Lockdown Berlanjut di Tiongkok Terlepas dari Klaim Beijing Tidak Ada Kasus Covid-19 Terbaru

Warga menjalani tes Covid-19 di pusat pengujian darurat di dalam kompleks perumahan di Shijiazhuang, di Provinsi Hebei utara pada 16 Januari 2021. (STR / CNS / AFP via Getty Images)

NICOLE HAO

Rezim Tiongkok mengklaim tidak ada infeksi virus Komunis Tiongkok (yang dikenal virus corona) yang baru di dalam negeri Tiongkok pada (21/2/2021). Aparat mengklaim hanya satu wilayah saja, Kabupaten Wangkui di Provinsi Heilongjiang, akan menjadi sebuah wilayah berisiko-sedang untuk tertular virus tersebut.

Akan tetapi, dilansir dari media The Epoch Times berbahasa Mandarin, bahwa orang-orang di Provinsi Hebei dan Provinsi Jilin memberitahukan kepada The Epoch Times dalam wawancara telepon, bahwa mereka dikurung di rumah sejak awal bulan Januari, yang mempertanyakan narasi resmi pemerintah.

Orang-orang yang melakukan perjalanan dari provinsi-provinsi ini ke bagian lain Tiongkok, juga harus diisolasi di sebuah pusat karantina setelah tiba di tujuannya.

Warga mengeluhkan bahwa mereka tidak dapat pergi bekerja karena pembatasan-pembatasan tersebut. Tanpa adanya pendapatan, menjadi sulit untuk membeli produk-produk makanan yang semakin mahal.

“Kami berada di ambang kematian,” kata seorang penduduk kota Shijiazhuang di Hebei. Keluarganya telah diisolasi selama hampir 50 hari tanpa memperoleh penghasilan apapun.

Lockdown Tanpa Batas

Pemerintah kota Shijiazhuang mengumumkan pada 21 Februari ,bahwa kota Shijiazhuang akan diturunkan tingkatnya ke wilayah berisiko-rendah. Itu karena penularan virus yang dimulai pada 2 Februari.

Pemerintah pusat Tiongkok mengumumkan bahwa hanya ada dua daerah di Tiongkok yang dianggap berisiko untuk penyebaran COVID-19 yakni Shijiazhuang dan Wangkui.

Rezim Tiongkok juga mengklaim, bahwa Tiongkok tidak memiliki kasus infeksi domestik baru. Klaim lainnya adalah semua pasien COVID-19 yang baru didiagnosis adalah orang-orang yang datang dari negara-negara lain ke Tiongkok.

Tetapi, pemerintah daerah terus mengkarantina orang-orang sebagai sebuah metode untuk mengekang penyebaran COVID-19. Bahkan, memberikan sedikit pembaruan terhadap situasi wabah tersebut.

Er Duo (nama samaran) adalah seorang wanita yang tinggal di distrik Gaocheng di Shijiazhuang. Ia mengatakan bahwa kompleks tempat tinggalnya telah diisolasi sejak 5 Januari.

“Kami diminta untuk melakukan uji asam nukleat [untuk COVID-19] setiap tiga hari. Kami telah menerima 16 uji asam nukleat. Semua hasilnya adalah negatif. Pihak berwenang masih mengkarantina kami di rumah tanpa memberi penjelasan apa pun kepada kami,” katanya.

Er Duo mencatat bahwa banyak warga yang merasa frustrasi. Beberapa warga sangat membutuhkan obat, atau susu formula untuk anak-anaknya. Ia mengatakan, warga tidak melihat harapan apapun. Beberapa orang benar-benar perlu mendapatkan uang untuk membayar hipotek mereka.

Erduo menambahkan: “Tidak ada pejabat pemerintah yang mengurus kebutuhan kami.”

Seorang pria warga Shijiazhuang lainnya, Bian Zhong (nama samaran), mengatakan bahwa, bibinya tidak dapat pergi ke rumah sakit untuk melahirkan bayinya karena lockdown.

Pria menuturkan: ia terus menelepon hotline pemerintah provinsi dan kota pemerintah, tetapi tidak ada pejabat pemerintah yang memberikan bantuan apa pun. Semuanya meminta menunggu.

Akhirnya, keluarga tersebut menemukan seorang dokter yang mengoperasikan sebuah klinik kecil di rumahnya. Dokter tersebut melanggar aturan karantina untuk membuka klinik tersebut untuk bibi Bian Zhong, dan bayi lahir dengan selamat.

“Kebijakan karantina macam apa ini?” kata Bian Zhong.

Gu Min (nama samaran) dan suaminya adalah pekerja migran di kota Nangong, Provinsi Hebei. Mereka dikarantina di dalam sebuah kamar sewaan sejak 6 Januari.

Pada tanggal 12 Februari, pemerintah kota Nangong mewajibkan semua warganya untuk divaksinasi untuk COVID-19. Tetapi, Gu Min dan suaminya sedang mendapat pengobatan untuk fertilisasi in-vitro.

“Dokter memberitahu kami bahwa pengobatan untuk fertilisasi in-vitro harus dihentikan bila kami mendapat vaksin COVID-19,” ujar Gu Min.

Tetapi, petugas itu memaksa suami Gu Min untuk mendapatkan vaksin, mengancam majikan suami Gu Min bahwa perusahaannya akan mendapat masalah. Itu jika ada karyawan yang menolak untuk mendapatkan vaksinasi.

“Semua upaya kami untuk memiliki seorang anak kini sia-sia,” kata Gu Min, menambahkan bahwa ia dan suaminya, kini harus menunggu setidaknya empat bulan sebelum mereka dapat melanjutkan pengobatan pengobatan untuk fertilisasi in-vitro.

Setelah vaksinasi, semua warga Nangong masih harus diisolasi di rumah.

Pembatasan Perjalanan

Orang-orang yang bepergian dari Provinsi Hebei dan Provinsi Jilin, juga diwajibkan untuk dikarantina setelah tiba di tempat tujuan.

Seorang pria pekerja migran bermarga Liu berasal dari kota Hanzhong, Propinsi Shaanxi. Ia dikirim ke Shijiazhuang untuk membangun sebuah rumah sakit darurat. Setelah proyek itu selesai dan ia kembali ke Hanzhong, pihak berwenang mewajibkannya untuk dikarantina selama 14 hari, kata Liu kepada The Epoch Times dalam sebuah wawancara.

“Karantina tersebut menghabiskan biaya lebih dari 1.200 yuan, yang jauh lebih mahal daripada gaji yang saya peroleh dari pekerjaan konstruksi rumah sakit darurat,” kata Liu.

Pekerja migran lainnya, Wang, berkata bahwa para petugas di Hebei telah berjanji kepada mereka bahwa mereka tidak akan dikarantina saat kembali ke kampung halamannya. Tetapi, ia tetap harus untuk karantina. Lebih miris lagi, pusat karantina hampir tidak ada air minum yang panas. Jangan bahas soal mandi.

Seorang pria kolumnis politik Tiongkok yang berbasis di Belanda Jiang Fuzhen, yang sering kontak dengan orang-orang dalam di Tiongkok, berkata kepada The Epoch Times berbahasa Tiongkok, bahwa ia percaya bahwa “tidak mungkin” wabah virus di Tiongkok telah mereda. Sepertinya “kebutuhan politik” Beijing untuk tidak mengumumkan infeksi-infeksi baru. (et/vv/sun)

0 comments