Para Pejabat Menyatakan 88 Juta Orang di Provinsi Henan Tiongkok Terinfeksi COVID

Seorang anak yang sedang menjalani tes asam nukleat di sebuah pos di Kota Anyang, provinsi Henan pada 12 Januari 2022. (STR/AFP/Getty Images)

ALEX WU

Para pejabat di provinsi Henan, Tiongkok tengah, mengatakan bahwa tingkat infeksi COVID-19 di wilayah tersebut adalah 89 persen, ketika negara itu memerangi lonjakan infeksi dan otoritas partai komunis terus menyembunyikan angka kematian yang sebenarnya.

Pihak berwenang di Henan, provinsi terpadat ketiga di negara itu, mengatakan pada konferensi pers pada Senin 6 Januari, tingkat infeksi provinsi itu adalah 89 persen, termasuk 89,1 persen di kota-kota dan 88,9 persen di daerah pedesaan, demikian yang dilaporkan media resmi provinsi Zhengzhou Daily. Angka-angka tersebut berarti bahwa 88,5 juta orang dari total populasi provinsi yang berjumlah 99,4 juta orang telah terinfeksi.

Angka-angka tersebut sejalan dengan pernyataan lain yang dibuat oleh pejabat kesehatan tentang tingkat infeksi yang tinggi dalam beberapa minggu terakhir. Seorang pejabat mengatakan pada Desember bahwa infeksi di kota-kota besar melebihi 50 persen, dan mencapai 80 persen di ibu kota Tiongkok, Beijing. Sebuah dokumen yang bocor dari badan kesehatan tertinggi negara itu juga memperkirakan bahwa sekitar 250 juta orang Tiongkok terinfeksi COVID dalam 20 hari pertama bulan Desember.

Pihak berwenang Henan juga mengatakan bahwa pada 7 Januari, 95 persen tempat tidur rumah sakit di provinsi tersebut digunakan, dan 82 persen tempat tidur unit perawatan intensif (ICU) sudah digunakan, dan mengklaim tidak ada kekurangan sumber daya medis yang serius. Pernyataan resmi tersebut sangat kontras dengan laporan yang tersebar luas dari staf kesehatan dan warga Tiongkok bahwa rumah sakit telah kewalahan dan belum berhasil menampung membanjirnya pasien COVD.

Pejabat itu juga mengklaim bahwa wilayah tersebut telah melewati puncak COVID “dengan lancar.”

Di media sosial, warga Tiongkok mempertanyakan klaim pihak berwenang tentang kurangnya kekurangan medis, sambil mengkritik kurangnya transparansi rezim.

Seorang blogger kuliner Henan menulis: “Saya telah didiagnosis menderita pneumonia, dan saya telah mengunjungi empat rumah sakit tetapi tidak bisa dirawat di rumah sakit karena tempat tidur rumah sakit habis. Unit rawat inap di setiap rumah sakit tidak menerima pasien, dan ada ratusan orang yang terdaftar menunggu tempat tidur rumah sakit. Jika ini bukan kekurangan sumber daya medis yang serius, lalu apa? Kemarin (8 Januari) saya pergi untuk pemeriksaan ulang, dan rumah sakit kehabisan obat.”

Netizen lain menulis: “Dari mana data itu berasal? Tidak ada pengujian PCR, tidak ada statistik, apalagi pelaporan, dari mana Anda mendapatkan 89%! Dan bagaimana Anda bisa mengatakan ‘berjalan dengan lancar’? Mengapa Anda tidak berani memublikasikan statistik berapa banyak orang yang meninggal karena COVID? Nenek saya meninggal karenanya.”

Jiao Yahui, direktur Departemen Urusan Medis Komisi Kesehatan dan Medis Tiongkok, dalam sebuah wawancara dengan penyiar negara Tiongkok CCTV pada 8 Januari, mengklaim bahwa persentase pasien COVID yang menderita pneumonia dalam wabah terbaru “relatif rendah, sekitar 8 persen.”

