Suatu Perang yang Tidak Ditentukan Oleh Ukraina

Serangan artileri terus menerus Rusia di Ukraina telah menimbulkan ketidakpuasan di pihak Eropa, Amerika Serikat dan sekutunya, serta mengadopsi sanksi berat yang mengecualikan bank-bank besar Rusia dari sistem penyelesaian SWIFT. Gambar menunjukkan kerusakan di lantai atas sebuah bangunan di Kyiv setelah terkena roket Rusia pada 26 Februari 2022. (DANIEL LEAL/AFP via Getty Images)


HE QINGLIAN 

Perang Rusia-Ukraina masih berlangsung, dan yang hendak dilakukan Rusia adalah melakukan perang terbatas. Sasarannya sangat jelas, yakni menuntut Ukraina tetap bersikap netral, dan setelah situasi terkendali kemungkinan besar Rusia akan mendukung sebuah pemerintahan baru Ukraina yang pro-Rusia untuk menggantikan pemerintahan sekarang. Pada 25 Februari lalu Presiden Ukraina mengemukakan permintaan negosiasi dengan syarat Ukraina tetap bersikap netral, yang mana sesuai permintaan Rusia; namun AS dan Eropa kembali menyatakan Rusia bersiap menguasai Ukraina sepenuhnya, dan mereka sama sekali tidak tertarik dengan negosiasi, selain tidak mengirim pasukan secara langsung, akan memberikan dukungan menyeluruh bagi Ukraina, serta berharap Ukraina dapat terus melawan Rusia dalam jangka waktu panjang. Presiden Ukraina akhirnya juga menyadari, walaupun negaranya adalah salah satu penyebab meletusnya peperangan, namun kekuasaan penentuan tidak berada di tangannya.

Rusia Terus Bersiap Membangkitkan Kembali Kehormatan Soviet

Setelah Uni Soviet runtuh, tak lama setelah warga Rusia bersorak atas demokratisasi, dengan cepat mereka kembali merasa kehilangan dengan tidak adanya lagi kejayaan Uni Soviet, sejak awal Putin telah berupaya merebut kembali sebagian dari pengaruh di era Uni Soviet serta wilayah yang dimiliki atau dikendalikan oleh Uni Soviet sebelumnya. Sejak meletusnya krisis Krimea pada 2014 silam, proses ini terus bergulir cepat.

Kali ini keunikan dari perang Rusia-Ukraina adalah: Dilihat dari pihak Rusia yang mengobarkan perang, ini adalah suatu ajang perang terbatas yang telah diperhitungkan cermat dari berbagai aspek serta telah dipilih momentumnya secara tepat, serta dengan mengumumkan sasarannya secara bertahap; dilihat dari pihak Ukraina yang bertahan, negara yang mendukungnya mencapai puluhan negara, dengan persiapan opini yang makan waktu paling panjang, frekuensi persiapan yang paling banyak, tapi sesungguhnya justru merupakan suatu ajang perang yang paling tidak dipersiapkan dengan baik.

Selama lebih 20 tahun Putin berkuasa, akhirnya telah tiba waktu yang terbaik yang dinantikannya selama ini: pertama, baik AS maupun Eropa, sedang berada pada jalur merosotnya kekuatan negaranya. Kemunduran Eropa telah mencapai belasan tahun lamanya, dampak jangka panjang dan pukulan akibat arus pengungsi pada 2015 terhadap Eropa, telah dibuktikan oleh seorang penulis sekaligus kritikus Inggris yakni Douglas Murray dalam bukunya yang berjudul “The Strange Death of Europe: Immigrations, Identity, and Islam”.

Dan terhadap kondisi di AS, sejak Putin berpidato pada acara tahunan yang diadakan Valdai Discussion Club pada 21 Oktober 2021 lalu --- yakni yang disebut “Valdai Speech of Vladimir Putin”, konten pidato tersebut telah melontarkan kritik yang singkat padat dan berbobot terhadap kaum “progresivisme” dan ideologi sayap kiri di Barat. Jika dikatakan “Timur bangkit Barat Runtuh” dari Xi Jinping adalah semacam generalisasi, maka “Valdai Speech of Vladimir Putin” menunjukkan, betapa dia sangat memahami hingga demikian rinci akan kemerosotan yang sedang dialami oleh Barat.

