Perang Dagang AS-Tiongkok: Strategi Militer Terselubung dan Kepanikan PKT
![]() |
Konflik dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas. Pada 10 Mei 2025, putaran terbaru perundingan dagang antara Menteri Keuangan AS, Bessent, dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, He Lifeng, digelar sebagai bagian dari kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump di periode keduanya. Di balik angka dan tarif, para pengamat menilai, kebijakan ini sarat dengan motif militer strategis dan menunjukkan tanda-tanda kepanikan dari Partai Komunis Tiongkok (PKT).
1. Penurunan Tarif Sebagai Strategi Jangka Panjang
Trump mengumumkan bahwa selama 90 hari ke depan, AS dan Tiongkok akan saling menurunkan tarif hingga 115%. Namun, penurunan ini bukan berarti relaksasi. Amerika tetap akan mengenakan tarif kumulatif sebesar 55% untuk sebagian besar produk impor dari Tiongkok — terdiri dari 25% tarif era Trump pertama, 10% tarif baru, dan 20% sebagai sanksi atas masalah fentanil.
Sementara itu, Tiongkok akan menurunkan tarifnya dari 125% menjadi hanya 10% terhadap barang-barang dari AS, yang menunjukkan ketimpangan posisi tawar Beijing.
Menurut ekonom Tiongkok di AS, Dr. Cheng Xiaonong, kebijakan ini bukan murni keputusan ekonomi, melainkan bagian dari strategi militer yang menekan PKT secara bertahap: "Semua keputusan ini adalah strategi militer terselubung, bukan keputusan ekonomi biasa."
2. Tekanan Ekonomi Terhadap PKT
Ekonomi Tiongkok yang terus melemah memperparah tekanan dari perang dagang ini. Trump disebut mendorong PKT semakin cepat menuju “ujung jalan”. Strategi ini bertujuan menurunkan kemampuan ekonomi dan manufaktur Tiongkok, yang dianggap menopang kekuatan militer dan politik PKT.
“Trump mendorong dari belakang. Rezim PKT melaju makin cepat ke arah kehancuran,” ujar Cheng.
3. Inggris dan Sekutu AS Mulai Terapkan Model Serupa
AS baru saja menandatangani perjanjian dagang dengan Inggris pada 8 Mei. Beijing menanggapi dengan keberatan, menyebut kerja sama tersebut “tidak boleh merugikan pihak ketiga”.
Namun menurut laporan Financial Times, seorang penasihat perdagangan PKT mengaku terkejut karena Inggris menyetujui klausul keamanan perdagangan yang dirancang oleh AS, yang secara terang membatasi produk dan teknologi dari Tiongkok.
Ekonom Huang Dawei menjelaskan: “Perjanjian ini bukan sekadar ekonomi. Ini adalah bentuk penolakan struktural terhadap produk Tiongkok, termasuk pembatasan pasokan, teknologi, layanan, bahkan modal dalam sektor-sektor sensitif seperti farmasi, komunikasi, dan logam tanah jarang.”
Klausul ini diyakini akan menjadi template bagi negara-negara sekutu AS lainnya seperti Uni Eropa, Jepang, dan Kanada.
4. Strategi "Pengganti Domestik" Tiongkok Terancam
Sebagai respons, Beijing mempercepat program “substitusi domestik” — upaya mandiri untuk memproduksi semikonduktor, perangkat lunak industri, dan komponen penting lainnya secara lokal. Namun, dengan pembatasan teknologi dan perubahan rantai pasok global, strategi ini dinilai sulit berhasil.
“Industri teknologi tinggi Tiongkok, dari farmasi hingga komunikasi, akan sangat dibatasi. Rantai pasok global kini mulai berpaling dari Tiongkok,” tambah Huang.
Kesimpulan:
Perang dagang AS-Tiongkok kini tidak lagi sekadar persoalan ekonomi, tetapi merupakan bagian dari strategi geopolitik jangka panjang yang menekan PKT. Dengan semakin banyak negara Barat mengadopsi kebijakan serupa, posisi ekonomi dan diplomatik Tiongkok berada dalam tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. PKT kini menghadapi tantangan besar yang berpotensi mempercepat kejatuhan sistem yang mereka bangun.
0 comments