Para Pekerja Migran Tiongkok Protes Atas Upah yang Belum Dibayar Meningkat Selama Tahun Baru Imlek

Pekerja migran mencari kesempatan kerja di sepanjang pinggir jalan di Shenyang, Provinsi Liaoning, Tiongkok. (Cina Photos / Getty Images)

ALEX WU

Di tengah liburan Tahun Baru Imlek, para pekerja migran di Tiongkok Daratan semakin bertambah frustrasi. Dikarenakan upah yang belum dibayar. Pada akhir tahun 2020, rezim Tiongkok berjanji untuk melunasi semua upah yang belum dibayar kepada pekerja migran — tetapi tampaknya bukan itu masalahnya. Dilansir dari media The Epoch Times mengatakan bahwa, ada seorang pekerja migran yang mengatakan, akar permasalahannya adalah rezim Komunis Tiongkok dan taktik-taktik penipuannya.

Sebelum Tahun Baru Imlek yang jatuh pada (12/2/2021), media Tiongkok melaporkan serangkaian kejahatan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pekerja migran atas upah yang belum dibayar.

Pada malam Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 11 Februari, ada insiden keluarga dibunuh di kota Baotai, kabupaten Ping Yi di Provinsi Shandong. Seorang penduduk desa setempat bermarga Liu, membunuh keluarga yang beranggotakan enam orang dalam upaya untuk mendapatkan 6.000 yuan dari upah yang diutang keluarga tersebut pada dirinya. Liu kemudian bunuh diri setelah melakukan kejahatan tersebut.

Pada 9 Februari, seorang penduduk desa bermarga He, yang merupakan pekerja semen di daerah Chenxi, kota Huaihua di Provinsi Hunan, menyerang istri dan putra sang kontraktor yang berutang upah padanya dengan menggunakan palu.

Istri dan putra sang kontraktor terluka parah. He kemudian membunuh dua orang cucu sang kontraktor yang masih kecil. Kontraktor tersebut dilaporkan berutang upah kepada He lebih dari 10.000 yuan. He kemudian ditangkap oleh polisi setempat.

Pada 5 Februari, sebuah video beredar di media sosial yang menampilkan seorang seniman bernama She Jiuwen dari Provinsi Hunan, yang mengeluh tidak dapat pulang kampung untuk liburan. Itu dikarenakan ia tidak mempunyai cukup uang untuk membayar perjalanan karena upah yang belum dibayar. Seniman itu ditugaskan untuk mengerjakan lukisan-lukisan untuk Chenzhou Dragon Lady Temple.

“Saya pergi ke semua kantor-kantor pemerintah yang dapat saya mintai bantuan, biro tenaga kerja, biro agama, kantor jalanan, pemerintah kota, tetapi kini tidak ada yang peduli akan masalah ini. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya sangat sedih. Saya berniat untuk mengakhiri hidup saya. Saya merasa dunia ini sangat tidak adil,” kata sang seniman.

Segera setelah itu, sang seniman bunuh diri dan berita bunuh dirinya menyebar di media sosial Tiongkok.

Seorang pria pekerja migran dari Provinsi Hubei bermarga Cai, baru-baru ini memastikan The Epoch Times apakah video tersebut adalah asli dan diambil sebelum sang seniman meninggal dunia.

Pekerja itu berkata bahwa ada dua kasus bunuh diri serupa yang dilaporkan beberapa hari sebelumnya. Ia yakin akan ada lebih banyak kasus tindakan ekstrim, karena upah yang belum dibayar, dan sumber masalah tersebut terletak pada rezim Tiongkok.

Pemerintah Tiongkok Berutang Sebagian Besar Upah

Cai mengungkapkan, sebagian besar upah yang belum dibayar berasal dari proyek-proyek pemerintah Tiongkok. Biasanya para kontraktor harus mempekerjakan para pekerja secara langsung, dan jika para kontraktor tidak menepati janjinya, maka sulit bagi para kontraktor untuk mempekerjakan kembali para pekerja migran. Jadi, pada dasarnya para kontraktor tidak berani menunda pembayaran para pekerja. Akan tetapi, laporan-laporan resmi sering mengatakan upah-upah yang belum dibayar, dikarenakan perselisihan ekonomi antara para kontraktor dengan para subkontraktor.”

Menurut sebuah laporan portal berita Tiongkok Sohu pada (5/2/2021) seorang kontraktor di kota Hezuo, Provinsi Gansu, naik ke sebuah crane boom setinggi 50 meter di sebuah lokasi konstruksi untuk menuntut bayaran. Kontraktor tersebut mengancam akan bunuh diri dengan melompat dari crane boom tersebut. Pada akhirnya, meskipun sang kontraktor berhasil mendapatkan bayaran, ia ditahan selama 10 hari oleh polisi setempat karena “dengan maksud jahat menuntut bayaran.”

Pemberitahuan resmi polisi menyatakan bahwa, tidak ada toleransi untuk “menuntut bayaran dengan maksud jahat,” menurut laporan itu. Retorika resmi tersebut memicu reaksi balik di kalangan netizen. “Adalah dibenarkan untuk menagih utang,” kata para netizen di media sosial Tiongkok.

