AS–Eropa Bahas Jaminan Keamanan untuk Ukraina, Tiongkok Cemas Akan Tekanan Baru
Global News – Pasca-pertemuan bersejarah di Gedung Putih, pejabat Amerika Serikat dan Eropa mulai merancang rincian rencana jaminan keamanan untuk Ukraina. Skema ini berpotensi menyerupai Pasal 5 NATO, yang menyatakan serangan terhadap satu anggota dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota.
AS Janjikan Dukungan, Tapi Tanpa Pasukan Darat
Presiden AS, Donald Trump pada Senin (19/8) menegaskan Washington tidak akan mengirim pasukan darat ke Ukraina. Namun, AS dapat memberikan dukungan udara bagi pasukan keamanan Eropa yang ditempatkan di wilayah Ukraina, sebagai bagian dari kerangka perjanjian penghentian perang Rusia–Ukraina.
Sehari sebelumnya, Trump mengadakan pertemuan dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky serta sejumlah pemimpin Eropa di Gedung Putih. Bloomberg melaporkan, Eropa kini menggarap skema pengerahan pasukan dari sekitar 10 negara—termasuk Inggris dan Prancis—ke Ukraina. Pasukan ini akan beroperasi di bawah bendera masing-masing negara, bukan atas nama NATO.
Sekjen NATO, Mark Rutte juga mengungkapkan, rencana keamanan Ukraina tengah dibahas bersama sekitar 30 negara, termasuk Jepang dan Australia.
Rencana “Pasal 5 Mini” untuk Ukraina
Wall Street Journal menulis bahwa jaminan keamanan tersebut bisa berupa komitmen ala Pasal 5 NATO. Zelensky menyebutkan, detail rencana itu akan diumumkan secara resmi dalam 7–10 hari.
Sementara itu, perang Rusia–Ukraina yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun menewaskan lebih dari sejuta orang. Kini, muncul sinyal peluang gencatan senjata.
Dampak ke Geopolitik Global dan Tiongkok
Pengamat menilai, bila AS berhasil mendorong perjanjian damai, Beijing akan menghadapi tekanan geopolitik lebih besar.
Menurut peneliti Taiwan Institute for National Defense and Security Research (INDSR), Shen Ming-shih:
“Jika Ukraina mendapat jaminan ala Pasal 5 dan mau menandatangani gencatan senjata dengan Rusia, maka perang bisa resmi berhenti. Dampaknya, hubungan AS–Rusia akan lebih erat, dan AS bisa mengalihkan sumber daya ke Indo-Pasifik untuk menghadapi Tiongkok.”
Guru besar studi internasional di University of St. Thomas, Yeh Yao-yuan, menambahkan:
“Bila perang berakhir, bahan baku Rusia bisa kembali dipasarkan ke Eropa. Itu akan melemahkan ikatan ekonomi Rusia–Tiongkok, karena selama ini Beijing menjadi pembeli utama energi Rusia akibat sanksi Barat.”
Putin Mainkan “Kartu Tiongkok”
Meski begitu, perang masih berlanjut. Usai KTT Gedung Putih, Rusia meluncurkan serangan udara terbesar bulan ini terhadap Ukraina. Trump mengakui, Presiden Vladimir Putin mungkin tidak berniat segera mencapai kesepakatan.
Sumber diplomatik menyebut, dalam pertemuan dengan Trump di Alaska, Putin sempat menyebut Tiongkok sebagai calon negara penjamin. Namun analis Taiwan, Su Tzu-yun, menilai itu hanya taktik tawar-menawar Rusia untuk mendapat konsesi lebih baik dari AS dan Eropa, mengingat Moskow menghadapi defisit anggaran berkepanjangan.
Yeh Yao-yuan menilai, Beijing tidak memiliki daya tawar kuat dalam negosiasi Ukraina:
“Dengan kondisi ekonomi lemah dan kompetisi ketat dengan AS, Tiongkok sulit ikut campur lebih jauh.”
Shen Ming-shih menambahkan, bila Beijing mengirim pasukan ke misi perdamaian Ukraina, justru akan menjadi bumerang—karena AS akan semakin terdorong memperkuat posisi militernya di Indo-Pasifik.
#Ukraina #Rusia #AmerikaSerikat #Eropa #DonaldTrump #VolodymyrZelensky #VladimirPutin #NATO #Tiongkok #Geopolitik
0 comments