Warga dan Orang Asing Berlomba Melarikan Diri dari Tiongkok yang Penyebaran Epidemi Semakin Gawat

Seorang pekerja medis dengan pakaian pelindung mengumpulkan swab dari seorang penduduk di tempat pengujian asam nukleat darurat, selama pengujian massal untuk COVID-19 di distrik Chaoyang, Beijing pada 13 Juni 2022. (Carlos Garcia Rawlins/Reuters)


LI YUN dan LIU FANG


Gelombang epidemi yang lebih didominasi oleh varian Omicron kini telah menyebar ke 20 lebih provinsi di Tiongkok. Masyarakat sangat khawatir kehidupan mereka akan kembali terpengaruh oleh lockdown ketat yang berskala besar. Karena itu mereka memilih meninggalkan komunitas atau kota. Bagi mereka termasuk orang asing yang berkesempatan, mereka berusaha untuk meninggalkan Tiongkok.

Menurut data yang dikumpulkan oleh media daratan Tiongkok, bahwa sejak awal Juli ini, lebih dari selusin galur mutan Omicron telah ditemukan di berbagai tempat di Tiongkok. Tercatat hingga 21 Juli pukul 23.00, di daratan Tiongkok terdapat 451 wilayah yang tergolong berisiko tinggi, dan 667 wilayah tergolong berisiko sedang.

Analis Bank of Japan Nomura Securities mengatakan dalam sebuah laporan pada 18 Juli bahwa sekitar 264 juta orang warga di 41 kota di Tiongkok hidup dalam kondisi lockdown atau setengah lockdown.

Warga masyarakat di sana berusaha melarikan diri lantaran takut dengan lockdown tanpa batas yang pernah mereka alami sebelumnya. Mulai 18 Juli, Kota Shenzhen mulai menerapkan lockdown berskala besar, sehingga sejumlah warganya buru-buru kabur meninggalkan komunitas.

Beberapa waktu yang lalu, otoritas Kota Xi’an menerapkan “kontrol sementara” untuk mencegah penyebaran epidemi. Begitu pengumuman keluar, stasiun kereta api langsung dipenuhi oleh warga sipil dengan barang bawaan mereka yang ingin segera meninggalkan kota.

Pada saat yang sama, Bagi warga Tiongkok dari semua lapisan serta orang asing yang berkesempatan mereka juga berusaha meninggalkan Tiongkok.

Andrea, seorang pengacara wanita yang tinggal di Beijing dan bekerja untuk Uni Eropa, mengatakan kepada media Inggris bahwa langkah-langkah pengendalian epidemi dapat terjadi di Tiongkok sewaktu-waktu. Jadi ia memutuskan untuk keluar dari Tiongkok dan kembali ke negaranya ketimbang terkena penguncian.

Li Yuanhua, mantan profesor di Beijing Normal University, mengatakan: “Kebijakan Nol Kasus Infeksi ini telah mengganggu tatanan ekonomi Tiongkok. Di masa lalu, misalnya, jika saya membuka toko dengan menjual apa sajalah, saya dapat menghasilkan uang, tetapi sekarang berarti saya tidak bisa menghasilkan uang. Atau jika dia punya uang dan sadar bahwa tidak satu pun orang yang hidup di Tiongkok merasa aman, maka dia pasti akan pergi”.

Lai Jianping, master hukum internasional dari Universitas Ilmu Politik dan Hukum Tiongkok mengatakan bahwa melalui kerugian yang timbul akibat lockdown ekstrem yang dilakukan PKT, banyak orang benar-benar kecewa terhadap kediktatoran PKT, jadi mereka memutuskan untuk meninggalkan Tiongkok.

Lai Jianping mengatakan: “Ternyata para investor asing, perusahaan asing, dan investor perorangan asing yang melakukan bisnis di Tiongkok, juga satu per satu mengalihkan rantai industri mereka. Beralih usaha ke Asia Tenggara, ke negara lain. Mereka memutuskan untuk hengkang dari Tiongkok. Ini adalah gelombang besar, gelombang pelarian dari Tiongkok”.

Sebuah agen imigrasi yang berbasis di London memperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang warga negara Tiongkok yang memiliki kekayaan total bernilai USD 48 miliar sedang beremigrasi ke luar negeri tahun ini. (ET/sin/sun)


0 comments