Idul Fitri, Pandemi dan Pertobatan Global

Poster dukungan terhadap Suku Muslim Uyghur yang mengalami penindasan oleh Partai Komunis Tiongkok.

ISWAHYUDI

Saya bertanya kepada seorang teman saya yang seorang Ustadz: Apa makna Idul Fitri bagi umat Muslim? Dia menjawab: “Kembali ke fitrah (jati diri yang original) dan merupakan sebuah kemenangan yang sejati.” Menurutnya, Idul Fitri adalah buah atau hasil dari prosesi ibadah puasa selama sebulan dengan menahan lapar dan dahaga serta menahan berbagai hawa nafsu yang membatalkan puasa atau mengurangi keutamaan puasa. Intinya saya bisa ambil kesimpulan bahwa puasa itu pertapaan masal bagi umat muslim selama sebulan penuh untuk mencapai kondisi fitrah yang bisa diartikan sebagai kondisi jiwa yang bersih seperti jiwa seseorang seorang bayi yaitu jiwa yang cenderung kepada kebenaran dan kebaikan (hanif).

Akan tetapi, Ramadhan dan Idul Fitri pada 2020 ini bagi umat Muslim di Indonesia dan seluruh penjuru dunia sangat berbeda. Ada pandemi yang membatasi ruang ekspresi keagamaan mereka. Masjid ditutup, kalaupun ada yang dibuka harus pakai protokol kesehatan tertentu, harus jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, dan tidak lupa bawa sajadah sendiri dari rumah. Dan, barisan orang berjamaah tak serapat yang seharusnya.

Saat Ramadhan usai biasanya umat Muslim di Indonesia terutama yang merantau, mereka biasanya mempunyai sebuah ritual budaya tahunan yaitu mudik. Namun kali ini Presiden RI memutuskan mudik dilarang. Tentunya situasi ini membuat Lebaran tahun ini terasa aneh, berbeda, dan unik. Begitulah beberapa kesan dari teman-teman Muslim saya.

Kondisi ini tidak hanya dialami oleh umat Muslim, kaum Kristiani yang beberapa bulan lalu merayakan Paskah, saya melihat foto Paus, memimpin ritual sakral ini tanpa jutaan umat di hadapannya. Dan ini dialami pula oleh umat berbagai agama yang lain. Dan tampaknya pandemi ini serasa tak pilih-pilih agamanya apa, semua mempunya peluang yang sama untuk bisa terinfeksi.

Umat muslim yang populasinya 1/5 penduduk dunia hari ini juga terpapar cukup parah. Hasil olah data Worldmeter.info (16/05) jumlah orang terpapar di negara berpenduduk mayoritas Muslim mencapai 370. 274 orang dan korban meninggal sebanyak 11.665 orang. Ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan. Belum ada kepastian apakah ritual haji tahun ini di Makkah akan dilaksanakan karena Arab Saudi jumlah terinfeksinya mencapai 52.000 orang termasuk 150 keluarga kerajaan Arab Saudi. Jejaring ekonomi yang berkaitan dengan prosesi haji juga harus puasa sementara waktu. Haji sebagai prosesi ritual terbesar umat Islam berpeluang ter-disrupsi wabah virus PKT (Partai Komunis Tiongkok) atau yang lebih umum disebut virus corona wuhan.

Beberapa bulan yang lalu yang lalu ada seorang ustadz kondang di Indonesia yang mengatakan bahwa virus PKT adalah “tentara Tuhan”. Sempat menjadi kontroversi di antara umat. Pihak yang kontra dengan pernyataan ustadz ini mengatakan bahwa kalau memang ini tentara Tuhan mengapa Makkah sebagai tempat suci umat Islam di-lockdown beberapa minggu? Dan kebanyakan masjid ditutup dan muncul anjuran untuk Worship from Home. Pertanyaan menggelitik dari mereka: “ Kalau memang pandemi ini tentara Tuhan, kok bisa ya kita jadi tidak leluasa beribadah. Harusnya kita para hambanya ini kebal karena dapat perlindungan dari-Nya? “

Akhirnya ujung-ujung dari paradoks ini adalah pemahaman yang aneh dari para agamawan bahwa wabah tak ada sangkut pautnya dengan dosa yang dilakukan dan tidak ada hubungan antara dosa dan wabah. Saya merasakan ada rasa beragama yang seolah ateis. Tidak meyakini bahwa Tuhan hadir dalam setiap hal.

