Perang Dagang AS–China Memuncak, PKC Kian Terisolasi Secara Global


Perang dagang Amerika Serikat dan China pada 2025 menunjukkan dampak besar bagi perekonomian global. Di tengah kebijakan tarif tinggi, sanksi teknologi, dan konflik rantai pasok, Partai Komunis China (PKC) semakin terisolasi secara internasional, terutama akibat penggunaan tanah jarang sebagai senjata ekonomi.


Perang Dagang AS–China yang Terus Berulang

Pada 2025, hubungan dagang Amerika Serikat dan China kembali diwarnai ketegangan yang naik-turun. Mulai dari perang tarif sengit, gencatan senjata sementara, hingga kesepakatan penghentian konflik selama satu tahun. Meski demikian, satu hal tidak berubah: Amerika Serikat terus menggandeng sekutu-sekutunya untuk menekan Partai Komunis China (PKC).

Uni Eropa, Australia, Meksiko, serta negara-negara Asia Tenggara menerapkan berbagai langkah seperti hambatan tarif, pembatasan teknologi, dan restrukturisasi rantai pasok global guna mengurangi ketergantungan pada China atau yang dikenal dengan strategi de-Chinaization.

Langkah PKT yang menjadikan tanah jarang (rare earth) sebagai alat tekanan ekonomi justru memperburuk situasi, karena berdampak langsung pada rantai pasok industri teknologi tinggi dunia. Akibatnya, China kini menghadapi isolasi global yang semakin nyata.


Trump Kembali ke Gedung Putih dan Kebijakan Tarif Keras

Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025. Pada hari pertama, ia langsung menerbitkan dokumen “America First Trade Policy” yang menargetkan praktik perdagangan tidak adil China, termasuk penyelundupan barang melalui negara ketiga untuk menghindari tarif.

  • 1 Februari 2025: Tarif impor produk China dinaikkan menjadi 20% akibat isu fentanyl.
  • 3 April 2025: AS mengumumkan kebijakan tarif resiprokal global, menaikkan tarif China hingga 54%.
  • Setelah China melakukan pembalasan agresif, AS menaikkan tarif hingga 145%, sekaligus menghapus kebijakan bebas pajak untuk paket kecil.

Sebagai balasan, PKT menaikkan tarif terhadap produk AS hingga 125%.


Perang Non-Tarif dan Dampaknya bagi Dunia Usaha

Selain tarif, kedua negara juga menggunakan senjata non-tarif. AS membatasi ekspor chip canggih ke China, sementara PKT membalas dengan menghentikan pembelian produk pertanian AS serta membatasi ekspor tanah jarang. Bahkan, kedua pihak memberlakukan biaya pelabuhan timbal balik.

Situasi ini membuat hubungan AS–China memanas, sementara dunia usaha di China mengalami tekanan berat.


Negosiasi, Pelanggaran, dan Senjata Tanah Jarang

Pada Mei 2025, kedua negara sepakat melakukan gencatan tarif 90 hari dalam perundingan di Jenewa. Namun, pelanggaran oleh pihak China memicu konflik baru, hingga akhirnya kesepakatan dicapai kembali di London pada Juni dan diperpanjang pada Agustus.

Ketegangan kembali memuncak pada 9 Oktober 2025, ketika PKT mengumumkan aturan paling ketat terkait ekspor tanah jarang—bahkan produk dengan kandungan kecil pun wajib izin ekspor. Kebijakan ini mengguncang industri teknologi global.

Akhirnya, pada 30 Oktober 2025, Trump dan Xi Jinping bertemu di Busan, Korea Selatan, dan menyepakati penghentian perang dagang selama satu tahun. Tarif AS diturunkan menjadi 47%, sementara China menunda pembatasan tanah jarang dan berkomitmen membeli minimal 12 juta ton kedelai AS serta membatasi aliran fentanyl.


AS dan Sekutu Menutup Celah China

Meski terjadi gencatan senjata, AS tidak mengendurkan tekanan global. Dalam perjanjian dagang dengan negara lain, AS menyertakan klausul anti-transshipment untuk mencegah produk China “cuci asal”.

  • Vietnam dikenakan tarif 40% untuk barang pihak ketiga.
  • Malaysia dan Kamboja menandatangani perjanjian dengan “klausul racun” yang menyelaraskan kebijakan sanksi AS.

Peneliti Taiwan, Chung Chih-tung, menegaskan bahwa kebijakan tersebut secara implisit memang menargetkan China.


Efek Domino Global dan ‘Akhir Era Pabrik Dunia’

Dampak perang dagang meluas. Meksiko menetapkan tarif 50% atas produk China, sementara Prancis dan Uni Eropa mengancam kebijakan serupa.

Perusahaan multinasional pun memindahkan basis produksi dari China ke Vietnam, India, dan negara lain. China perlahan kehilangan statusnya sebagai “pabrik dunia”.


Dunia Melawan Monopoli Tanah Jarang China

Pemanfaatan tanah jarang sebagai senjata ekonomi mendorong dunia untuk mencari alternatif. Negara-negara G7 membentuk Aliansi Produksi Mineral Kritis, disusul kerja sama AS–Australia dalam pengembangan pertambangan tanah jarang.

Australia bahkan telah memulai produksi komersial tanah jarang berat di Malaysia, sementara AS berhasil memproduksi magnet tanah jarang di dalam negeri. AS juga menginvestasikan hampir 500 juta dolar AS untuk proyek tanah jarang di Brasil.

Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan negara lain membentuk berbagai perjanjian dan aliansi baru, termasuk Aliansi “Silicon Peace”, guna memutus ketergantungan pada China.


Kesimpulan

Perang dagang AS–China pada 2025 tidak hanya soal tarif, tetapi telah berkembang menjadi konflik struktural global. Strategi PKT yang mempersenjatai perdagangan dan tanah jarang justru mendorong dunia untuk bersatu melawan ketergantungan pada China. Dengan percepatan pembangunan rantai pasok alternatif, posisi PKT di panggung ekonomi global kian terisolasi, sementara tatanan perdagangan dunia memasuki babak baru.


0 comments