Perang yang dikobarkan terhadap Ukraina, adalah sebuah aksi yang sudah lama direncanakan oleh Putin. Agresi militer kali ini, selain berdasarkan pada pemahamannya terhadap kekuatan militer Ukraina, juga berlandaskan pada satu penilaiannya: Yakni NATO dan AS tidak akan campur tangan dalam perang Rusia-Ukraina. Selain dari pernyataan sikap yang terus menerus oleh berbagai negara Uni Eropa dan pemerintah Biden di AS, ada satu lagi faktor penting yang membantu penilaiannya itu: surat kabar “New York Times” pada 25 Februari lalu memberitakan, menurut penuturan pejabat AS, selama tiga bulan terakhir, pejabat tinggi pemerintahan Biden dan pejabat tinggi Tiongkok telah mengadakan enam kali pertemuan darurat. Di dalam pertemuan tersebut AS membeberkan data intelijen yang menunjukkan Rusia tengah mengepung Ukraina dengan mengonsentrasikan pasukannya, dan memohon pada pihak Tiongkok agar membujuk Rusia untuk tidak melakukan agresi. RRT yang tidak terlalu memahami perilaku “nyeleneh” AS itu, dan jika ditelaah dari situasi saat ini, seandainya Tiongkok menyampaikan sepenuhnya maksud AS tersebut kepada Putin, hal itu hanya akan semakin memperkuat satu keyakinan Putin, yaitu AS dipastikan tidak akan campur tangan secara militer.

Sedangkan mengenai alasan AS mengapa meminta pertolongan Tiongkok selaku teman sekutu Rusia untuk menjadi juru bicaranya, sepertinya motivasi di baliknya agak rumit, tapi pasti bukan suatu kebodohan.

Negara Barat Telah Kecewakan Ukraina

Pihak Ukraina tentu saja sangat bisa merasakan ancaman militer Rusia, tapi penilaian Ukraina dalam hal apakah pihak Barat akan campur tangan, justru kebalikan dari Putin. Walaupun Jerman dan Prancis secara tegas menolak Ukraina bergabung dalam NATO, tapi Ukraina masih sangat berharap.

Dari pertimbangan geopolitik, Ukraina merupakan kawasan penyangga atau buffer zone, negara yang berada di kawasan semacam ini akan memilih untuk bersikap netral, jika dimainkan secara efektif, akan menjadi kartu as politik untuk menyeimbangkan hubungan antara kedua sisi. Tapi hubungan Ukraina-Rusia selama lebih dari tiga abad terakhir telah dipenuhi dengan dendam kesumat, ditambah lagi peristiwa Krimea 2014 semakin memperdalam kebencian Ukraina terhadap Rusia dan Putin, oleh sebab itu mereka berupaya mendekat dengan Uni Eropa, berharap dapat bergabung dengan Uni Eropa dan menjadi negara anggota NATO, demi mendapatkan perlindungan dari Uni Eropa. Dari sudut pandang rakyat Ukraina, karena Ukraina merupakan negara termiskin di Eropa Timur, setelah bergabung dengan Uni Eropa, maka warga Ukraina akan mendapat bonus berupa kemudahan bebas keluar masuk di berbagai negara Uni Eropa untuk mendapatkan pekerjaan. Orang yang pernah berinteraksi dengan orang Ukraina pasti tahu, begitu bicara soal sikap netral antara Rusia dengan Eropa, hampir dipastikan akan selalu menuai suara tentangan yang sengit. Pemerintah Ukraina adalah pemerintah pilihan rakyat, kebijakan luar negerinya tentu harus sesuai dengan aspirasi rakyatnya, jika tidak, maka pasti akan mendapat kritikan pro-Rusia dan kehilangan kewibawaan politiknya.

Perhitungan Untung-Rugi Masing-masing Pihak

Perang kali ini melibatkan tiga pihak, yakni: Ukraina, Rusia, Uni Eropa bersama AS.