“Dimanapun kamu menghadap, di situ ada wajah Tuhan.” Baik saat senang maupun saat dilanda musibah. Saat senang perintah Tuhan bagi umatnya adalah bersyukur. Saat wabah dan musibah perintah Tuhan adalah sabar, merefleksi diri apa ada dosa yang dilakukan atau titah apa yang lupa ditunaikan. Ini mungkin makna dari Tuhan hadir pada setiap arah atau situasi. Dari perspektif ini Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan hamba-Nya. Selalu berbincang dengan umat-Nya dalam setiap peristiwa.

Apakah Bukan Ini Dosa Besar bagi Umat Beragama?

Dari pandangan saya, kenapa wabah ini bermula di Tiongkok. Apa yang salah dengan Tiongkok. Ada orang bijak mengatakan bahwa di tempat bermula wabah, kemungkinan di situ ada dosa atau karma. Taruhlah pernyataan ini sebuah kebenaran. Pertanyaan selanjutnya adalah dosa apa kira-kira yang berkaitan dengan RRT?

Bagaimana kalau saya mengajukan sebuah tebakan adalah “dosa komunisme” yang menyebabkan Tuhan menimpakan wabah ini kepada dunia saat ini.

Dekade sebelum ini RRT di bawah rezim Partai Komunis Tiongkok “berhasil” meyakinkan sebagian besar dunia bahwa Tiongkok di bawah rezim komunis telah berhasil membuat dunia terpesona. Seolah PKT adalah model dari cara melakukan lompatan kemajuan dan peradaban. Tanpa menyadari bahwa ada harga yang mahal yang harus dibayar oleh para umat beragama dan dunia kalau menempuh jalan yang ditempuh rezim komunis ini.

Berikut harga yang harus dibayar: Pertama, pembunuhan nurani secara masif. Berulang kali rezim komunis Tiongkok melakukan kejahatan kemanusiaan terutama pada beberapa kelompok keyakinan dan agama. Namun respon umat beragama di dunia seolah melihat tapi tidak terlihat. “Itu bukan urusan saya, yang dianiaya bukan dari kelompok saya.” Kita melihat rezim komunis Tiongkok berulang kali mencoba melubangi bahtera bersama kemanusian ini. Dan kebanyakan orang diam tak peduli. Penindasan mahasiswa di Peristiwa Tiananmen, penindasan Falun Gong 1999, dan sekarang penindasan Muslim Uyghur di Xinjiang. Tak banyak yang peduli karena tersilaukan rayuan kemakmuran ala Partai Komunis Tiongkok. Ironisnya, pada penindasan Muslim Uyghur ini pemimpin sebagian negara Muslim diam akibat tersandera kepentingan dari “rezim naga merah” yang semakin menggurita dan melilit. Padahal ini berkaitan dengan nasib saudara-saudara seiman. Bukan hanya itu, Tahta suci Vatikan juga terkesan diam saat banyak gereja kristen bawah tanah digusur dan dirobohkan di banyak tempat di Tiongkok. Malah di saat terakhir merangkul rezim komunis Tiongkok dengan lebih intim lagi. Bukankah inti dari beragama itu sendiri adalah tentang manusia yaitu bagaimana memanusiakan manusia dan menghormati harkat dan martabatnya.

