Gaji Staf Medis Tiongkok Dipotong dan Belum Dibayar Akibat Krisis Keuangan Pemda

Pada 25 Januari 2020, dengan mengenakan pakaian APD staf medis Rumah Sakit Palang Merah Wuhan sedang merawat pasien yang terinfeksi SARS-Cov-2. (Hector Retamal/AFP/Getty Images)


WANG XIANG

Laporan media menyebutkan bahwa staf medis Tiongkok yang waktu bekerjanya lebih panjang daripada biasanya untuk mengatasi lonjakan pasien COVID-19, tetapi gaji mereka malah turun dan belum dibayarkan. Hal ini berkaitan dengan krisis keuangan yang dialami pemerintah daerah.

Setelah pemerintah pusat di Beijing tiba-tiba mengubah kebijakan pemberantasan COVID-19, sejumlah besar warga yang terinfeksi berdatangan ke rumah sakit, membuat sumber daya medis yang sudah langka semakin kewalahan. Hampir semua ruangan di rumah sakit telah penuh sesak untuk menampung pasien COVID-19 yang kondisinya parah. Sampai-sampai koridor dan aula rumah sakit pun untuk sementara diisi dengan ranjang pasien, tabung oksigen berwarna biru terlihat di mana-mana.

Dalam rumah sakit, suara rintihan, teriakan minta tolong dan keluhan pasien terus terdengar tiada hentinya.

Tiongkok sampai Desember 2022 baru secara terpaksa mencoba untuk hidup berdampingan dengan virus setelah menjalani isolasi dan penguncian ketat buatan pemerintah pusat Tiongkok selama tiga tahun. Sedangkan para dokter serta perawat di sana hanya memiliki sedikit pengalaman dalam mengatasi penyakit akibat COVID-19. Dengan pesatnya peningkatan kasus baru, banyak staf medis juga terinfeksi virus saat bekerja, tetapi mereka harus terus bekerja karena jumlah nakes tidak sebanding dengan jumlah pasien.

Dilaporkan bahwa dokter dan perawat di beberapa rumah sakit pemerintah di Tiongkok kini menghadapi pemotongan gaji atau penundaan pembayaran gaji, yang telah memukul semangat mereka dalam memerangi epidemi.

Dokter Belum Menerima Gaji Selama Tiga Bulan

Seorang dokter ahli bedah bermarga Zhou di sebuah rumah sakit di kota besar di wilayah selatan Tiongkok mengatakan kepada media Hongkong “South China Morning Post”, bahwa selama 3 bulan terakhir pasien berbondong-bondong masuk rumah sakit, gajinya belum dibayar.

Dia yang tidak bersedia menyebutkan namanya kepada reporter media karena sensitivitas berbicara mengatakan bahwa gaji terakhir bulan September tahun lalu yang diterima telah berkurang sebanyak hampir RMB. 4.000,- , berkurang cukup banyak.

“Rumah sakit juga telah membatalkan pemberian bonus penghargaan triwulanan dan akhir tahun kami pada tahun 2022, sehingga moral staf medis sekarang sangat rendah,” kata dokter tersebut. Dia telah terlibat dalam pengobatan infeksi COVID-19 untuk waktu yang lama di masa lalu.

Sebelum wabah menyebar luas, bonus akhir tahunnya bisa mencapai mendekati RMB. 60.000,- . Tetapi setelah pandemi berdampak pada pendapatan rumah sakit, Zhou melihat bonusnya terus berkurang bahkan akhirnya nihil.

“Rumah sakit tidak memberi kami penjelasan apa pun, pokoknya tidak diberikan. Kami semua menertawakan diri sendiri karena bekerja selaku pemberi pinjaman (kepada rumah sakit),” katanya.

Meskipun demikian, Dr. Zhou tidak terpikir untuk berhenti dari pekerjaannya saat ini.

“Rumah sakit tidak mengizinkan kami untuk mengundurkan diri. Jika kami mengundurkan diri sekarang, maka nama kami akan dimasukkan ke dalam daftar hitam, yang nantinya akan membuat kesulitan untuk bekerja di rumah sakit pemerintah di masa depan.”

Dengan pembatalan kebijakan Nol Kasus oleh PKT pada 7 Desember tahun lalu, sistem medis Tiongkok tidak siap karena terjadinya secara tiba-tiba. Karena itu, jumlah pasien yang masuk rumah sakit dan orang yang meninggal membuat fasilitas medis kewalahan menerimanya. Sementara itu, banyak apotek kekurangan obat anti-demam dan pereda nyeri. Selanjutnya, pejabat juga berhenti melaporkan jumlah infeksi harian pasien yang non-gejala, sehingga sulit untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya tentang gelombang infeksi.

Wall Street Journal pada awal bulan Januari melaporkan bahwa pengumuman tiba-tiba PKT tentang pembalikan kebijakan yang tidak terduga telah mendorong Tiongkok ke dalam darurat kesehatan masyarakat yang baru. Petugas kesehatan di seluruh negeri, serta pejabat di cabang lokal dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Tiongkok, tidak diperingatkan sebelumnya tentang perubahan tersebut dan harus menghadapi lonjakan pasien tanpa stok persediaan yang diperlukan secara medis.

Pada 23 Januari, Wu Zunyou, kepala ahli dari CDC Tiongkok menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan bahwa setidaknya 80% populasi Tiongkok yang setara dengan 1,1 miliar jiwa telah terinfeksi virus (COVID-19). Banyak pejabat setempat juga mengklaim bahwa gelombang epidemi telah mencapai puncak kurvanya, tetapi rumah sakit setempat masih kewalahan dengan datangnya pasien, dan staf medis harus bekerja dengan ekstra waktu, tidak bisa beristirahat.

Gaji Perawat Turun Nyaris 50% Tapi Beban Kerja Naik

Ms. Wang, seorang perawat yang bekerja di rumah sakit pemerintah di Kota Shenzhen mengatakan bahwa gajinya telah dipotong hampir setengahnya sejak wabah dimulai pada tahun 2020.

“Gaji sebelum pajak saya berangsur-angsur turun dari RMB. 24.000,- menjadi RMB. 13.000,- sebulan, tetapi kenyataannya tekanan kerja kami lebih besar daripada tekanan dokter. Kami baru-baru ini merawat sejumlah besar pasien COVID-19 dan kami sudah sangat lelah,” kata Ms. Wang.

“Rumah sakit juga membatalkan bonus dan penghargaan kinerja kami tahun lalu. Sekarang pendapatan kami telah berkurang lebih dari setengahnya, padahal beban kerja kami meningkat.”

Ms. Wang mengatakan, pemerintah daerah bulan ini mengumumkan bahwa bonus hingga RMB. 20.000,- untuk setiap pekerja medis yang terlibat dalam pekerjaan penyelamatan pandemi virus, tetapi sampai sekarang bonus ini belum juga turun.

Dia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu apakah bonus ditahan oleh rumah sakit atau hanya sebagai plasebo untuk meningkatkan semangat para nakes. (ET/hui/sun)




0 comments