Tujuan Rusia disebutkan dengan sangat jelas, yakni: Menuntut Ukraina bersikap netral, dan tidak memberi izin kepada negara mana pun untuk menempatkan pasukannya di Ukraina, tujuannya adalah menghentikan ekspansi NATO ke timur (yang sudah lima kali ekspansi ke timur). Kepentingannya dalam hal ini, pikirkan saja alasan Presiden AS John F. Kennedy tidak segan-segan mengobarkan perang untuk tidak membiarkan Uni Soviet menempatkan rudalnya di Kuba, maka akan dapat dipahami: Siapa yang mau pintu rumahnya dibidik dengan meriam besar oleh pihak lain?

Berbagai negara Eropa berharap antara pihaknya dengan Rusia terdapat sebuah batas penghalang, untuk meredakan tekanan, Ukraina berinisiatif mengubah sikap netralnya, tentu saja hal ini yang paling diharapkan oleh Uni Eropa. Uni Eropa telah bertekad: begitu Rusia merebut Ukraina, maka krisis pasti akan beralih pada keamanan tiga negara Baltik. Karena negara Baltik dan Polandia telah membentuk sayap strategis timur yang sensitif bagi NATO. Keterlibatan militer NATO di kawasan tersebut, adalah salah satu fokus utama persengketaan Rusia dengan NATO, Putin menentang NATO ekspansi ke timur dengan negara yang berbatasan wilayah langsung dengan Rusia, serta menuntut agar NATO mempertimbangkan kembali penempatan pasukannya di kawasan tersebut. Dilihat dari kondisi saat ini, itu akan membuat Putin terjebak dalam perang rakyat dalam skala besar, juga dapat memicu kemarahan dunia terhadap Rusia, sekaligus mengikis kekuatan negara Rusia, tapi ada satu berita yang bisa dijadikan bukti penilaian ini: Pada 26 Februari pukul 4 dini hari Zelenskyy menulis di akun Twitter-nya, sangat berbeda dengan sikap dua hari sebelumnya untuk bernegosiasi dengan Rusia, menyatakan Ukraina harus menjadi bagian dari Uni Eropa (Ukraine must become part of the European Union) --- ini menandakan, antara Zelenskyy dengan Uni Eropa ada perundingan baru.

AS & Eropa Hendak Jadikan Ukraina Sebagai Kuburan Putin

Pada saat Zelenskyy lewat pidato daring menyatakan akan berunding dengan Rusia tentang sikap netral Ukraina, dan masyarakat tengah mengecam keras AS dan Uni Eropa bahkan tidak mampu dengan segera memberikan sanksi, terjadilah tiga peristiwa:

Pada 24 Februari, AS mengumumkan akan menempatkan 7.000 orang pasukan AS di negara Baltik. Biden juga menyatakan, sebagai bagian dari tindakan antisipasi NATO, dirinya telah memberikan otorisasi untuk mengirimkan “tambahan pasukan AS” kepada Jerman, termasuk sejumlah pasukan AS yang telah berada disana beberapa minggu lalu.

Pada 25 Februari, NATO mengumumkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah NATO Response Force telah diaktifkan. Menurut komandan tertinggi pasukan sekutu NATO yakni Jenderal Tod Wolters, menginisiasi pasukan multi-nasional yang terbentuk dari kesatuan AD, AU dan AL serta pasukan khusus dari semua negara sekutu, dapat dengan cepat melakukan penempatan untuk mendukung negara anggota NATO --- masyarakat menilai ini hanyalah gertakan, mengapa tidak langsung mengerahkan pasukan langsung terjun ke dalam pertempuran dan menyelesaikan krisis Ukraina? Dengan mengirim AU melakukan bombardir pun dapat menghalau Rusia.

Pada 25 Februari, Gedung Putih meminta kongres agar meloloskan dana bantuan sebesar USD 6,4 miliar untuk mengatasi krisis Ukraina pasca serangan Rusia, antara lain termasuk bantuan keamanan dan kemanusiaan sebesar USD 2,9 Miliar serta bantuan bagi Kementerian Pertahanan sebesar USD 3,5 Miliar --- ini adalah gerakan awal berharap akan terjadi perang menyeluruh. Jika perundingan Rusia-Ukraina berhasil, Ukraina berjanji akan bersikap netral, Rusia akan menarik pasukannya, maka AS hanya perlu memberikan dana sebesar USD 1 Miliar.

