Waspadai Serangan Militer PKT terhadap Taiwan


Senin (8/6) lalu pukul 11.30 siang waktu setempat, USS Nimitz (CVN-68) meninggalkan pelabuhan induk San Diego,
akan ditempatkan di barat Samudera Pasifik.

Kegilaan terakhir dalam upaya membela diri

LI MINGYANG

Perang Dagang AS-RRT, merebaknya virus PKT (virus corona wuhan), penerapan paksa UU Keamanan Nasional versi Hong Kong. PKT telah terjebak di jalan buntu yang belum pernah dialami sebelumnya, akankah RRT menyerang Taiwan secara militer, mengalihkan perhatian dan memprovokasi sikap nasionalisme, demi melindungi partai dan kekuasaan di tangan? Bagi PKT, kemungkinan seperti itu pasti ada, metode pemikirannya selama ini selalu jauh melampaui bayangan manusia normal, dan tidak mampu dinalar secara rasional.

Seiring dengan semakin besarnya tekanan diplomatik maupun dalam negeri yang dihadapi PKT, kemungkinan ini juga semakin besar. Dalam laporan kerja Li Keqiang tahun ini tidak disebutkan soal “perdamaian” hanya disebutkan soal “pemersatuan”, PKT menerapkan secara paksa UU Keamanan Nasional di Hong Kong berarti telah merobek jubah “satu negara dua sistem” (janji PKT kepada Taiwan), adalah orientasi pergerakan yang patut untuk disoroti.

Penguasa Totaliter Doyan Perang

Mengalihkan krisis kekuasaan dengan peperangan tidak jarang ditemui, bagi penguasa diktator maupun totaliter hal ini bahkan sangat lumrah, Perang Malvinas antara Argentina dengan Inggris (pihak Inggris menyebutnya Kepulauan Falkland) dan Irak menginvasi Kuwait, adalah contoh kasus yang sangat baik.

Perang Malvinas pada 1982, dianggap sebagai tindakan peguasa militer Argentina mengalihkan perhatian dan meredakan krisis kekuasaannya. Pada 1976 setelah pemerintahan militer Argentina berkuasa, legalitasnya terus dipertanyakan, ekonomi dalam negeri tidak membaik. Sejak 1979 hingga 1981 hanya dalam 3 tahun, utang luar negeri Argentina meningkat tiga kali lipat, mencapai USD 25,3 miliar, pelemahan nilai tukar mata uang Peso Argentina mencapai 600%, nilai PDB anjlok 11,4%, rata-rata upah minimum pekerja turun 19,2%. Bisa dibayangkan bagaimana rasa tidak puas rakyat terhadap pemerintahan militer, untuk menghadapi krisis ekonomi yang parah serta gerakan anti pemerintah yang masif, pemerintah militer Argentina memanfaatkan sengketa wilayah yang sudah terjadi sejak lama, maka pada 1 April 1982 mengirim pasukan menduduki Pulau Malvinas (Kepulauan Falkland).

Pada 1990 saat Irak menginvasi Kuwait, Saddam juga mengalami krisis serupa: Setelah 8 tahun berperang dengan Iran, kas negara Irak mengalami kekosongan, rakyat hidup menderita, ditambah lagi dengan utang asing sebesar USD 60 miliar, dan USD 14 miliar di antaranya adalah utang kepada Kuwait untuk mendanai perang, tuntutan Irak agar Kuwait menghapus utangnya ditolak oleh Kuwait. Selain itu, Irak berniat membatasi produksi minyak bumi untuk menaikkan harga minyak bumi untuk membayar utang asing, juga gagal karena permintaan tersebut ditolak Kuwait. Tariq Aziz yang pernah menjabat sebagai wakil PM Irak pernah mengatakan, “Jika harga setiap barel minyak mentah turun 1 dollar AS saja, maka akan berakibat pendapatan tahunan Irak dari minyak bumi turun sebesar USD 1 miliar, yang akan menimbulkan krisis keuangan yang parah di Baghdad.”

Tentu saja perang juga ditimbulkan faktor lain, seperti Irak mengincar pelabuhan dengan letak strategis yang dikuasai oleh Kuwait, tapi secara adil harus dikatakan, krisis keuangan dan kekuasaan adalah faktor terpenting Saddam mengambil keputusan menginvasi Kuwait.

