Hong Kong Terus Berjuang Demi Kebebasan

Menjelang malam pada 4 Juni lalu, banyak warga Hong Kong yang tak gentar menghadapi tekanan, berkumpul di Taman Victoria menyalakan lilin tanda berkabung atas pembantaian di Lapangan Tiananmen 4 Juni 1989 lalu, sebagai kelanjutan aksi berkabung warga sipil berskala terbesar yang berlangsung 31 tahun berturut-turut.

CHEN SIMIN

Tahun ini adalah peringatan 31 tahun tragedi pembantaian di Lapangan Tiananmen 4 Juni 1989 silam, walaupun PKT memaksakan penerapan UU Keamanan Nasional versi Hong Kong yang bisa mencekik satu negara dua sistem dan membatasi kebebasan Hong Kong, juga polisi Hong Kong melarang massa berkumpul dengan alasan pandemi, peringatan berkabung 4 Juni di Taman Victoria untuk kali pertama akan dibatalkan, namun pada 4 Juni 2020 pukul 20:09 malam hari, di Taman Victoria Hong Kong masih saja “sinar lilin tidak musnah berkat hati manusia yang tidak padam”.

Peringatan 30 tahun tragedi Tiananmen tahun lalu, pemerintah Hong Kong memaksakan penerapan “UU Ekstradisi”, warga Hong Kong pun mengobarkan gelombang unjuk rasa “anti UU ekstradisi”, polisi Hong Kong melakukan penegakan hukum secara brutal terhadap massa pengunjuk rasa, menangkap secara ilegal, menganiaya warga, melakukan siksaan, bahkan melepaskan tembakan ke tubuh demonstran dalam jarak dekat, Hong Kong pun berubah menjadi kota dengan polisi yang bertindak semena-mena, dua peristiwa yakni 21 Juli dan 31 Agustus adalah tragedi yang menggemparkan masyarakat internasional.

Peristiwa Yuen Long pada 21 Juli 2019, 200 orang berbaju putih membawa tongkat memukuli semua warga yang berada di dalam stasiun KA bawah tanah, banyak warga menelepon polisi melaporkan kejadian namun pihak polisi tidak merespon, bahkan ada warga yang menelepon polisi tapi telepon ditutup oleh polisi. Setelah kejadian banyak rekaman video di lokasi kejadian beredar, membuktikan polisi Hong Kong datang terlambat dan pelaku berbaju putih bebas melakukan aksi anarkis dan dibiarkan kabur, polisi dicurigai sengaja melindungi pelaku yang diduga kaum triad, bahkan kondisi pada saat itu adalah “polisi dan triad bekerjasama”. Ada warga yang diwawancarai terkait serangan 21 Juli itu mengatakan, “Yang paling mengerikan bukan triad, tapi adalah tidak adanya polisi di Yuen Long.”

Peristiwa di stasiun Prince Edward pada 31 Agustus 2019, rekaman video yang beredar di sini bahkan lebih mengejutkan, polisi seakan telah kerasukan melakukan kekerasan seperti hewan liar, menerjang ke dalam gerbong KA dan memukuli semua penumpang di dalamnya, bahkan dicurigai polisi “telah menganiaya hingga tewas”, lalu melakukan “pelenyapan mayat”, warga menuntut pihak stasiun mempublikasikan rekaman kamera CCTV di stasiun KA Prince Edward namun ditolak, sebagian rekaman dari CCTV lenyap secara misterius. Korban yang selamat di malam itu dari “gerbong pembantaian” tersebut mengatakan: “Jika tetap tinggal di dalam sana pasti mati”.

Tidak hanya peristiwa 21 Juli dan 31 Agustus, sejak aksi menentang UU ekstradisi, tindakan buruk polisi Hong Kong acap kali bermunculan, polisi Hong Kong telah berubah menjadi seperti anggota keamanan publik RRT. Fakta membuktikan, polisi Hong Kong telah “dinobatkan” sebagai “tokoh dunia” di tahun 2019 versi surat kabar Global Times milik PKT.

Pada 24 Mei lalu, terjadi sebuah tragedi di Zambia, Afrika, 3 orang warga RRT dirampok oleh warga setempat lalu dibunuh kemudian mayatnya dibakar untuk menghilangkan jejak. Surat kabar Global Times seolah tidak tahu menahu akan hal ini. Pada 25 Mei lalu di Negara Bagian Minnesota terjadi kasus kematian etnis Afrika AS yang memicu unjuk rasa di berbagai negara bagian lainnya, surat kabar Global Times langsung memprovokasi yang tak lain bertujuan dengan “propaganda besar dalam negeri” menyulut kebencian warganya, menjelekkan polisi Amerika dan demonstran Hong Kong, membenarkan aksi anarkis polisi Hong Kong dalam unjuk rasa anti UU ekstradisi.

