan “carrot and stick” (yang mendukung mendapat hadiah, yang menolak mendapat hukuman).

Orang-orang dengan mata terbuka menyadari bahwa “One Belt One Road” mengekspor barang dan gagasan yang memfasilitasi pemerintahan otoriter di negara-negara otoriter. “Made in China 2025” hanyalah cara lain untuk menyebarkan fasisme Tiongkok, kali ini digital, ke seluruh penjuru dunia. Tidak heran itu menyerupai “politbiro” dalam novel George Orwell (1984).

Terlepas dari semua hal buruk yang dibawa oleh pneumonia Wuhan (COVID-19), ada satu hal yang patut mendapat tepuk tangan: Ini telah menjadi peringatan bagi dunia, yang sekarang menyadari betapa menipu, tidak jujur, dan tidak bertanggung jawabnya orang Partai Komunis Tiongkok.

PKT selama bertahun-tahun telah berpengalaman dalam dalih penyembunyian dan kecurangan politik, yang telah mendorong beberapa perusahaan interna-sional untuk meninggalkan negara itu.

Hari ini, Partai Republik dan Demokrat di AS telah bersatu dan mencapai konsensus bipartisan seputar kebijakan Tiongkok. Mengingat penyebaran pneumonia Wuhan yang cepat dan sejumlah besar test kit yang salah dan masker kualitas buruk yang disediakan oleh Tiongkok, banyak negara Eropa telah menjadi korban baru dari praktik menipu PKT.

Sebagai contoh, Irlandia mengeluarkan ultimatum ke Tiongkok minggu lalu setelah 20 persen dari £ 176 juta (NT 6,63 miliar dollar AS) dari alat pelindung yang dibeli dari Tiongkok ditemukan tidak dapat digunakan oleh petugas kesehatan. Akibatnya, ia berupaya meningkatkan kemampuan negara untuk memproduksi secara lokal, alih-alih mengandalkan Tiongkok.

Meskipun PKT telah memulai kampanye propaganda global yang berani untuk mencoba dan mem-bingkai ulang narasi virus PKT dan untuk menghindari tanggung jawab atas tindakannya, sejumlah politisi Barat masih mendukung rezim tersebut. Meski begitu, lebih banyak individu dan negara di seluruh dunia sekarang sadar akan sifat sebenarnya dari rezim komunis PKT.

Taiwan, di sisi lain, secara luas dipuji sebagai panutan dalam perang melawan pneumonia Wuhan dan berterima kasih karena telah menyumbangkan pasokan medis kepada yang membutuhkan di seluruh dunia. Demokrasi ini menunjukkan belas kasihan bagi negara-negara lain yang berjuang melawan penyakit ini.

Namun kebajikan Taiwan bukan hanya satu peristiwa, tetapi sebuah norma. Selama beberapa dekade terakhir, Taiwan telah mengirim ribuan profesional medis ke negara-negara berkembang dan membantu mereka yang tidak mampu membayar perawatan dan perawatan medis kelas satu. Beberapa profesional medis mewakili pemerintah, sementara beberapa yang lain melayani atas nama kelompok agama atau organisasi nirlaba.

Kebaikan membuahkan hasil, itu hanya masalah waktu

Epidemi ini bisa dilihat sebagai ujian kemanusiaan. Negara-negara di seluruh dunia akan belajar siapa yang memiliki integritas, dan siapa yang tidak. Politisi dan orang-orang dari semua lapisan masyarakat juga akan menemukan bahwa tidak cukup untuk memulihkan ketertiban hanya dengan melakukan pemeriksaan fakta, atau “pemeriksaan etika” sebelum terlibat dengan negara lain.

Tiongkok dan Taiwan mencontohkan sistem kepercayaan yang bertentangan dan ini memiliki konsekuensi yang sama sekali berbeda. Peran Tiongkok yang semakin berkurang dalam globalisasi menjadi masalah fakta - dan ini bukan sebelum waktunya. (epochtimes)

0 comments