Sama sekali bukan kebetulan bahwa kedua pemerintahan yang mengobarkan perang ini adalah pemerintah diktator atau totaliter, yang pada dasarnya minim akan legalitas kekuasaannya, mengandalkan kekerasan merebut dan mempertahankan kekuasaan, di hadapan krisis yang tak mampu diselesaikan, berpegang pada takhayul kekerasan dan kegilaan mempertahankan kekuasaan sampai mati, maka dikobarkanlah peperangan.

Metode pemikiran ini bukankah hampir serupa dengan PKT sekarang ini? Untuk mempertahankan kekuasaannya, selama ini PKT “selalu menghalalkan segala cara”. Merampas kekuasaan 70 tahun, berbagai tindakan bertentangan yang dilakukan PKT telah menempatkannya ke jalan buntu. Korupsi kian menjadi, kekayaan terpusat pada segelintir orang, kesenjangan kaya miskin begitu parah. Keluhan rakyat semakin menggelora, “menambal mulut rakyat lebih sulit daripada menambal tanggul”, biaya untuk menjaga stabilitas telah melampaui anggaran militer yang besar.

Ekonomi RRT pada dasarnya terus merosot secara jangka panjang, krisis lapangan kerja, gelembung properti, krisis kredit daerah, krisis moneter, krisis pangan… Semuanya ibarat ranjau, sedikit percikan saja akan meledakkan seluruhnya; dan perang dagang AS-RRT dan menyebarnya virus PKT di seluruh dunia semakin memperburuk situasi, investor asing ramai-ramai hengkang, pesanan dibatalkan, pabrik ditutup; terhadap PKT menutupi pandemi, setiap negara pun menuntut tanggung jawab dan ganti rugi yang mengakibatkan Beijing menjadi pasif dalam hal politik dan diplomatik; UU Keamanan Nasional dipaksakan penerapannya di Hong Kong yang kembali memicu kecaman di seluruh dunia, dan AS lebih dulu memberikan sanksi, akibat yang ditimbulkannya akan sulit diperkirakan; konflik internal PKT tak bisa reda, suara anti-Xi juga terus mencuat ke permukaan.

PKT Telah Menapak Jalan Tidak Bisa Berbalik Arah

Berbagai permasalahan PKT telah berurat akar, sulit untuk diperbaiki. PKT sendiri juga sangat memahami, segala tindakan hanya sekedar menunda kehancuran yang akan tiba pada akhirnya. Mengapa Xi Jinping menekankan “pemikiran paling mendasar”? Apakah berarti telah mempersiapkan diri untuk memutus hubungan dengan internasional dan “hidup mandiri”? Pada 2018 kantor berita Xinhua menyatakan PKT telah mengaktifkan lebih dari 10.000 unit koperasi untuk membangun kembali kelas bawah, jumlah totalnya lebih dari 30.000 unit, rasio cakupan desa dan kota telah mencapai 95%, apakah ini menata jalan kembali ke program “ekonomi terencana”?

Begitu perang dimulai, dikhawatirkan akan diterapkan penjatahan masa perang, segala konflik akan tertutupi, seluruh perhatian rakyat akan teralihkan, PKT akan melenggang kembali menjadi “pahlawan” yang memimpin misi pemersatuan, mengapa hal menggembirakan ini tidak mau dilakukan? Sedangkan ekonomi, sekalipun tidak berperang pun sudah sekarat, begitu perang berkobar, kemungkinan terburuk adalah kembali menapak jalan lama “ekonomi terencana”, bahkan mungkin masih bisa bertahan beberapa tahun lagi. Inilah langkah yang diperhitungkan oleh PKT saat ini.

Faktor Pribadi Xi Jinping

Berbeda dengan beberapa pemimpin PKT sebelumnya, dalam hal menyatukan Taiwan Xi Jinping sepertinya sangat “ngotot”, mari kita simak dua kalimat yang diutarakannya dalam pidatonya pada peringatan 40 tahun “Surat Tuntutan Terhadap Taiwan”:

Pertama, “tanah air harus disatukan, dan pasti akan bersatu”, ini adalah “tuntutan pasti kebangkitan bangsa Tionghoa yang agung di era modern”. “Pasti akan bersatu” dan “tuntutan pasti”, dari sini bisa dilihat sikap tegas Xi Jinping terhadap masalah pemersatuan kedua daratan, tidak memberikan toleransi apa pun, baik dengan cara damai maupun dengan cara tidak damai.