Di seluruh dunia terdapat polisi brutal maupun polisi yang bekerjasama dengan gangster, di Amerika tentu saja juga ada. Polisi AS jika salah saat menegakkan hukum bahkan menembak sembarangan, pejabat administratif terkait akan meminta maaf secara terbuka, departemen terkait akan langsung melakukan investigasi, media massa AS juga akan terus mengikuti bergulirnya peristiwa dan memberitakannya, di internet tidak ada penjagaan stabilitas, tidak ada penyensoran.

Ada kejadian polisi AS yang berlutut di jalan sebagai permintaan maaf atas tragedi yang diakibatkan oleh rekannya, memohon warga agar meredam amarah. Melihat kembali bagaimana polisi Hong Kong memukuli warga unjuk rasa anti-UU ekstradisi, seorang inspektur kepala mengacungkan dua jari tengahnya terhadap massa di depan kamera; saat warga Hong Kong berkabung bagi mahasiswa bernama Chow Tse-Lok yang berusia 22 tahun, ada polisi yang dengan bersemangat mendukung penindasan sambil mengatakan: “Hari ini saya membuka sebotol sampanye untuk merayakannya, selamat!”

Dalam kasus kematian etnis Afrika di Minnesota kali ini, 4 orang polisi semua digugat menghadapi peradilan, polisi pelaku utama yang menekan leher dengan lutut digugat dengan pembunuhan tingkat dua, dapat dipenjara maksimal 40 tahun. Kekerasan semena-mena polisi Hong Kong terhadap massa anti UU ekstradisi, setidaknya 3 mata telah mengalami kebutaan permanen, satu ginjal satu liver dan satu paru-paru telah ditembus peluru, salah satu peluru bersarang hanya 3 cm dari jantung. Hingga kini peristiwa 21 Juli dan 31 Agustus telah berlalu hampir setahun lamanya, pemerintah yang menyelidikinya sama sekali tidak ada kemajuan, termasuk peristiwa pelecehan seksual terhadap tahanan wanita maupun pria yang ditahan di Penjara San Uk Ling, sampai sekarang tidak ada fakta yang diungkap, terlebih lagi tidak ada satu pun polisi yang dihukum.

Di seluruh dunia termasuk AS terdapat polisi yang melampaui batas saat menegakkan hukum, bukan alasan pembenar bagi polisi Hong Kong untuk melakukan kekerasan. Jika berdasarkan logika propaganda PKT, bahwa polisi AS bisa anarkis, dan polisi Hong Kong bisa melepaskan tembakan, maka jika AS demokratis, Hong Kong juga harus demokratis; jika AS bisa membahas masalah diskriminasi suku dan ras, maka Tiongkok juga harus membahas masalah tragedi Tiananmen 4 Juni, dan bukan setelah 30 tahun masih selalu menjadi topik terlarang di RRT, menghapus dan membatasi segala informasi terkait termasuk kegiatan peringatannya, ibu dari para korban Tiananmen bahkan harus diawasi keamanan publik jika ingin berziarah di makam. Walaupun PKT secara ketat mengendalikan sistem propaganda, membuat opini di internet dalam negeri semuanya seragam sesuai partai, namun pasti akan ada suatu saat dimana kesadaran itu akan timbul.

Sebenarnya, setiap tahun tanggal 4 Juni, warganet yang tahu akan fakta peristiwa Tiananmen 1989, akan mulai melakukan “ritual internet” mereka setahun sekali, selain untuk memperingati peristiwa tersebut, juga sebagai tantangan; mereka menciptakan berbagai homofonik, simbol, dan tanda untuk mewakili “hari yang tidak boleh diungkit-ungkit ini”; mereka juga mengerti ciptaan ini pasti akan dihapus/disensor, bahkan mungkin dapat mengancam keselamatan, tapi tetap disebarluaskan, jika dikatakan mereka ingin bersuara di balik tembok ini dapat terdengar oleh seluruh dunia, mungkin lebih tepat dikatakan mereka ingin melontarkan sinyal kepada kediktatoran PKT satu partai itu, bahwa mereka tidak percaya pada sejarah Tiananmen versi PKT.

PKT sekarang mengingkari janjinya pada warga Hong Kong bahwa satu negara dua sistem tidak akan berubah selama 50 tahun, maka diterapkanlah “UU ekstradisi” dan “UU Keamanan Nasional versi Hong Kong”, memfitnah warga Hong Kong yang berunjuk rasa sebagai perusuh. Ada warganet menyesali, “Sejak Juni 2019, setiap hari adalah 4 Juni”.

Kini tidak hanya peristiwa 4 Juni 1989, juga 21 Juli dan 31 Agustus 2019 dalam unjuk rasa anti-UU ekstradisi, membuat warga Hong Kong tidak bisa melupakannya seumur hidup. Saat Hong Kong berjuang menuntut hak kebebasan di Hong Kong dan menuntut PKT mewujudkan janji satu negara dua sistem, masyarakat dunia bebas juga berdiri bersama warga Hong Kong. (et/sud/sun)

0 comments