Beijing 3 Kali Gagal Luncurkan Roket, Kuncinya Pada Teknologi Chips?

Tanpa chips dan teknologi dari AS, padahal Huawei dan ZTE sendiri kurang akan kemampuan berinovasi, dan juga banyaknya perusahaan teknologi RRT yang diberi sanksi oleh AS, maka seberapa besar ruang untuk berkembang? Foto menunjukkan salah satu pabrik Huawei di kota Shenzhen. | Kevin Frayer | GETTY IMAGES

CHEN ZHOU

Sejak dulu hingga kini dalam ajang pertempuran “benteng” selalu diperebutkan dalam militer, begitu ditaklukkan, satu pihak pasti menang, pihak lain akan kalah. Dengan prinsip yang sama, tenggorokan yang memiliki fungsi pernapasan merupakan benteng bagi tubuh kita, begitu terjadi masalah, maka akan timbul masalah yang sangat besar. Oleh karena itu, dalam aksi militer menguasai tempat yang berbahaya dalam istilah lainnya disebut “mencekik tenggorokan musuh”. Sekarang, pemerintah Trump sedang mencekik tenggorokan PKT.

Menurut pemberitaan media massa resmi Beijing selama dua bulan ini, pemerintah Beijing telah tiga kali berturut-turut meluncurkan roket namun gagal, masing-masing waktu peluncuran adalah 23 Mei, 9 April dan 16 Maret. Yang patut diperhatikan adalah, tiga kali pemberitaan publik disinggung soal “pada saat separasi tingkat ketiga roket lepas kendali”, dan fakta dibaliknya sangat mungkin adalah karena sebelumnya menggunakan instrumen separasi yang menggunakan chips buatan AS, akibat pihak AS sejak tahun lalu membatasi ekspor teknologi dan chips, maka timbullah masalah besar pada chips atau teknologi mereka. Peneliti dari Taiwan National Policy Foundation sekaligus pakar militer Li Zhengxiu beberapa waktu lalu saat diwawancara oleh Radio Free Asia mengatakan, perkembangan roket RRT sangat tergantung pada chips dari AS, begitu AS membatasi ekspor, sangat berdampak terhadap perkembangan teknologi roket militer RRT, menyebabkan tingkat kegagalan peluncuran roketnya langsung menanjak tinggi.

Mei tahun lalu, terhadap Huawei dan ZTE yang berlatar belakang militer, Presiden Trump telah menandatangani perintah administratif, mengumumkan ancaman negara musuh terhadap informasi, teknologi telekomunikasi, dan pelayanan rantai pasokan, sebagai “kondisi darurat nasional”. Setelah itu Kemendag AS mengumumkan, Huawei dan 70 anak perusahaannya masuk dalam “daftar entitas” yang diawasi ekspornya oleh Biro Industri dan Keamanan (BIS), dan segera diberlakukan.

Setahun setelah itu, belum lama ini, Trump tak hanya memperpanjang perintah administratif tersebut, juga akan mencegah produsen chips di seluruh dunia menjual produk chips semikonduktor bagi Huawei, termasuk juga perusahaan pemasok terpenting bagi Huawei yakni Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC). Saat ini, TSMC telah menghentikan pasokan bagi Huawei, order senilai USD 700 Juta (9,8 triliun rupiah) dari Huawei yang buru-buru ditambahkan kepada TSMC sudah tidak bisa mendapatkan barang. Selain itu, produk yang dibutuhkan Huawei seperti konektor berikut kabelnya, alat ukur elektronik, program dan piranti lunak terkait, rancangan IC berikut platform verifikasi, RF Solution dan lain sebagainya, apakah Huawei mampu menemukan perusahaan terkait yang mampu menggantikan perusahaan pemasok dari AS masih menjadi tanda tanya.

Tanpa chips dan teknologi dari AS, padahal Huawei dan ZTE sendiri kurang akan kemampuan inovasi, dan juga banyaknya perusahaan teknologi RRT yang diberi sanksi oleh AS, seberapa besar ruang untuk berkembang? Yang berikutnya akan menyusul adalah melambatnya kecepatan perkembangan militer, antariksa dan teknologi canggih PKT serta kerapnya terjadi kesalahan, tiga kali kegagalan PKT meluncurkan roket adalah bukti nyata.

Selain membatasi ekspor produk yang mengandung kekayaan intelektual AS bagi ZTE dan Huawei serta perusahaan RRT lainnya, pemerintah Trump juga memberikan sanksi bagi perusahaan RRT yang membantu PKT mencuri teknologi milik AS, dan baru-baru ini Presiden telah menandatangani sebuah pengumuman yang melarang para pelajar dan peneliti RRT yang berkaitan dengan pihak militer memasuki wilayah Amerika. Dengan menghantam PKT dari segi teknologi, produk, dan kaum intelek-nya, pemerintah Trump telah mencekik tenggorokan perkembangan teknologi PKT.

Perkembangan teknologi dan ekonomi PKT serta ekspansinya di seluruh dunia, tentunya tak terlepas dari dana yang besar, sejumlah politisi AS, Wall Street dan perusahaan AS telah menjadi komplotannya, lembaga finansial yang bebas di Hong Kong juga menjadi sumber utama pendanaannya. Menurut informasi, sebesar 80% dana milik PKT berasal dari Hong Kong dan transaksi dolar AS.