Pada 26 Februari, Jerman telah memberikan wewenang bagi Belanda untuk mengirimkan 400 unit RPG (Rocket Propelled Grenade = Granat Berpeluru Roket) “Stinger” kepada Ukraina, untuk membantu pasukan Ukraina dalam melawan pasukan Rusia.

Tiga berita tersebut, menandakan baik pemerintah Eropa maupun Amerika berharap agar Ukraina dapat bertahan selama beberapa saat, semakin lama akan semakin baik.

Berikut Ini Rangkuman Garis Besarnya:

Sasaran serangan langsung Putin adalah Ukraina, yang diincarnya adalah ekspansi NATO ke timur, tujuan utamanya adalah memaksa Ukraina bersikap netral, pada saat yang tepat akan didirikan pemerintahan yang pro-Rusia --- pada masa PD-II pemerintah komunis berbagai negara juga diusung oleh Uni Soviet dengan bedil dan meriam, bisa jadi penerus “pemerintahan baru Ukraina” telah dipersiapkannya. Oleh sebab itu Putin harus cepat memulai dan cepat mengakhiri, penasihatnya mengatakan, rencana awalnya adalah merebut Ukraina dalam tempo dua minggu, jika tidak, kekuatan oposisi di dalam negeri akan memanfaatkan peluang itu untuk membuat kerusuhan, yang dapat membahayakan posisi Putin.

Uni Eropa dan AS tentu saja juga telah melihat hal ini. Beberapa hari terakhir banyak analisa di media massa yang menelisik dari sudut pandang ini, berharap Putin terjebak dalam samudera perang rakyat warga Ukraina, membuatnya terjerumus tak berdaya, hingga pada akhirnya kerusuhan di Rusia akan menyeret Putin turun dari jabatannya, Rusia tanpa Putin, laiknya macan tua yang sudah ompong. Tapi jika Rusia dan Ukraina dibiarkan berunding sekarang, dan Ukraina dipaksa untuk bersikap netral, maka berikutnya yang akan berhadapan langsung dengan Rusia adalah tiga negara Baltik dan Polandia yang merupakan sayap NATO, ini adalah kondisi yang paling tidak ingin disaksikan oleh NATO. Walaupun Uni Eropa tidak bersedia mengirim pasukan, tapi juga harus mengerahkan berbagai cara memberikan bantuan dan perlengkapan militer bagi pasukan Ukraina, agar Ukraina mampu bertahan, sedangkan harga yang harus dibayar Ukraina sudah tidak dipertimbangkan lagi. Uni Eropa juga telah mengumumkan akan menerima pengungsi dari Ukraina, dan memberikan jalur penyelamatan diri bagi mereka, setidaknya agar tidak memicu kebencian yang ditujukan kepada mereka.

Pada Saat ini, bagaimana menentukan pilihan, sepenuhnya berada di tangan pemerintah Kiev.

1. Berunding dengan Rusia, memastikan sikap netral, mengakhiri perang;

2. Membuat Ukraina menjadi ajang perang yang akan mengubur karir politik Putin, yang harus dibayar oleh Ukraina dengan sangat mahal, hadiah dari Uni Eropa dan NATO adalah menerima Ukraina menjadi anggotanya, dan sejak saat itu menjadi tameng bagi daratan Eropa dalam menghadapi Rusia.

Kalau pada masa biasa, bisa dilakukan referendum; sekarang tidak bisa dilakukan referendum, hanya bisa mengandalkan keputusan Zelenskyy. Diperkirakan sampai detik ini, dia telah memahami strategi negara Barat. Namun, bagaimana Zelenskyy menentukan pilihan, sangat erat hubungannya dengan oleh pihak mana dirinya akan dikendalikan di kemudian hari. Sang pengendali akan dapat mewakilinya menyampaikan aspirasi. (ET/sud/sun)


0 comments