Kemudian, seorang pejabat di Provinsi Gansu, mengeluarkan sebuah pernyataan publik, mengatakan bahwa laporan polisi tersebut menggunakan istilah tersebut secara tidak benar.

Cai mengatakan, kejadian crane boom di Provinsi Gansu, Tiongkok, mencerminkan situasi saat ini.

“Pikirkanlah, sang kontraktor harus mengancam untuk melompat dari crane boom untuk menuntut bayaran…pemerintah yang mengontrak kontraktor untuk pekerjaan tidak dibayar, sehingga kontraktor tidak mampu membayar buruh migran. Akar penyebabnya adalah pemerintah.”

Dilansir dari The Epoch Times, kasus serupa dilaporkan pada bulan lalu. Pada 8 Januari, seorang kontraktor bermarga Liang dan pemilik sebuah crane di lokasi konstruksi Bandara Fumian di Yulin, Guangxi, bersama dengan pekerja migran lainnya, mengadakan protes, menuntut lebih dari 30.000 yuan sebagai upah-upah yang belum dibayar. Lokasi konstruksi adalah milik negara yaitu China First Metallurgical Group Co. 

Keesokan harinya, setelah China First Metallurgical Group Co. membayar Liang, polisi setempat menciduk Liang. Kemudian Liang dibebaskan setelah ditahan selama lima hari, karena “mengganggu ketertiban di sebuah unit kerja,” menurut sumber media Tiongkok.

Rezim Tiongkok Tidak Dapat Dipercaya

Masalah pekerja migran Tiongkok yang tidak mendapatkan upahnya, adalah sudah lazim di Tiongkok selama beberapa dekade. Insiden itu telah menarik perhatian media internasional selama bertahun-tahun.

Cai mengatakan bahwa, beberapa orang bertindak ekstrem untuk melindungi hak-haknya, karena tidak ada cara lain untuk mereka untuk bertahan hidup.

“Saya juga adalah seorang pekerja migran, dan sampai hari ini saya hanya berhasil mendapat kurang dari setengah gaji yang mereka utang kepada saya. Ini adalah amat sangat sulit.”

Rezim Komunis Tiongkok secara resmi mengumumkan pada tahun 2020, bahwa rezim Tiongkok akan melunasi semua gaji yang belum dibayar, menyatakan bahwa itu adalah sebuah komitmen yang sungguh-sungguh kepada para pekerja migran. Laporan-laporan media tidak menentukan, berapa banyak gaji yang harus dibayar oleh rezim Tiongkok.

Menurut media Tiongkok, pada akhir Januari 2019, utang gaji sekitar 820 juta yuan kepada pekerja migran oleh departemen-departemen pemerintah pusat dan Kementerian Keuangan diklaim sudah dilunasi.

Cai mengatakan bahwa, pemerintah Tiongkok membuat banyak janji, tetapi itu adalah semua bohong.

“Kami semua setuju secara lisan [untuk bekerja dan dibayar], tanpa sebuah kontrak, yang tidak seperti di masyarakat Barat,” kata Cai, menambahkan bahwa, sistem pendaftaran rumah tangga perkotaan-pedesaan Tiongkok, adalah tindakan diskriminatif terhadap pekerja migran.

Rezim Tiongkok mengklasifikasikan semua orang di Tiongkok Daratan menjadi dua jenis pendaftaran rumah tangga: perkotaan dan pedesaan, yang memiliki hak dan manfaat yang tidak merata.

Orang-orang dibatasi oleh pendaftaran rumah tangganya dan tidak dapat bergerak bebas, dan kesejahteraan sosial yang mereka peroleh didasarkan di tempat mereka terdaftar. Misalnya pekerja migran dan anak-anaknya yang berasal dari pedesaan, tidak diberi hak untuk bersekolah, menerima perawatan medis, perlindungan tenaga kerja, dan pensiun di kota-kota.

Cai berkata, “Hukum (Partai Komunis Tiongkok) ditetapkan dengan sangat baik, seperti berapa jam sehari dan berapa hari dalam sebulan seseorang bekerja. Tetapi adalah berbeda bagi orang-orang yang berada di dalam dan di luar sistem [pemerintah], dan adalah berbeda bagi orang-orang yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan. Anggota Partai Komunis Tiongkok dalam sistem tersebut bekerja delapan jam sehari dan lima hari seminggu. Tetapi, hal-hal untuk orang-orang yang berada di luar sistem tersebut adalah berbeda. Misalnya, karyawan bergaji tinggi di perusahaan teknologi adalah ‘996’ (bekerja dari pukul 09.00 sampai pukul 21.00 selama enam hari dalam seminggu); sedangkan sebagian besar pekerja migran adalah bekerja selama 9 jam sehari, hanya dibayar bekerja selama 8 jam. Sebagian besar adalah seperti ini, termasuk proyek-proyek pemerintah.” (et/Vv/sun)

0 comments