Kemarahan Rakyat China Memuncak: Data Ungkap Aksi Perlawanan Desa Naik 70 Persen


Krisis ekonomi China memicu lonjakan ketidakpuasan publik. Data terbaru menunjukkan aksi perlawanan di wilayah pedesaan China meningkat hingga 70 persen dibanding tahun sebelumnya, memunculkan kekhawatiran akan potensi gejolak sosial berskala besar.


Ekonomi Memburuk, Gejolak Sosial Kian Meluas

Kondisi ekonomi China yang terus memburuk berdampak langsung pada stabilitas sosial. Berdasarkan statistik lembaga riset independen, hingga akhir November tahun ini, jumlah aksi perlawanan di pedesaan China melonjak sekitar 70 persen dibandingkan total sepanjang tahun lalu.

Para analis menilai, gelombang perlawanan rakyat yang semakin sering dan meluas berpotensi berkembang menjadi kerusuhan sosial yang lebih besar.


Data “China Dissent Monitor”: Protes Terus Meningkat

Data dari China Dissent Monitor, proyek pemantauan milik organisasi HAM yang berbasis di Washington, Freedom House, mencatat:

  • Hingga 11 bulan pertama tahun ini, terdapat 661 kasus aksi perlawanan di pedesaan, meningkat sekitar 70 persen dibanding tahun lalu.
  • Pada kuartal ketiga 2025, tercatat 1.392 aksi protes di seluruh China, naik 45 persen dibanding periode yang sama tahun 2024.
  • Ini menjadi kuartal keenam berturut-turut dengan peningkatan tahunan.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar aksi protes dipimpin oleh:

  • Buruh (38%)
  • Pemilik properti (29%)
  • Warga desa (15%)


Utang Pemerintah Daerah Jadi Pemicu Utama

Analis menilai, akar masalah utama berasal dari utang pemerintah daerah yang menumpuk. Untuk menutup defisit anggaran, banyak pemerintah lokal mengandalkan pengambilalihan dan pengembangan lahan, yang memicu kemarahan warga desa di berbagai wilayah.

Pada akhir November, pemerintah pusat China bahkan secara terbuka—dan tergolong jarang—memerintahkan daerah-daerah untuk mencegah gelombang besar buruh migran kembali dan menetap di desa, menandakan kekhawatiran serius atas potensi instabilitas sosial.


Peringatan: Jalur Rasional Telah Buntu

Penulis dan aktivis keturunan Tionghoa di Kanada, Sheng Xue, menyatakan bahwa perlawanan rakyat di China bukanlah fenomena baru.

“Jika kita meninjau 30 tahun terakhir, perlawanan rakyat di China tidak pernah berhenti. Jutaan petisi rakyat datang silih berganti, namun masyarakat akhirnya sadar bahwa tidak ada jalan rasional yang bisa menyelesaikan masalah. Ketika semua jalur ditutup, masyarakat akan menjadi semakin radikal,” ujarnya.


Potensi Kerusuhan Rakyat Lebih Besar dari Kudeta

Sheng Xue juga menilai bahwa ketidakpuasan dari pedesaan kini jauh lebih sulit dikendalikan dibanding kelompok masyarakat lain.

“Kelompok kelas menengah bisa pergi ke luar negeri, bertahan, atau memilih ‘berbaring rata’. Elit politik sibuk menyelamatkan diri. Dari struktur sosial China saat ini, kemungkinan pemberontakan rakyat jauh lebih besar dibanding kudeta atau pemberontakan militer,” jelasnya.


Ancaman Buruh Migran yang Terjebak di Desa

Akademisi Australia, Yuan Hongbing, memperingatkan bahaya sosial yang lebih besar jika ratusan juta buruh migran terpaksa kembali ke desa.

“Jika sekitar 250 juta buruh migran terjebak di pedesaan, akan terbentuk populasi pengembara besar-besaran. Lahan mereka sudah hilang, sandaran hidup terakhir lenyap. Ini akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas rezim PKT,” katanya.


Kesimpulan

Lonjakan aksi perlawanan di pedesaan China mencerminkan akumulasi tekanan ekonomi, ketimpangan sosial, dan kebijakan pemerintah daerah yang gagal. Dengan meningkatnya protes warga desa dan potensi kembalinya buruh migran secara massal, risiko gejolak sosial di China dinilai semakin tinggi. Para analis menilai, jika akar masalah tidak diselesaikan, ketidakpuasan rakyat dapat berubah menjadi krisis stabilitas nasional.


0 comments