Kedua, “masalah politik antar kedua daratan yang telah eksis sejak lama adalah akar utama yang berdampak pada stabilitas hubungan kedua daratan, tentu tidak bisa diwariskan generasi demi generasi”. Sebenarnya pada Oktober 2013 silam saat di Indonesia Xi Jinping menemui Siew Wan-Chang (mantan Wakil Ketua Nasionalis Kuo Min Tang sekaligus juga menjabat sebagai wakil bagi Presiden Ma Ying-Jeou), sudah pernah diungkapkan perihal ini, perselisihan politik “tidak bisa diwariskan generasi ke generasi”. Betapa Xi Jinping sejak lama telah mempertimbangkan soal Taiwan, dan tidak ingin diserahkan kepada generasi berikutnya.

Pada 28 Maret 2014, dalam pidatonya di Jerman Xi mengatakan, Tiongkok “pada pertengahan abad ini membangun negara sosialisme modern yang kaya, kuat serta demokratis harmonis dan beradab. Kami telah memvisualisasikan sasaran ini sebagai Impian TIongkok untuk mewujudkan kebangkitan bangsa Tionghoa yang agung.” Hal ini sejalan dengan dua kali 100 tahun yang dikemukakan Xi, pertengahan abad ini adalah 100 tahun PKT mencuri kekuasaan (tahun 2049, satu lagi adalah 100 tahun pendirian partai komunis). Digabungkan dengan “tuntutan pasti kebangkitan bangsa Tionghoa yang agung” di atas bukankah pemersatuan telah dijadwalkan? Jika merupakan “tuntutan pasti”, maka jika tidak bersatu bagaimana bisa dikatakan “kebangkitan yang agung”? Tapi Xi Jinping yang lahir pada 1953 sampai 2049 sudah hampir berusia 100 tahun, masih dapatkah ia menunggu selama itu?

Ada analisa yang menyebutkan, Xi Jinping mengharapkan melakukan “jasa” yang besar, agar tercatat dalam sejarah, ini sangat beralasan. Karena beberapa orang pemimpin PKT sebelumnya, Deng Xiaoping melakukan “reformasi keterbukaan” dan mengutarakan “satu negara dua sistem”, Jiang Zemin saat berkuasa secara resmi menerima kembali Hong Kong dan Macau, Hu Jintao saat berkuasa melangsungkan Pesta Olimpiade, yang bagi PKT dan bagi Xi Jinping adalah “prestasi besar” yang layak dicatat dalam buku sejarah, sedangkan ia belum memiliki prestasi besar seperti itu, satu-satunya hal yang bisa dilakukannya adalah menyatukan Taiwan agar bisa membuat dirinya tercatat harum di dalam buku sejarah.

Kesimpulan

Sampai kapan pun PKT tidak akan pernah berinisiatif melepaskan kekuasaan dan kepentingannya, walau harus dengan menyandera seluruh rakyat Tiongkok untuk terjun ke dalam peperangan sekali pun. Setelah memahami karakteristik asli PKT ini, maka akan bisa melihat kemungkinan PKT menyerang Taiwan secara militer tidak bisa diabaikan begitu saja.

Setelah bertahun-tahun menginvestasikan dana besar dalam anggaran militer, PKT sekarang sudah bukan seperti dulu, PKT berambisi “enam jenis pertempuran, direbut dalam tiga hari”, merebut Taiwan dengan cepat sebelum campur tangan AS tiba; dan masih berangan-angan seperti “Tiananmen 4 Juni”, seluruh dunia hanya bisa menerima realita yang sudah terlanjur terjadi, beberapa tahun kemudian setiap negara akan melupakan pembantaian berdarah itu, lalu kembali berbisnis lagi dengan PKT. Sayang, manusia hanya bisa merencanakan tapi Tuhanlah yang menentukan. Seperti dua ajang pertempuran yang disebutkan artikel sebelumnya, pemerintahan militer Argentina dan Saddam juga berangan-angan perang akan mengalihkan krisis politik dan memperpanjang usia kekuasaannya, tapi tak disangka akibatnya justru semakin mempercepat kehancuran dirinya sendiri. (et/lie)

0 comments