Untuk itu, pemerintah Trump tengah menempuh serangkaian Tindakan untuk mencekik tenggorokan PKT dalam mendapatkan dana-dana tersebut. Seperti memaksa PKT menandatangani kesepakatan dagang tahap pertama, mengurangi defisit perdagangan, dan mempercepat hengkangnya perusahaan AS dari RRT. Membatasi dana pensiun AS berinvestasi pada perusahaan RRT, membatasi listing perusahaan RRT di bursa efek AS. Setelah PKT mengeluarkan “UU Keamanan Nasional” versi Hong Kong, AS mengumumkan dicabutnya seluruh fasilitas istimewa bagi Hong Kong, juga akan memberikan sanksi bagi pejabat PKT dan Hong Kong, serta menyelidiki tindak tanduk perusahaan RRT yang telah listing di bursa efek Amerika.

Reaksi keras pemerintah Trump telah membuat Zhongnanhai kelabakan, karena dengan cepat PKT akan segera mengalami kekacauan akibat banyaknya dana, perusahaan dan kaum intelek yang meninggalkan Hong Kong, dan hal ini pasti akan semakin memperburuk merosotnya ekonomi RRT yang tadinya pun sudah carut-marut juga melonjaknya angka pengangguran, yang kemudian sangat membahayakan rezim PKT.

Bayangkan, jika tak lama lagi pemerintah Trump mengeluarkan lebih banyak kebijakan, menghentikan PKT menggunakan dana yang didapat dengan cara tidak halal, ini akan menjadi pukulan telak bagi PKT.

Bersamaan dengan mencekik tenggorokan PKT dalam hal teknologi dan finansial, pemerintah Trump juga tak lupa menghentikan ekspansi militer PKT. Dalam sejarah AS menghadang PKT terdapat tiga garis pertahanan, yang secara profesional disebut strategi “rantai pulau”. Rantai pulau pertama adalah rantai kepulauan mulai dari utara yakni kepulauan Aleut, kepulauan Jepang, kepulauan Ryukyu, di tengah ada Pulau Taiwan, ke selatan Filipina, sampai kepulauan Sunda Besar, dengan Korea Selatan sebagai pusat. Rantai pulau kedua dimulai dari kepulauan Izu, melalui kepulauan Ogasawara, kepulauan vulkanik, kepulauan Ma-riana, Guam, Pulau Yap, lalu Palau, dan Halmahera, dengan pangkalan militer AS di Guam sebagai pusatnya. Rantai pulau ketiga mulai dari utara Alaska, melalui kepulauan Hawaii lalu mencapai sejumlah kepulauan milik AS di Samudera Pasifik hingga mencapai negara sekutu AS yakni Australia dan Selandia Baru.

Mengandalkan pasukan pada ketiga rantai pulau tersebut dan sistem anti-rudal, AS telah menguasai otoritas udara dan laut, untuk dapat mengantisipasi RRT, Rusia, Korea Utara, dan Iran. Sekali waktu akibat lemahnya pemerintah AS dan Beijing menebar uang suap, rantai pulau pertama sempat diputus oleh RRT dengan mulai membangun kota Sansha di Laut Tiongkok Selatan, serta membangun bandara dan pangkalan militer. Hal ini memicu ketakutan Filipina dan Vietnam, kedua negara langsung membuka pelabuhannya bagi kapal perang AS, dan mengijinkan kapal perang AS berlabuh di sana.

Setelah Trump menjabat, strategi keamanan nasional pun diperbaharui, PKT telah menjadi musuh utama AS. Dalam hal kemiliteran, AS juga memperkuat kesiapan perang, untuk menghadapi aksi provokasi militer RRT, AL dan AU Amerika kerap berpatroli di Laut Tiongkok Selatan memperingatkan Beijing. Di samping itu, AS juga membentuk angkatan antariksa, yang menciutkan nyali PKT dengan kekuatan teknologi militer yang kuat.

Setelah PKT melanggar janji dengan menindas warga Hong Kong dan menutupi wabah yang mengakibatkan virus menyebar ke seluruh dunia, kaum oposisi AS semakin memahami karakteristik PKT, dan memahami ancaman PKT terhadap dunia, kebijakan Trump terhadap RRT pun mengalami perubahan besar-besaran, hubungan AS-Taiwan juga semakin erat.

Seperti dikatakan Menhan AS Mark Esper pada 22 Mei lalu, Pentagon sedang mengawasi gerak gerik militer PKT dengan ekstra hati-hati. Esper menyatakan, “Kami pasti akan melindungi ketertiban internasional berlandaskan pada prinsip internasional. Kami memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, memiliki AL yang terkuat sepanjang sejarah. Dan kami akan melindungi para sekutu dan negara sahabat kami.”

Contoh konkrit yang memperlihatkan sikap keras militer AS terjadi pada bulan Mei lalu, sebelum Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen dilantik untuk masa jabatan yang kedua, RRT melakukan latihan militer di perairan Pelabuhan Tangshan yang berada di posisi Beihai (selatan Taiwan), alasannya adalah kondisi geografis dan titik pendaratannya saat menyerang Taiwan (hutan dan pantai) sangat mirip, sebagai peringatan bagi Tsai Ing-Wen bahwa Beijing tidak mengesampingkan menyerang Taiwan dengan kekuatan militer. Pada hari yang sama RRT melakukan latihan militer itu, USS Reagan milik AS juga melakukan latihan militer merebut pulau di lokasi yang berdekatan dengan Kepulauan Ryukyu, jelas sebagai peringatan bagi PKT.

Bisa dikatakan serangkaian aksi AS tengah mencekik tenggorokan PKT di bidang teknologi, finansial, dan militer, serta beberapa bulan mendatang, pemerintah Trump akan bergabung dengan sekutunya, untuk mengencangkan jeratan di leher PKT, sampai PKT tidak mampu lagi mengacaukan dunia dan Tiongkok. (et/sud/sun)

0 comments