Kedua, pembatalan iman secara masif. Komunisme dan agama itu ibarat minyak dan air. Selamanya tak bisa disatukan. Bisa dicampur tapi selalu ada batas. Air di bawah minyak di atas. Umat beragama mengajarkan percaya pada Tuhan, komunisme didasarkan pada atheisme. Agama mengajarkan persatuan dan persaudaraan seiman atau antar manusia. Komunisme mengajarkan pertarungan kelas atau filosofi pertempuran. Agama menasihatkan menghormati jiwa manusia, sementara komunisme menghalalkan pembunuhan demi revolusi. Agama sayang keluarga, komunisme mengesahkan mengkhianati keluarga demi partai. Agama didasarkan pada teori penciptaan, sementara komunisme didasarkan pada teori evolusi Darwin yang ko-nyol itu. Agama mengajarkan di mana kamu menghadap di situ ada wajah Tuhan, sementara komunisme mengajarkan di mana kamu menghadap di situ ada wajah Karl Marx.

Dari prinsip-prinsip yang saling bertentangan ini bukankah apabila umat beragama bertoleransi pada komunisme, secara langsung akan membatalkan imannya. Apa konsekuensi dari batalnya iman itu? Bukankah segara ritual ibadah akan tak bernilai lagi karena sudah tak berjiwa. Pada kondisi ini apakah Tuhan masih melindungi umat-Nya? Sebuah pertanyaan yang menohok.

Dalam sebuah buku berjudul How The Specter of Communism is Ruling Our World disebutkan: “Komunisme bukanlah tren pemikiran, bukan doktrin, atau upaya gagal dalam cara baru mengatur urusan manusia. Sebaliknya, itu harus dipahami sebagai iblis, hantu jahat yang ditempa oleh kebencian, kemunduran, dan kekuatan unsur lainnya di alam semesta.” Definisi yang memosisikan komunisme sebagai manifestasi iblis inilah yang seharusnya tidak membatalkan keimanan seseorang. Karena tak ada ceritanya iblis membawa ke jalan keselamatan, karena ini sumpah dia di saat penciptaan manusia yang hendak menyesatkan manusia dari jalan Tuhan sampai Hari Kiamat tiba.

Kalimat Toyyibah (Suci) Abad Millennial Supaya Selamat dari Wabah

Begitu terjadi wabah orang berpikirnya apa kata ilmu pengetahuan dan bagaimana menghindarinya. Melupakan bahwa wabah pun Tuhan yang gerakkan. Kembali kepada Tuhan adalah jalan satu-satunya. Dengan mengakui segala dosa yang membatalkan iman dan bersumpah tidak mengulanginya di masa depan. Pertobatan global lintas agama dan ras atas dosa komunisme harus segera dilakukan. Dua puluh tahun ini orang-orang Tiongkok Daratan telah mencoba melakukan pengunduran diri dari Partai Komunis Tiongkok. Angkanya sudah mencapai 350 juta orang yang mundur dari PKT. Hari ini dunia di luar Tiongkok sudah mulai bergerak untuk mengoreksi keyakinan positif mereka terhadap PKT dan berbondong-bondong mengatakan tidak pada PKT. Adalah sebuah langkah konkrit untuk membuang dosa besar komunisme yang membatalkan iman. Bukan untuk mengangkat senjata atau revolusi kekerasan, tapi membuat iblis komunisme ini tidak mendapatkan pangsa pasar. Dengan tulus mengatakan tidak pada PKT bisa jadi membuat Tuhan menggerakkan tangan-Nya memusnahkan wabah dari dunia ini. “Langit memusnahkan PKT. Allah memusnahkan PKT. Yesus memusnahkan PKT. Budha memusnahkan PKT. Dewa memusnahkan PKT,” adalah kalimat toyyibah abad ini yang meluruhkan dosa komunisme yang telah membatalkan iman banyak manusia di muka Bumi ini. Semoga Tuhan ada di ujung jalan menyambut umatnya yang tersesat dan ingin bertobat.

Idul Fitri kali ini memang sangat berat, dengan melepaskan diri dari dosa besar pembatal iman ini. Saudara kita yang Muslim maupun umat agama yang lain barulah benar- benar mencapai kemenangan yang sejati.

Go To Hell Communism, Go to Hell Pandemic. (et)

0 comments