Wang, seorang anggota komunitas medis di Shanghai, mengatakan kepada Radio Free Asia pada 9 Januari, “Saya telah melihat bahwa tingkat infeksi di banyak tempat lebih dari 70 persen, berdasarkan tingkat 8 persen, maka 80 juta orang di seluruh negeri telah mengalami pneumonia.”

Pengamat Tiongkok Yue Shan menulis dalam kolomnya untuk The Epoch Times edisi bahasa Mandarin bahwa strategi partai komunis adalah membiarkan virus menghancurkan populasi, tanpa melakukan tindakan perawatan kesehatan apa pun, untuk mencapai kekebalan kawanan. Rencana seperti itu, kata Yue, memiliki “pengabaian total terhadap kehidupan manusia.”

Paxlovid Tidak Ditanggung

Sementara itu, Administrasi Keamanan Medis Nasional Tiongkok mengumumkan pada 8 Januari bahwa mereka tak akan menyertakan obat antivirus Pfizer Paxlovid dalam asuransi kesehatan negara tersebut karena harga yang dipatok Pfizer terlalu tinggi.

Paxlovid, yang diketahui telah mengurangi rawat inap pada pasien berisiko tinggi sekitar 90 persen dalam uji klinis, sangat diminati dengan banyak orang Tiongkok yang berusaha mendapatkan obat tersebut di luar negeri dan mengirimkannya ke Tiongkok. Beijing sebagian besar telah resisten terhadap vaksin dan perawatan barat. Pengobatan oral Paxlovid adalah salah satu dari sedikit pengobatan asing yang disetujui.

Pada Februari tahun lalu, Tiongkok menyetujui Paxlovid, yang seharusnya sebagian besar tersedia melalui rumah sakit, untuk mengobati pasien berisiko tinggi di beberapa provinsi. Pfizer bulan lalu mencapai kesepakatan untuk mengekspor Paxlovid ke Tiongkok melalui perusahaan lokal untuk memungkinkan obat ini tersedia secara lebih luas.

Dikarenakan kekurangan antivirus yang parah akibatnya 1,4 miliar warga Tiongkok berjuang melawan infeksi, banyak yang beralih ke jaringan bawah tanah untuk mendapatkan Paxlovid dan obat-obatan lainnya, demikian menurut media dalam negeri. Para calo mengenakan biaya sebanyak 50.000 yuan (112.747.183 rupiah, kurs 16/1)  untuk sekotak Paxlovid, lebih dari 20 kali lipat dari harga aslinya yaitu 2.300 yuan.

Jika obat tersebut ditanggung oleh asuransi kesehatan nasional Tiongkok, pasien hanya akan membayar 189 yuan per kotak, menurut media daratan Tiongkok Caijing.

CEO Pfizer Albert Bourla mengatakan pada 9 Januari bahwa pembicaraan dengan Tiongkok untuk Paxlovid telah rusak setelah Tiongkok meminta harga yang lebih rendah daripada yang dikenakan Pfizer untuk sebagian besar negara berpenghasilan menengah ke bawah.

“Mereka adalah ekonomi tertinggi kedua di dunia dan saya tidak berpikir bahwa mereka harus membayar lebih rendah dari El Salvador,” kata Bourla.

Biaya obat di Tiongkok sekitar setengah dari harga yang dikenakan di Amerika Serikat.

Hui Huyu, seorang komentator senior urusan saat ini, mengatakan kepada The Epoch Times edisi bahasa Mandarin pada 9 Januari bahwa Partai Komunis Tiongkok tidak akan menanggung Paxlovid “karena tidak mau mengeluarkan uang untuk kehidupan orang-orang Tiongkok.”

“Ketika dimasukkan dalam asuransi kesehatan nasional, pemerintah harus membayar sebagian besar, dan rakyat biasa membayar sebagian kecil. Maka pengeluaran asuransi kesehatan pemerintah akan sangat besar,” kata Hui.

“Rezim PKT selalu tidak mau menginvestasikan sejumlah besar uang dalam asuransi kesehatan rakyat Tiongkok. Oleh karena itu, obat ini tidak dapat dimasukkan ke dalam asuransi kesehatan.” (ET/asr/sun)


0 comments